Setelah BPS merilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kuartal III-2019, kita tersentak oleh analisis kritis dari ekonom senior Capital Economics, Gareth Leather, berjudul “Why we don’t trust Indonesia’s GDP data”.
Leather meragukan data PDB Indonesia beberapa tahun terakhir. Menurutnya angka PDB tak logis sejak 2014 karena cenderung flat dan tak mengikuti naik-turunnya fluktuasi perekonomian dunia. Ia tak kaget dengan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 sebesar 5,02 persen karena sejak 2014 perekonomian Indonesia tumbuh tak jauh dari 5 persen yaitu 4,7-5,3 persen.
Ia curiga pertumbuhan kuartal III-2019 lebih rendah dari 5 persen karena indikator aktivitas perekonomian melambat dan kondisi ekonomi global cenderung tertekan dan melemah. Perhitungan BPS di duga lebih tinggi dari yang seharusnya (over estimate) dan tak mencerminkan kondisi sektor riil yang lagi melemah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN–Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto
Tak heran, data PDB ini menjadi topik hangat dan validitasnya diragukan oleh beberapa kalangan. Pro-kontra mewarnai pendapat Leather, ada yang percaya dan mendukung Leather. Ada juga yang masih percaya dengan kredibilitas BPS.
Saya termasuk ekonom dan statistikawan yang masih percaya kemampuan dan kredibilitas BPS. BPS wajib menjaga/membela harkat dan martabatnya dengan kejujuran dan integritas tinggi. Jika BPS memanipulasi datanya, sama saja mempermalukan dan menjerumuskan bangsa ini. Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia pasti akan salah arah karena berbasis asupan data yang salah.
Arah perekonomian bisa makin tak jelas dan limbung, pengusaha dan investor pasti akan bingung dalam perencanaannya. Saya sangat berharap tidak terjadi “garbage in garbage out” karena dampak negatifnya pasti sangat membahayakan keberadaan dan jati diri bangsa ini.
Oleh karena itu, mari kita telusuri dan cari benang merahnya, serta tak berprasangka buruk. Mengapa perekonomian Indonesia lima tahun terakhir seakan tak sejalan dengan teori siklus bisnis? Perekonomian nasional cenderung datar, tak terlihat gelombang naik-turunnya. Ekonomi Indonesia seolah imun, tak terganggu gejolak dan perlambatan perekonomian dunia.
Apa betul perekonomian domestik robust terhadap gejolak eksternal? Atau perekonomian Indonesia mengarah pada ekonomi tertutup (closed economy), bukan ekonomi terbuka (open economy) yang sensitif pada dinamika perubahan ekonomi global.
Beberapa kemungkinan
Ada beberapa kemungkinan, yang dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di 5 persen beberapa tahun terakhir? Pertama, sejak berakhirnya era bonanza komoditas primer 2011, peranan ekspor komoditas primer semakin kecil terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini sangat jelas terlihat dari pelemahan pertumbuhan ekonomi secara kontinu dari 6,17 persen (2011) ke 6,03 persen (2012) dan 5,56 persen (2013). Selanjutnya mulai stabil di 5 persen dari 2014 sampai sekarang.
Selama periode 2014-2019, praktis perekonomian kita hanya mengandalkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang peranannya sangat besar, 55 persen dari PDB, tak lagi dibantu ekspor komoditas primer. Oleh karena itu masuk akal, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa bertahan di sekitar 5 persen, karena ditopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga sekitar 4,9-5,1 persen.
Kedua, pemerintah berhasil menjaga inflasi relatif rendah dan stabil sehingga daya beli masyarakat masih bertahan sampai saat ini, walaupun ada indikasi mulai melemah. Secara rata-rata, inflasi bulanan sekitar 4,4 persen pada 2014-2019, jauh lebih rendah dibanding 6,0 persen periode 2008-2013. Selain inflasi yang turun, inflasi 2014-2019 juga relatif stabil dibanding periode sebelumnya.
Untuk menunjukkan fluktuasi atau kestabilan suatu data, kita bisa menggunakan ukuran dispersi/penyebaran data, yaitu standar deviasi, varians, dan koefisien variasi (KV). Dalam tulisan ini saya menggunakan KV karena ukuran dispersi ini jauh lebih baik dibanding standar deviasi dan varians.
Dari ukuran statistik KV sangat jelas menunjukkan fluktuasi harga semakin rendah dan terkendali. KV turun signifikan dari 43,4 persen pada periode 2008-2013 menjadi 37,6 persen pada 2014-2019. Dengan inflasi rendah dan stabil, sangat wajar pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap stabil di kisaran 4,9-5,1 persen.
Apakah ini akan flat dan stabil beberapa tahun akan datang? Rasanya sulit, jika Indonesia tak segera melakukan transformasi struktural dalam perekonomiannya. Potensi pelemahan konsumsi rumah tangga sudah mulai kelihatan dan tergerus.
Hal ini berarti kecurigaan Leather bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga flat tak terbukti. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih bisa stabil sampai sekarang karena masyarakat masih mampu mempertahankan perilaku konsumsinya dengan menggunakan tabungannya.
Selain itu, ada budaya gotong royong sesama anggota keluarga atau teman dekat bisa saling bantu jika ada keluarga/rekannya mengalami kesulitan ekonomi. Dengan demikian, ketika seseorang mendadak kehilangan atau turun pendapatannya, perilaku konsumsinya masih bisa dipertahankan beberapa waktu. Inilah salah satu keunikan pola konsumsi masyarakat kita. Budaya gotong royong ini unik dan tak dimiliki negara maju, meski budaya ini mulai terkikis perlahan di masyarakat.
Ketiga, dari jalur pasar finansial, Indonesia memang semakin imun terhadap gejolak eksternal. Di pasar valas terbukti volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS semakin menurun. Statistik KV hanya tercatat 6,4 persen pada 2014-2019, lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya 9,2 persen.
Kemudian di pasar obligasi, imbal hasil obligasi RI tenor 10 tahun relatif stabil. Statistik KV-nya menurun ke 17,9 persen dari 26,9 persen periode 2008-2013. Di pasar saham juga menunjukkan hal yang sama, fluktuasi di harga saham juga turun, statistic KV-nya dari 31,7 persen ke 11,6 persen pada 2014-2019.
Keempat, saya duga keterkaitan dan keterlibatan Indonesia dalam rantai produksi atau industri manufaktur dunia lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti Vietnam.
Rasanya, industri manufaktur Indonesia sulit berkompetisi dengan produk negara lain dan ini sangat terasa karena peranan industri manufaktur kian menurun terhadap perekonomian nasional. Lemahnya keterkaitan Indonesia dalam rantai produksi dunia juga sangat jelas terlihat dari 33 investasi yang keluar dari China, tak satupun yang singgah ke Indonesia.
Kita kalah bersaing dengan Vietnam, sebagian besar yaitu 23 investasi masuk ke Vietnam baru-baru ini. Semakin rendahnya keterkaitan ekonomi Indonesia dengan negara lain juga dapat dilihat dari statistik koefisien korelasi. Korelasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Eropa tercatat 0,6 tahun 2008-2013, turun signifikan ke 0,0 pada 2014-2019. Begitu juga terhadap Jepang, korelasinya sangat rendah 0,0 tahun 2014-2019 dari 0,3 pada periode sebelumnya.
Yang lebih menarik lagi keterkaitan terhadap AS dan China, bersifat sebaliknya atau korelasinya negatif. Dengan AS korelasi perekonomian Indonesia minus 0,2 dari 0,3 pada 2008-2013. Terhadap China, korelasi tercatat minus 0,3 dari 0,3 pada periode sebelumnya. Kondisi ini menguntungkan, kalau perekonomian global bergejolak dan dalam keadaan melemah.
Namun, seharusnya kita sadar ini tak baik karena Indonesia tak berkontribusi besar dalam rantai produksi dunia. Ketika ekonomi dunia pulih dan mengalami akselerasi pertumbuhan, Indonesia tak akan merasakan nikmatnya anggur manis aktivitas perekonomian dunia.
Ikuti kaidah internasional
Berdasarkan keempat paparan itu, sangat beralasan kalau kita tetap percaya BPS masih kredibel dan independen di negara ini. Perhitungan PDB sudah mengikuti kaidah internasional. Selama ini, PDB dihitung dari sisi pengeluaran (permintaan agregat/AD), kemudian pendekatan produksi (penawaran agregat/AS). Perbedaan kedua pendekatan itu ditampung ke dalam statistik diskrepansi.
Fenomena menarik perekonomian Indonesia saat ini adalah pertumbuhan sektor jasa melejit signifikan, walau kontribusinya masih kecil pada PDB. Dengan makin berkembangnya sektor jasa, ada baiknya perhitungan PDB juga dari sisi pendapatan, tak hanya AD dan AS, sehingga potret perekonomiannya semakin sempurna.
Jika BPS bisa memetakan dan menghitung sektor jasa ini, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari yang tercatat sekarang dan ini mementahkan analisis Leather.
Esensi dari semua yang dipaparkan ini adalah produk data BPS harus benar-benar mampu mencerminkan kondisi perekonomian riil sesungguhnya sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan. Kritik kepada BPS sebaiknya tidak usah ditanggapi terlalu reaktif, diambil hikmahnya saja. Metode estimasi, cakupan pengamatan, dan teknik pengambilan sampel mungkin masih perlu dikembangkan lebih lanjut dan disempurnakan agar data BPS semakin akurat, valid, dan kredibel.
Anton Hendranata Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk.
Sumber: Kompas, 26 November 2019