Diabetes Melitus dan Hipertensi Memicu Penyakit Ginjal Kronis
Tingginya jumlah kasus penyakit ginjal kronis terus membebani biaya layanan kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk itu, sejumlah faktor risiko penyakit tersebut perlu dikendalikan disertai pemeriksaan kesehatan ginjal secara berkala.
Hal itu terungkap dalam Forum Diskusi Kesehatan yang diselenggarakan harian Kompas bekerja sama dengan Rumah Sakit Siloam, Selasa (21/3), di Jakarta. Diskusi yang disiarkan langsung jaringan Radio Sonora itu dimoderatori wartawan Kompas, Yovita Arika.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Lily S Sulistyowati memaparkan, ginjal berfungsi antara lain menyaring racun dalam tubuh. Kementerian Kesehatan mencatat, prevalensi penderita penyakit ginjal kronis di Indonesia tahun 2013 mencapai 0,2 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tahun 2015, beban pembiayaan penyakit katastropik atau berbiaya tinggi dan membahayakan keselamatan jiwa pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah Rp 13,6 triliun (23,9 persen biaya layanan kesehatan). Khusus gagal ginjal kronis, biaya layanan Rp 2,68 triliun.
Penyebab utama kasus gagal ginjal di Indonesia adalah hipertensi (37 persen) dan diabetes melitus (27 persen). Faktor risiko penyakit ginjal kronis (PGK) yang tak bisa dikendalikan ialah ada riwayat keluarga penyakit ginjal, lahir prematur, usia lebih dari 50 tahun, dan penyakit tertentu, seperti lupus.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Diskusi kesehatan bertajuk “Mencegah dan Menangani Gangguan Kesehatan Ginjal” digelar harian Kompas dan Rumah Sakit Siloam di Jakarta, Selasa (21/3). Diskusi tersebut menampilkan narasumber Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Tony Samosir, dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal dan hipertensi Rumah Sakit Siloam Asri Jakarta Pringgodigdo Nugroho, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Lily Sriwahyuni Sulistyowati, serta moderator wartawan Kompas, Yovita Arika (kiri ke kanan).
Sementara faktor risiko yang bisa dikendalikan antara lain diabetes melitus tipe dua, hipertensi, konsumsi obat pereda nyeri, radang ginjal, dan obesitas. “Faktor risiko penyakit ginjal bisa dikendalikan dengan menerapkan pola hidup sehat, yakni rajin beraktivitas fisik dan konsumsi makanan bergizi seimbang,” ujarnya.
Periksa kesehatan
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal dan hipertensi Rumah Sakit Siloam Asri Jakarta, Pringgodigdo Nugroho, menjelaskan, gangguan kesehatan ginjal ditandai penurunan fungsi ginjal hingga 60 persen. “Penyakit ginjal kerap tak bergejala. Jadi, perlu dideteksi dengan pemeriksaan urine dan pengecekan darah berkala,” ujarnya.
Penyakit ginjal kronis biasanya diukur dengan laju filtrasi glomerulus (LFG). Jika LFG di bawah 60 mililiter/menit/1,73 m2 lebih dari tiga bulan, itu termasuk penyakit ginjal kronis meski tanpa bukti kerusakan ginjal. Deteksi kerusakan ginjal bisa lewat pencitraan, radiologi, dan biopsi.
Pemeriksaan ginjal dianjurkan bagi mereka dengan faktor risiko PGK. Penyebab utama gagal ginjal ialah diabetes melitus dan hipertensi. Tekanan darah tinggi meningkatkan tekanan di organ ginjal sehingga fungsi ginjal turun. “Ada mitos bahwa rutin konsumsi obat hipertensi mengganggu ginjal. Padahal, jika tekanan darah terkontrol, itu mencegah sakit ginjal,” ucapnya.
Adapun gejala penyakit ginjal kronis antara lain pucat, bengkak, mual, muntah, dan tidak sadarkan diri. Jika cairan berlebih memicu bengkak pada paru-paru, pasien bisa sesak napas dan jantung terbebani.
Menurut Pringgodigdo, pengobatan PGK tergantung stadiumnya. Pada stadium awal, penderita harus mengontrol tekanan darah dan kadar gula darah. “Jika stadium lanjut, komplikasinya perlu diatasi. Saat fungsi ginjal turun, risiko penyakit kardiovaskular tinggi,” katanya.
Saat gagal ginjal, organ ginjal berfungsi kurang dari 15 persen. Ada dua jenis terapi pengganti ginjal, yakni transplantasi dan dialisis atau cuci darah. Pasien bisa cuci darah di rumah sakit (hemodialisis) atau di rumah.
Akses terbatas
Namun, akses penderita PGK terhadap layanan kesehatan terbatas. Pringgodigdo menyebutkan, secara nasional, dari jumlah total pasien PGK, 90 persen menjalani hemodialisis dan 4 persen cuci darah di rumah. Angka pasien PGK yang menjalani cangkok ginjal 6 persen.
Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Tony Samosir yang sejak tujuh tahun lalu gagal ginjal akibat hipertensi mengeluhkan keterbatasan sarana kesehatan bagi penderita PGK. Jumlah dokter ahli ginjal terbatas dan terpusat di Jawa, sedangkan jumlah fasilitas hemodialisis ribuan unit. “Sebagian pasien gagal ginjal harus berobat jauh dari tempat tinggal mereka,” ujarnya.
Selain itu, peserta JKN yang menjalani hemodialisis harus membeli obat, misalnya untuk mengatasi anemia. “Biaya cuci darah ditanggung, tetapi obat-obatan harus dibayar pasien, padahal ada di formularium nasional. Tanpa mengonsumsi obat-obatan, kualitas hidup pasien menurun,” katanya.
Pihaknya berharap ada pusat transplantasi ginjal di Indonesia demi memudahkan donor ginjal. Kini, layanan itu baru tersedia di sejumlah rumah sakit. (EVY)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Kendalikan Faktor Risiko”.