Home / Berita / Jurnalisme Mendekatkan Sains ke Publik

Jurnalisme Mendekatkan Sains ke Publik

Jurnalisme menjadi sarana yang efektif untuk menjelaskan hasil penelitian sains kepada masyarakat luas. Dengan bahasa jurnalistik, bahasa sains yang cenderung sangat teknis akan lebih mudah dipahami khalayak.

Direktur Eksekutif Society of Indonesian Science Journalists Harry Surjadi mengatakan, jurnalistik sains meliputi dua hal pokok, yaitu 80 persen keterampilan jurnalistik dan 20 persen kemauan belajar serta kemampuan jurnalis untuk mengomunikasikan atau menjelaskan sains kepada publik.

“Sebelum menjelaskan kepada masyarakat, jurnalis mesti memahami sains lebih dulu. Penjelasan kepada publik juga harus sederhana dan mudah dipahami,” ujar Harry dalam diskusi “News Room Perspective on Science Journalism” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan British Council, Rabu (22/3) di Jakarta.

Menurut Harry, peliputan sains oleh media arus utama dalam negeri cenderung banyak muncul karena acara formal, bukan karena digali lebih lanjut oleh jurnalis. Sebaliknya, pemberitaan yang lebih banyak muncul justru kebanyakan seputar hal-hal politik daripada sains.

Karena itulah, tidak heran jika banyak kebijakan di Indonesia yang tidak berbasis pada hasil-hasil riset, tetapi cenderung karena kepentingan politik.

“Cerita-cerita sains sebenarnya ada di mana-mana, mulai dari lembaga penelitian, jurnal ilmiah, kampus-kampus, bahkan ada di luar bumi ini. Untuk melaporkannya, dibutuhkan keingintahuan dan daya kritis dari jurnalis,” paparnya.

Agar peliputan-peliputan jurnalistik bisa dipertanggungjawabkan, wartawan wajib banyak membaca, memiliki buku-buku referensi, mengakses jurnal-jurnal ilmiah dan sumber referensi, hingga berlangganan laporan-laporan penelitian kampus-kampus terkemuka.

Suarakan hasil penelitian
Peneliti Centre for Sustainable Energy and Resources Management Universitas Indonesia, Jito Sugardjito, mengatakan, dari sisi paten, jumlah penelitian yang telah didaftarkan oleh peneliti Indonesia di United States Patent and Trademark Office (USPTO) pada 2008 masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara itu, jumlah paten penelitian yang terdaftar di Indonesia antara tahun 1992 dan 2008 masih didominasi paten luar negeri.

“Media yang bisa menjembatani penyebaran hasil-hasil penelitian kepada publik juga masih kurang,” katanya.

Dari sisi pemerintah, menurut Jito, apresiasi terhadap peneliti sampai saat ini masih rendah. Penelitian sains rupanya belum diprioritaskan dalam program- program pemerintah. “Indonesia sebagai laboratorium alam sangat kaya akan sumber daya alam hayati yang bisa diteliti. Sayangnya, publikasi ilmiah Indonesia di dunia internasional masih minim,” kata Jito. (ABK)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2017, di halaman 11 dengan judul “Jurnalisme Mendekatkan Sains ke Publik”.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d blogger menyukai ini: