Lebih dari 6 tahun lalu saya menulis tentang Jurnal Predator di harian ini (Kompas, 2 April 2013) setelah mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman dosen dan peneliti yang meresahkan keberadaan jurnal abal-abal tersebut. Mendapat cukup banyak tanggapan dan pertanyaan, saya kembali menulis tentang fakta-fakta yang teramati dari jurnal tersebut (Kompas 13 Mei 2013).
Jurnal predator adalah jurnal abal-abal yang didirikan semata untuk keuntungan finansial si pembuat jurnal, dengan mengabaikan persyaratan atau kriteria ilmiah. Adalah seorang pustakawan di Universitas Colorado, bernama Jeffrey Beall, yang mengusung istilah jurnal predator setelah bertahun-tahun mengamati sepak terjang pelbagai jurnal abal-abal yang mayoritas berpusat di Asia dan Afrika.
Dipicu oleh perkembangan internet serta kebutuhan aktualisasi diri para ilmuwan di negara berkembang, jurnal predator menjanjikan kemudahan dan kecepatan publikasi makalah ilmiah mereka dengan mengabaikan aspek ilmiah yang sejatinya menjadi standar operasi jurnal-jurnal ilmiah konvensional. Syaratnya? Tentu saja harus membayar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti simbiosis mutualisme, jurnal predator meningkat pesat. Menurut laman Beall jurnal predator tanpa penerbit meningkat jumlahnya dari 126 pada tahun 2013 menjadi 1294 di tahun 2017. Sementara itu penerbit predator meningkat dari 225 menjadi 1155 untuk rentang tahun yang sama. Dapat dibayangkan berapa banyak jurnal predator yang dilepas ke publik jika setiap penerbit predator memiliki puluhan hingga ratusan jurnal!
Namun pada tanggal 15 Januari 2017 Jeffrey Beall serta lamannya yang memuat daftar jurnal predator menghilang. Penyebabnya? Aneka spekulasi bermunculan, mulai dari tekanan tempat dia bekerja hingga tuntutan legal dari para pegiat jurnal predator. Daftar jurnal predator yang dia kumpulkan dilanjutkan secara berjamaah oleh sebuah grup anonim di laman predatoryjournals.com. Meski demikian, terlihat bahwa sejak tahun 2017 daftar tersebut tidak pernah diperbarui.
Dengan menghilangnya laman Beall banyak yang beranggapan bahwa jurnal predator sudah dianggap tidak ada lagi. Padahal, faktanya, mayoritas jurnal yang dicatat Beall pada tahun 2017 masih beroperasi. Dilihat dari tren pertumbuhannya hingga 2017 sangat logis jika jumlahnya saat ini diperkirakan meningkat pesat. Bahkan, sebagian kecil jurnal ini berhasil masuk ke dalam basis data Scopus, sementara sebagian lagi harus menerima nasib dikeluarkan Scopus karena memiliki banyak permasalahan.
Melihat fenomena ini jelaslah bahwa jurnal predator masih eksis dan tetap perlu diwaspadai. Karena sebagian orang menganggap era jurnal predator sudah berlalu, maka saya akan menggunakan istilah jurnal abu-abu saja untuk jurnal yang tidak terlalu meyakinkan ini.
Perubahan paradigma
Saya merasa beruntung masih mengalami zaman tanpa internet. Ketika saya memulai kuliah S3 di awal tahun 1991 di Jerman, internet baru digunakan sebatas untuk email, sementara protokol gopher dan World Wide Web yang menjadi basis peramban (browser) internet modern masih dikembangkan. Tentu saja belum ada jurnal versi daring (online). Semua masih versi salinan cetak (hardcopy). Meski dipandang primitif oleh generasi milenial saat ini, ada kebanggaan yang saya rasakan saat itu. Jika berkunjung ke perpustakaan di mana saja di mancanegara saya dapat melihat makalah saya di perpustakaan. Jelas sangat sulit saat itu untuk memulai usaha sebagai penerbit jurnal versi global. Dibutuhkan dana sangat besar!
Namun semuanya berubah setelah internet mulai memasyarakat di awal tahun 2000an. Sekitar sepuluh tahun kemudian bermunculan jurnal-jurnal predator. Tidak diperlukan dana besar untuk memulai bisnis jurnal predator, yang penting menguasai cara untuk membuat laman menarik dan terlihat ilmiah. Agar lebih profesional, dapat dipasang Open Journal System (OJS), semacam perangkat lunak yang mengatur alur makalah ilmiah dimulai dari pengajuan hingga publikasi. Toh perangkat lunak ini gratis. Tidak perlu pusing-pusing memikirkan salinan cetak, karena sudah bukan zamannya lagi. Apalagi kalau jurnal dapat didaftarkan dalam basis data Scopus, dijamin akan laku keras di negara berkembang.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Sejumlah rak tempat penyimpanan koleksi tesis dan disertasi nampak kosong di perpustakaan Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah (PDDI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Jumat (15/3/2019). Koleksi tersebut dihapuskan dalam proses penghapusan koleksi (weeding) oleh pihak LIPI.
Kontrak perjanjian
Ketika seseorang setuju untuk memublikasikan makalah hasil penelitiannya di sebuah jurnal, maka ia telah membuat kontrak dengan penerbit. Penerbit jurnal berhak memublikasikan, mencetak, menyebarkan, dan menjual makalah tersebut karena penerbit memiliki expertise di bidang ini. Meski demikian penulis makalah masih memiliki hak kekayaan intelektual atas “produk” yang dijelaskan di dalam makalah tersebut.
Sebelum era internet, jurnal-jurnal ilmiah dicetak dalam bentuk buku dan disusun rapi dalam rak-rak buku di perpustakaan, suatu hal yang sulit dibayangkan di masa kini, saat jumlah makalah hasil penelitian meledak secara eksponensial sebagai fungsi waktu. Dengan cepat ruangan perpustakaan akan penuh jika internet tidak eksis.
Setelah internet menguasai dunia penelitian, mayoritas jurnal-jurnal ilmiah menyediakan makalah hanya dalam bentuk salinan digital (softcopy), serta secara daring, dengan anggapan jika penulis membutuhkan salinan cetak maka penulis cukup menyediakan printer sendiri. Selain itu, penulis diberi pilihan, apakah ia ingin makalahnya dibuka untuk umum (open access) atau dibuka hanya untuk pelanggan jurnal (closed access).
Pilihan pertama dianggap memiliki keunggulan karena banyak anggapan bahwa hasil penelitian yang dibiayai oleh masyarakat harus terbuka untuk masyarakat. Tentu saja tidak ada makan siang gratis. Jika pada pilihan kedua masih ada kemungkinan penulis tidak perlu membayar, maka pada pilihan pertama seluruh biaya publikasi ditanggung penulis. Di sinilah permasalahan tersebut dimulai.
Pertama, karena penulis harus membayar, maka bisnis jurnal ilmiah sangat menggiurkan. Betapa tidak, biaya publikasi satu makalah berkisar ratusan hingga ribuan dollar US. Sebuah penerbit dapat dengan mudah dan tanpa biaya besar menerbitkan ratusan jurnal secara daring dan open access. Sebagai catatan, mitra bebestari yang memeriksa kualitas makalah tidak perlu dibayar. Kegiatan review makalah adalah kegiatan sukarela. Jika beruntung, setiap jurnal dapat memuat puluhan hingga ratusan makalah. Inilah faktor utama yang mendorong pesatnya pertumbuhan jurnal abu-abu.
Masalah kedua, bagaimana dengan kontrak tadi? Sejatinya, kontrak penerbitan makalah adalah kontrak sepanjang masa, karena hasil penelitian harus dijaga selamanya agar penelitian yang sudah dilakukan tidak perlu diulangi. Jadi, penulis makalah membutuhkan jurnal daring yang benar-benar dapat diandalkan sepanjang masa. Bagaimana dengan jurnal abu-abu yang baru didirikan dan sewaktu-waktu dapat tutup jika pemiliknya merasa rugi atau bangkrut? Jelas hal ini merugikan penulis makalah dan masyarakat yang mendanai penelitian. Problem ini tidak terjadi di era pra-internet, saat salinan cetak makalah tersedia dan terjaga rapi di tiap perpustakaan di seluruh dunia.
Jurnal yang baik
Jika ditanya secara praktis bagaimana mencari jurnal yang cukup baik, maka saya akan menjawab gunakan saja Web of Science (WoS) karena kolega-kolega saya di mancanegara menggunakannya. Sebagai catatan, Impact Factor atau faktor dampak jurnal merupakan hak paten dari pemilik WoS. Namun, tentu saja secara formal kita tidak boleh menyebut nama sebuah produk untuk sebuah definisi. Lagipula, kita memerlukan definisi yang akurat untuk ini.
Dari dulu saya berpendapat bahwa jurnal yang baik adalah jurnal komunitas (himpunan atau asosiasi) bidang ilmu. Jurnal jenis ini menjamin bahwa konsumen jurnal adalah para ahli yang tergabung dalam komunitas tersebut karena didirikan oleh mereka dan untuk kebutuhan mereka. Jadi, jurnal ini menjamin bahwa “produk” yang dijelaskan dalam makalah akan sampai di tangan ahli yang tepat. Yang terakhir ini jelas merupakan esensi mengapa para peneliti harus menulis makalah.
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap bidang ilmu yang mapan memiliki komunitas. Untuk bidang saya, misalnya, ada American Physical Society dengan sederet jurnal Physical Review nya, yang mulai beroperasi sejak tahun 1893. Ada juga European Physical Society yang memiliki jurnal European Physical Journal yang berakar pada jurnal-jurnal zaman Einstein. Tentu saja di belahan dunia Timur ada Japan Physical Society yang juga tak kalah mapannya. Jadi, untuk bidang saya sudah banyak jurnal-jurnal mapan tempat yang tepat untuk memublikasikan hasil penelitian. Mengapa kita harus menggunakan jurnal abu-abu?
Bagaimana dengan jurnal-jurnal terbitan Elsevier, Springer, Wiley, dan sebagainya? Saya masih punya formula yang saya rasa masih jitu. Ambil saja beberapa jurnal komunitas dan lihat referensi yang digunakan oleh para penulis makalah di dalamnya. Jika jurnal-jurnal terbitan penerbit komersial tersebut sering muncul di referensi, maka jurnal-jurnal tersebut juga merupakan bagian dari jurnal komunitas.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Prof Terry Mart.
(Terry Mart, fisikawan UI)
Sumber: Kompas, 12 Desember 2019