DALAM konteks sosial-politik-budaya di lndonesia, keberadaan institusi pers tidak pernah bisa dilepaskan dari aspek perjuangan bangsa memerangi kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, dan ketimpangan. Itulah sebabnya, meski institusi pers masa kini mesti bergerak dalam jalur bisnis, namun inti hidupnya sendiri sesungguhnya bukan di sana. Dana memang dibutuhkan untuk bisa tetap hidup, dan peningkatannya dibutuhkan guna pengembangan kualitas. Namun idealismenya tetap menyuarakan kebenaran (dalam arti berani mengungkapkan ketidak-benaran), menyuarakan hati nurani (dalam arti berani berkorban demi keyakinan), dan berdiri di atas semua golongan (dalam arti tidak manggut-manggut pada satu pihak dan menyepak pihak lain).
Lewat idealisme seperti itu, institusi pers lantas tampil seolah-olah selalu berdiri di posisi yang berlawanan dengan pemerintah. Kenyataannya tentu saja tidak demikian. Institusi pers wajib menyampaikan suara hati nurani rakyat. Bila ada sebuah persoalan yang berkembang dan masyarakat ingin mengetahui hal yang sebenarnya terjadi, maka betapapun juga pers wajib mengungkapkan persoalan tersebut sejelas dan segamblang mungkin.
Persoalannya adalah, dalam upaya pengungkapan yang jelas dan gamblang tersebut, pers harus punya tanggungjawab untuk tidak menyiarkan kebohongm dan hasutan, serta berhati-hati agar apa yang disampaikannya kepada masyarakat itu tidak justeru menjadi picu meletusnya masalah baru yang lebih runyam. Saya pikir, inilah arti dari slogan “pers yang bertanggungjawab” itu.
Hingga saat ini, ancaman terbesar, terutama, dan terpenting bagi kelangsungan hidup institusi pers di Indonesia adalah ancaman pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Ancaman administratif ini memang sangat menakutkan, sebab sanggup “membunuh” sebuah institusi pers seketika. Ancaman menakutkan ini berlaku tanpa pandang bulu, baik terhadap institusi pers yang besar, sehat, dan “berpengaruh”, maupun institusi pers kecil yang untuk hidup normal saja sudah kembang-kempis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski cuma sebuah ancaman, namun harus diakui bahwa ancaman pencabutan SIUPP telah menggiring pers Indonesia ke arah sterile pres virtuosity. Setelah era populernya “budaya telepon,” pers Indonesia kini dililit oleh sebuah sistem yang tampak hebat: self censorship. Diiringi ketakutan pada ancaman pencabutan SIUPP, kini banyak media massa Indonesia yang mempraktekkan over self censorship.
Akibatnya jelas, isi media massa kini cenderung mulai tampak seragam: beritanya yang itu-itu saja. Kebanyakan berita (terutama yang diangkat menjadi headline) bersumber pada penjelasan dan keterangan resmi dari tokoh-tokoh pemerintah, ABRI, dan tokoh-tokoh masyarakat. Kedudukan tokoh sebagai sumber berita “naik daun” menjadi amat laris sekali. Nyaris bisa dibilang: tiada satu hari pun surat kabar tampil tanpa berita dari hasil wawancara dengan tokoh sumber berita.
Kondisi yang menurut hemat saya telah membawa dunia jurnalistik Indonesia mundur beberapa tahun ke belakang itu, dengan segera harus menghadapi akibat logisnya: masyarakat awam mulai memandang institusi pers semata-mata sebagai sebuah perusahaan dagang yang memperjualbelikan informasi. Sosok gagah pers sebagai alat kontrol sosial, perlahan-lahan namun pasti, mulai rontok dan sedang dalam proses penguburan.
Nurani mulai jarang disuarakan. Dalam pemilihan dan penulisan berita, yang diutamakan adalah aman dari ancaman pencabutan SIUPP. Karena pencabutan SIUPP merupakan wewenang pemerintah, maka mudah ditebak bahwa berita yang mengungkapkan kesalahan, kelemahan, kekurangan, dan (terlebih-lebih) kecurangan yang dilakukan aparat pemerintah, dianggap menjadi hal yang peka dan nyaris ditabukan, kecuali bila berita itu bersumber dari tokoh-tokoh tadi. Kondisi inilah yang saya maksudkan dengan sterile press virtuosity.
Ungkapan seperti ”diselesaikan di kolong meja” mengandung arti diselesaikan secara diam-diam, tidak resmi, dan dianggap sebagai rahasia bersama. Berita-berita yang tidak bisa dimuat akibat self censorship, kemudian menemukan katupnya: diedarkan di kolong meja.
Isu, desas-desus dan kabar angin tumbuh subur. Sebagian besar pasti menyanggkut hal-hal peka. Di sini terlintas sebuah pembuktian, bahwa berita yang tercekal self censorship sesungguhnya merupakan berita yang sangat didambakan pembaca. Kalau semakin banyak berita yang sebenarnya dinantikan pembaca itu tidak dimuat dalam media massa, akibatnya hanya satu: pembaca tidak Iagi bisa mempercayai media massa.
Kalau pembaca sudah tidak lagi mempercayai media massa, konsekuensi logisnya adalah mereka juga akan enggan membeli media massa. Para pemasang iklan yang mampu membaca situasi ini tentu harus menilai kembali efektivitas pemasangan iklannya. Saya percaya konsekuensi semacam inilah yang kini sedang melanda pers Indonesia. Industri pers memang memiki sejumlah ciri khas yang jauh berbeda dengan industri lainnya. Sebab hanya pers yang bisa menyampaikan ”nurani” secara benarlah yang bisa laku di masyarakat.
Latar belakang seperti itulah yang kini tercerminkan dalam kisah tragis beberapa institusi pers kita. Ada isntitusi pers yang terpaksa berhenti terbit dan dan mem-PHK-kan karyawannya. Ada institusi pers yang dikisruhkan silang pendapat pejabat terasnya dan diikuti mundumya sejumlah redaktur penting. Ada institusi pers yang terpaksa merampingkan wartawannya, dan yang jauh lebih banyak adalah institusi pers yang harus menanggung rugi setiap bulannya. Inilah wajah pers Indonesia masa kini.
Apa yang telah diuraikan tersebut menunjukkan dengan gamblang bahwa perjuangan pers Indonesia bukan hanya belum selesai, barangkali bahkan baru memulai babak baru. Upaya menggeser institusi pencabutan SIUPP tanpa proses pengadilan sudah selayaknya mulai dipikirkan selumh jajaran pers Indonesia dengan bahu-membahu.
Polling Harian Kompas
Pelaksanaan “pengumpulan pendapat umum” (public opinion polling) oleh institusi pers di Indonesia menurut hemat saya tidak pernah bisa dilepaskan dari kondisi pers secara umum. Latarbelakang itu pula yang diakui atau tidak sesungguhnya telah memagari pemilihan topik polling oleh media massa di Indonesia. Topik yang dipilih untuk ditelaah lewat polling pada akhimya hanyalah topik yang memenuhi 3 (tiga) syarat ini: (1) aman (tidak akan menjadi penyebab dicabutnya SIUPP), (2) aman (tidak akan menjadi penyebab dimusuhi oleh tokoh birokrasi), dan (3) aman (tidak akan menjadi penyebab didemonstrasi kelompok radikal).
Tabel 1 Sikap terhadap ketentuan KPP
No | Pengguna alat transportasi | Sikap | Total | ||
setuju | Tidak setuju | Jumlah | % | ||
1 | Kendaraan umum | 104 | 69 | 173 | 28 |
2 | Kendaraan pribadi | 60 | 380 | 440 | 72 |
Total jumlah | 164 | 449 | 613 | 100 | |
% | 27 | 73 | 100 |
Catatan: Kai kuadrat = 136,32 dan tingkat signifikansi = 0,00001
Bila dikatakan bahwa polling merupakan kegiatan yang sangat dekat hubungannya dengan demokrasi, maka kondisi itu dengan segera melengkapi pernyataan tersebut sebagai berikut: Semakin tinggi kadar demokrasi di suatu negara, semakin tinggi pula kualitas pelaksanaan dan hasil pollingnya. Padahal, polling adalah salah satu upaya penting yang dapat menjembatani keinginan rakyat dengan kehendak penguasa politik. Melalui polling para penguasa dapal secara langsung mengetahui keinginan rakyatnya. Artinya, semakin rendah kualitas polling, akan kian rendah pula kualitas pengetahuan penguasa tentang keinginan rakyatnya.
Namun argumentasi ini dapat dengan mudah dipatahkan dengan menyodorkan fakta-fakta otentik: betapapun tingginya kualitas polling di Indonesia, hasilnya tidak akan pernah terlalu diperhakan penguasa. Paling lidak, hal seperti itu tergambarkan dari beberapa polling yang pernah dilakukan.
Menjelang diberlakukannya Kawasan Pembatasan Penumpang (KPP) di sejumlah jalan-jalan protokol di Jakarta, pada tahun 1992 Harian Kompas mencoba menyelenggarakan polling untuk menjaring pendapat masyarakat secam langsung, dengan harapan hasilnya dapat memberi masukan berharga bagi pemerintah. Polling tentang KPP atau yang kemudian populer dengan sebutan “three in one” tersebut pada awalnya akan memilih sampel secara umum di antara penduduk seIuruh wilayah Jakarta. Namun kesulitan dalam teknis pemilihan sampelmya menyebabkan rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan. Akhimya kuesioner disebarkan di seluruh gedung perkantoran yang terletak di jalan-jalan yang termasuk wilayah KPP, dalam arti pada prinsipnya siapa saja yang berkantor di gedung-gedung tersebut diberi kesempatan untuk mengisi Iembar kuesioner. Jumlah kuesioner yang disebarkan mencapai angka 700 eksemplar, namun yang kembali hanya 627 eksemplar (90 persen). Cara pemetikan sampel tidak termasuk sebagai random sampling, melainkan lebih kepada purposive sampling.
Hasil utama dari polling ini tampak dalam Tabel 1. Kalangan pengguna kendaraan umum cenderung menyetujui ketentuan KPP, sebaliknya pengguna kendaraan pribadi cenderung menolaknya.
Dengan hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1, sebenamya dengan segera dapat diketahui bahwa kalau tujuan pelaksanaan KPP adalah untuk mengurangi arus kendaraan pribadi di jalan-jalan protokol kawasan yang dimaksud, maka tujuan ini sangat mungkin tidak akan tercapai. Argumentasinya adalah karena pencapaian tujuan seperti ini jelas membutuhkan sikap kooperatif dari pengguna kendaraan pribadi, sedangkan hasil polling ini secara tegas menunjukkan bahwa para pengguna kendaraan pribadi tidak akan bersedia untuk bersikap kooperatif.
Besarnya kemungkinan bahwa ketentuan KPP tidak akan berhasil sebenarnya diperkuat oleh banyak tabel lain yang tidak mungkin ditampilkan disini. Slah satunya ditampilkan dalam Tabel 2.
Tabel 2 tindakan bila KPP diberlakukan
No | Tindakan yang akan diambil bila KPP diberlakukan | Jumlah (dalam persen) |
1 | Mencari jalan alternatif | 46 |
2 | Tetap lewat KPP di luar jam berlakunya | 16 |
3 | Mengajak orang lain | 13 |
4 | Naik kendaraan umum | 8 |
5 | Naik sepeda motor | 6 |
6 | Menumpang mobil teman | 4 |
7 | Menggunakan taksi | 4 |
8 | Tidak jawab | 3 |
Total | 100 |
Berdasarkan Tabel 2 jelas bahwa pemberlakuan KPP dengan segera akan diikuti oleh: (1) kemacetan yang semakin menjadi-jadi di jalan-jalan alternatif di sekitar KPP, (2) kemacetan yang tetap terjadi di daerah KPP pada jam-jam sebelum dan sesudah ketentuan KPP, dan pada akhimya (3) kemacetan di jalan-jalan KPP tetap terjadi karena banyaknya kendaraan pribadi yang mengajak orang lain untuk melengkapi jumlah tiga orang penumpang.
Ketiga kesimpulan yang sudah diajukan sejak sebelum KPP diberlakukan ini ternyata sesuai betul dengan kenyataan empiris yang berlaku hingga sekarang. Pada awal KPP diberlakukan, katakanlah hingga periode 6 bulan berikutnya, para pengguna kendaraan pribadi memang masih kelihatan taat aturan dan akibatnya kemacetan di jalan-jalan alternatif di sekitar daerah KPP menghebat. Evaluasi para penguasa dengan simplistis menyimpulkan: KPP berhasil menjadikan jalan- jalan KPP menjadi bebas kemacetan pada jam berlakunya ketentuan KPP.
Setelah itu, dalam periode enam bulan berikumya, munculnya “joki-joki” penumpang kian semarak dan memudahkan kendaraan pribadi melengkapi jumlah penumpangnya. Jalan-jalan di daerah KPP pun mulai dipenuhi kembali oleh kendaraan pribadi. Salah seorang yang konon kabamya pencetus gagasan pemberlakuan KPP pun sempat menyatakan bahwa munculnya “joki-joki” ini di luar perhitungannya. Padahal soal kemungkinan munculnya joki-joki penumpang itu sudah diajukan saat Kompas menurunkan hasil pollingnya (lewat komentar tertulis para responden), yang kemudian diikuti oleh prediksi beberapa pembaca dalam rubrik Surat Pembaca, yang menyatakan hal yang suma. Kini dalam periode setelah lebih dari satu tahun pemberlakuan KPP –apa yang terjadi? Kemacetan di jalan-jalan alternatif pada jam berlakunya KPP tetap kian menjengkelkan. Jalan-jalan di wilayah KPP di luar jam berlakunya KPP juga tetap mengalami kemacetan yang parah. Sementara jalan-jalan di wilayah KPP pada jam berlakunya KPP pun tetap mengalami kemacetan karena banyaknya joki-joki penumpang menyebabkan arus kendaraan pribadi tetap tinggi. Artinya, bila KPP dievaluasi sekali lagi, maka kesimpulannya adalah: KPP telah gagal. Kesimpulan terakhir ini telah tergambar dengan sangat jelasnya dalam hasil polling yang diIakukan sebelum KPP diberlakukan.
Contoh kasus ini dengan gamblang sekali menunjukkan bahwa suatu polling di Indonesia betapapun baiknya tidak akan pernah mampu menyumbangkan sesuatu yang jauh lebih berharga dan lebih penting dari hanya sekadar menyuarakan pendapat masyarakat. Polling hanya dilihat, terutama oleh para penguasa, sebagai pendapat masyarakat yang bila berbeda dengan pendapat penguasa tidak perlu digubris. Barangkali ketidakpedulian ini akan berubah bila pendapat masyarakat yang tercermin dalam polllng itu sesuai dengan pendapat mereka.
Kesimpulan ini sesungguhnya juga diperkuat oleh beberapa polling Iainnya, antara lain polling tentang perkelahian pelajar (1992), polling tentang pemberlakuan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (1993), dan polling tentang kesehatan di kalangan eksekutif (1993), dan polling tentang prospek reformasi di tubuh Golkar (1993).
Kendala dan Kesulitan Contoh kasus polling tentang KPP juga membawa kita memasuki persoalan lain yang tidak kalah pentingnya: bagaimana dan untuk tujuan apa pollmg akan digunakan? Polling tentang pemilihan presiden di Amerika Serikat jelas sekali bertujuan mengukur peluang setiap calon dalam pemilihan yang sebenarnya. Tetapi di sana, polling yang dilakukan sebulan sebelum hari pemilihan boleh jadi akan berbeda dengan hasil polling yang dilakukan hanya sehari sebelum hari pemilihan. Mengapa? Sebab para calon presiden yang bersangkutan dengan seksama mengikuti hasil polling, dan selanjutnya menyusun strategi kampanye baru untuk menjaga besarnya peluang (bagi calon yang menurut polling akan menang) atau untuk memperbesar peluang (bagi calon yang menurut polling kans menangnya kecil). Pendek kata, polling mampu memaksa timbulnya reaksi positif dari pihak-pihak yang terlibat.
Di Indonesia, mengharapkan reaksi positif seperti itu jelas suatu impian yang masih tergantung tinggi di awan, meskipun bukannya berarti mustahil. Terlebih lagi kalau polling berbicara tentang kasus-kasus politik yang menyangkut nama individu atau nama lembaga. Kecenderungan “negara dunia ketiga” yang menurut hemat saya masih terjadi di Indonesia yaitu pada prinsipnya pendapat masyarakat cenderung berbeda dengan pendapat penguasa merupakan kendala utama yang paling hebat merintangi terselenggaranya polling di bidang politik. Sebab dengan cara apapun polling dilakukan, dalam konfigurasi pertanyaan yang bagaimanapun halusnya polling diselenggarakan, dengan pemilihan sampel yang betapapun akuratnya, polling dengan cepat akan membawa para peneliti untuk berdiri di hadapan penguasa. Seringkali itu berarti datangnya frase “ketidakamanan” menyelenggarakan polling.
Karena ini, paling mudah adalah menyeIenggarakan polling di bidang yang jauh dari nuansa politik dan keamanan. Cuma kendala dalam menyelenggarakan polling di bidang lain ini adalah adanya kecenderungan bahwa hasil polling hanya akan mengajari para penyelenggaranya kepada efektivitas dan peribahasa manis ini: Anjing (silahkan terus) menggonggong, kafilah (tetap saja) berlalu.
Selain kendala yang bersifat secara alami datang dari hakekat polling itu sendiri tersebut, tentu sesungguhnya masih banyak kendala lain yang harus diatasi oleh para penyelenggara polling di Indonesia. Mulai dari sulitnya memperoleh atau membuat sample frame yang sesuai dengan kebutuhan polling, sampai sulitnya mencari tenaga lapangan yang dapat dipercaya. Belum lagi soal di seputar izin penyelenggaraan polling. Haruskah polling meminta izin terlebih dulu.
Mindra Faizaliskandiar, lahir di Bandung 24, Juni 1958. Menyelesaikan pendidikan S1 dari Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saat ini bekerja sebagai staf peneliti Litbang Harian Kompas, Jakarta.
Sumber: Prisma, 4 April 1994