Ketika pemerintah baru menyadari bahwa Indonesia mengalami krisis tenaga kerja di sektor pertanian, Imam Soejono sudah memberikan solusi. Sejak berdinas sebagai tenaga penyuluh pertanian pada 1974, dia aktif membina anak-anak petani dan menyiapkan mereka sebagai generasi andal yang mampu menghadapi persaingan global.
Imam Soejono baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-63 saat ditemui pada acara Jambore Nasional Pelatihan Anak Tani Remaja (Patra) di kompleks kebun percobaan PT Petrokimia Gresik di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, akhir Agustus 2014. Di usia yang tergolong lanjut, dia masih aktif berkegiatan.
Kakek yang didaulat sebagai Ketua Panitia Jambore Nasional Patra I ini terlihat lincah dan gesit mengurus semua kegiatan jambore. Para peserta yang mencapai 38 petani dari enam provinsi dan 10 kabupaten/kota di Tanah Air dapat mengisi kegiatan yang berlangsung baik. Di pengujung acara, dia tak bisa menyembunyikan rasa haru ketika melihat pelaksanaan kegiatan itu berlangsung sukses.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Saya sangat senang karena ini pertama kalinya anggota petani remaja bisa bertemu, saling tukar pemikiran dan bersaing dalam inovasi pertanian untuk menghasilkan produk-produk yang unggul,” ujar Imam.
Walaupun berkecimpung mengurus para petani, Imam sebenarnya bukanlah petani karena dia tidak punya sawah. Orangtuanya juga bukan petani, melainkan pegawai negeri sipil. Namun, dedikasinya yang luar biasa selama menjadi penyuluh pertanian membuat ayah tiga anak ini menaruh perhatian besar terhadap masa depan pertanian di Indonesia. Pengalamannya di lapangan menunjukkan bahwa perlu ada perhatian khusus terhadap generasi petani mendatang di Indonesia jika negeri ini ingin mempertahankan identitas sebagai negara agraris.
”Menyiapkan generasi tani juga bagian dari tugas penyuluh, di samping mendidik petani supaya cerdas. Kita juga mendampingi mereka mengatasi masalah,” kata lelaki yang istrinya juga penyuluh pertanian itu.
Imam lahir dan besar di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, hingga menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama. Setelah itu, dia melanjutkan ke sekolah pertanian menengah atas (SPMA) di Malang. Di sekolah kejuruan itulah kepekaannya terhadap dunia pertanian diasah. Selepas pendidikan di SPMA, dia sempat bertugas di Madura, sebelum akhirnya menjadi penyuluh pertanian di Bondowoso.
Tergerak
Saat bertugas di Bondowoso, dia tergerak mendidik anak-anak petani miskin untuk bergelut dan bekerja di dunia tani. Imam prihatin melihat anak muda di pedesaan yang tak mau pegang cangkul. Bahkan, anak-anak dan remaja putus sekolah pun enggan terjun ke sawah. Bagi mereka, menjadi petani dianggap tidak keren dan tidak bermasa depan.
Kondisi semakin parah karena petani miskin tak punya lahan untuk digarap. Imam pun khawatir, di masa mendatang tak ada lagi petani di negara yang berbasis agraris ini. Dia tertantang untuk menunjukkan, usaha pertanian tetap prospektif apabila digarap secara benar dan serius.
Bersama rekan penyuluh lain, seperti Daelimi, Imam mengumpulkan anak-anak petani yang tidak mampu melanjutkan sekolah dan mendidiknya tanpa biaya untuk menjadi petani. Pengetahuan umum, pengetahuan dasar, teori pertanian, serta praktik diajarkan kepada mereka. Ketekunan dan kedislipinan pun ditanamkan untuk menghasilkan petani tangguh.
Ketiadaan biaya dan lahan tak pernah menjadi hambatan. Ketika anak didiknya membutuhkan tempat praktik, ada pondok pesantren yang bersedia meminjamkan lahan secara gratis. Begitu pula saat mereka tidak punya dana untuk membeli benih serta pupuk, PT Petrokimia Gresik pun mengulurkan bantuan.
Supaya pendidikan yang diajarkan mengena, Imam, dibantu Daelimi dan juga sukarelawan lain, menyusun kurikulum. Isinya tidak hanya teori, tetapi juga banyak aplikasi di lapangan, seperti bagaimana teknik mencangkul yang benar.
Kendati berada di desa, mereka selalu berpikiran terbuka dan mencari masukan dari pihak mana pun. Imam tak segan untuk merangkul ahli tanaman dan mendatangkannya untuk mendidik murid-muridnya. Sejak awal, kepada para ahli, dia jujur berkata bahwa permintaannya untuk mengajari anak didiknya tidak mendapatkan bayaran.
Kesuksesannya menciptakan petani muda di Bondowoso menyebar ke daerah lain, seperti Bangka Belitung dan Gorontalo. Kini, total anggota Patra mencapai 1.500 petani, yang tersebar di 10 kabupaten dan enam provinsi.
Hampir setiap tahun Patra mengirim petani muda untuk magang di Jepang. Mereka yang berangkat ke Jepang mendapatkan banyak manfaat, termasuk di antaranya uang saku selama bekerja yang bisa digunakan sebagai modal usaha tani. Dan, tentu saja para petani muda itu juga mendapatkan ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan jaringan pasar.
Tak disangka, manfaat Patra begitu luar biasa. Mulai dari menyiapkan generasi tani muda, mencerdaskan petani dan menjadikannya tangguh, mencegah urbanisasi ke kota besar, hingga mencegah alih fungsi lahan. Apabila anak-anak petani meneruskan tradisi bertani, praktis mereka tidak akan menjual lahan.
Walaupun Imam tak pernah mendapatkan penghargaan atas usaha dan kerja kerasnya membangun pertanian berkelanjutan di Indonesia, cita-citanya tetap membara. Kakek dari dua cucu ini ingin semangat Patra diadopsi oleh sejumlah pemerintah daerah.
Sebab, dengan dorongan pemerintah daerah, upaya percepatan regenerasi petani bisa dicapai, alih fungsi lahan dikendalikan, produksi pangan ditingkatkan, serta impor tak diperlukan. Yang tidak kalah penting, petani muda lebih siap menghadapi persaingan global karena berbekal pengetahuan, teknologi, dan etos kerja.
”Saya sudah senang kalau mendapat telepon yang mengabarkan anggota Patra menjadi petani sukses yang mampu membeli lahan dari usaha taninya, membuka lapangan kerja baru, serta produknya berhasil menembus pasar global,” ucap Imam.
Triliunan rupiah uang negara dipakai untuk membuat Undang-Undang Pertanian, peraturan daerah, gaji pegawai, hingga membayar kunjungan kerja dan melakukan studi banding. Namun, Imam Soejono hanya bermodalkan semangat, ketulusan, dan ketekunan.
Satu lagi impiannya adalah agar Jambore Nasional Remaja Tani kedua bisa digelar. Walaupun, seperti halnya jambore pertama, Imam tak punya dana dan mengandalkan kebaikan hati PT Petrokimia Gresik.
”Hanya ini wadah mempersatukan petani remaja, berbagi pengalaman yang memotivasi, dan mendorong mereka untuk berkreasi serta berinovasi,” ujarnya. Imam seakan memberi pelajaran bahwa memperhatikan petani dan masa depan pertanian Indonesia tidak cukup hanya dengan berpidato, tetapi butuh kerja nyata.
—————————————————————————
K Imam Soejono
? Lahir: Bondowoso, 25 Agustus 1951
? Istri: Endang Sumarni
? Anak:
– K Novie Irwanto
– K Firman Affandie
– Ita Nursanti
? Pendidikan:
– Sekolah Rakyat, Bondowoso
– SMPN, Bondowoso
– SPMA, Malang
? Pekerjaan: Penyuluh Pertanian, 1971-2007
Oleh: Runik Sri Astuti
Sumber: Kompas, 16 September 2014