Hanya Dua, Jurnal Ilmiah Berakreditasi A

- Editor

Senin, 13 Desember 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jumlah jurnal ilmiah nasional yang berakreditasi A atau ”Sangat Baik” masih sangat rendah. Kondisi itu membuat upaya menjadikan jurnal nasional berstandar internasional dan menjadi rujukan ilmuwan mancanegara masih sangat sulit.

Hasil penilaian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional periode II tahun 2010 terhadap jurnal berkala ilmiah terbitan perguruan tinggi, lembaga penelitian, ataupun organisasi profesi pada November lalu menunjukkan, hanya dua jurnal yang terakreditasi A dan 26 jurnal terakreditasi B.

Sebanyak 46 jurnal, beberapa di antaranya berasal dari perguruan tinggi ternama, tidak terakreditasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jurnal terakreditasi A itu adalah The South East Asian Journal of Management yang diterbitkan Pusat Penelitian Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan Microbiology Indonesia terbitan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Jakarta.

Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah yang disusun Ditjen Dikti Depdiknas pada 2006 menyebutkan, ada delapan kriteria yang dinilai dalam proses akreditasi. Kriteria dengan bobot berbeda-beda itu adalah penamaan, kelembagaan penerbit, penyuntingan, penampilan, gaya penulisan, substansi, keberkalaan, dan kewajiban pascaterbit.

Untuk meningkatkan kualitas jurnal Indonesia, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga mantan Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB Arif Satria, akhir pekan lalu, mengatakan, setiap perguruan tinggi, apalagi fakultas atau program studi, tidak perlu membuat jurnal sendiri. Jurnal ilmiah cukup disusun oleh organisasi profesi ilmuwan sehingga kualitasnya lebih baik.

”Kita tak perlu mengejar jumlah, tetapi mengejar kualitas jurnal. Di sinilah peran organisasi keilmuan harus kuat untuk menghasilkan riset berkualitas. Ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus bisa berkolaborasi,” katanya.

Namun, Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Institut Teknologi Bandung Wawan Gunawan A Kadir menolak usulan itu. Upaya peningkatan mutu jurnal perguruan tinggi dapat dilakukan dengan peningkatan standar jurnal agar terindeks dalam basis data jurnal ilmiah global.

Jika mengejar jumlah jurnal semata, menurut Wawan, potensi jurnal Indonesia bisa melebihi jurnal produksi Malaysia dan Thailand. Namun, ilmuwan Indonesia lebih banyak memilih memublikasikan penelitiannya di jurnal bergengsi yang menjadi rujukan ilmuwan internasional.

Tumpang tindih

Selain persoalan kuantitas dan kualitas, penelitian berbagai lembaga penelitian di Indonesia sering kali tumpang tindih. Akibatnya, penelitian yang dilakukan kurang menghasilkan kemajuan berarti karena mengulang-ulang penelitian yang dilakukan lembaga lain.

Ketua Dewan Riset Nasional Andrianto Handojo mengatakan, lembaga yang melakukan penelitian di Indonesia cukup banyak. Lembaga itu terdiri dari 114 perguruan tinggi negeri, 301 perguruan tinggi swasta, 8 badan usaha milik negara, 8 badan usaha milik swasta, 76 lembaga penelitian departemen, 91 lembaga penelitian nondepartemen, dan 24 lembaga penelitian pembangunan daerah.

Jumlah peneliti yang bekerja di berbagai lembaga tersebut belum bisa dirinci secara pasti.

”Kalau pemerintah ingin riset itu maju, persoalan regulasi dan koordinasi riset harus dituntaskan terlebih dahulu,” ujarnya.

Pola pikir pemerintah mengenai kegiatan riset juga perlu dibenahi. Selama ini, sistem anggaran dari pemerintah untuk riset masih disamakan dengan belanja barang.

Kepala Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bambang Subiyanto mengatakan, regulasi yang ada selama ini justru menghambat kegiatan riset ataupun aplikasinya. ”Implementasi hasil penelitian rendah karena regulasi yang tidak jelas,” ujarnya.

Ketidakjelasan aturan juga terjadi pada proses pelibatan swasta dalam riset serta pemanfaatan dana hibah. (ELN/NAW/MZW)

Sumber: Kompas, Senin, 13 Desember 2010 | 06:21 WIB

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum
3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum
Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023
Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023
Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023
Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023
Berita ini 1 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Senin, 13 November 2023 - 13:46 WIB

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 November 2023 - 13:42 WIB

3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum

Senin, 13 November 2023 - 13:37 WIB

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:01 WIB

Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:52 WIB

Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:42 WIB

Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika

Berita Terbaru

Berita

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 Nov 2023 - 13:46 WIB

Berita

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 Nov 2023 - 13:37 WIB