Di balik tumpukan 8.165 borang akreditasi di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi atau BAN-PT tersembunyi soal pokok proses akreditasi dibandingkan de- ngan kecepatan memeriksa, veri- fikasi, dan menilai borang itu.
Fenomena ini muncul bukan oleh besarnya jumlah PT dan program studi yang sudah harus diakreditasi ulang, melainkan diberlakukannya borang baru per Oktober 2018 untuk PT dan April 2019 untuk program studi. Dengan kata lain, banyak PT yang enggan memakai borang baru dan tetap memakai borang lama selagi ada waktu. Mengapa borang baru seperti hantu yang menakutkan PT?
Alasan mendasar PT enggan memakai borang baru adalah beratnya tuntutan beberapa butir tanyaan di borang baru. Butir-butir ini sebagian merupakan pengembangan dari tanyaan sejenis di borang lama, tetapi beberapa yang lain memang tanyaan baru. Semua perubahan tanyaan ini muncul sebagai akibat digunakannya paradigma baru dalam perumusan alat ukur akreditasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BAN memakai tiga alasan dalam membuat borang baru. Pertama, borang lama sudah tak se- suai dengan berbagai kebijakan pendidikan tinggi yang kini, khususnya dengan Permenristekdikti No 32/2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Kedua, menyesuaikan diri dengan tren inter- nasional yang paradigmanya bergeser dari berorientasi input dan proses menuju output dan outcome. Ketiga, adanya kelemahan di borang lama yang memungkinkan pelaporan tak sesuai dengan realitas sehingga menyesatkan penilaian.
Perubahan paradigma dari input dan proses menjadi output dan outcome mengubah bobot penilaian secara drastis. Semula output hanya berbobot 16 persen, sekarang menjadi 38 persen, artinya naik 100 persen lebih. Akibatnya, borang baru banyak memuat kriteria baru ataupun standar baru terkait produktivitas dan kualitas hasil kegiatan tridarma.
Untuk bidang pendidikan, borang baru tidak hanya mendata kinerja output lulusan seperti masa studi, persentase kululusan tepat waktu, dan rerata IPK, tetapi juga mengukur outcome-nya seperti kesesuaian dengan kompetensi lulusan dengan rumusan profil serta tingkat dan ukuran tempat kerja lulusan. Selain terkait outcome, borang baru juga memuat kriteria untuk program internasionalisasi semisal pertukaran mahasiswa, transfer kredit, double degree ataupun program fast-track dengan PT asing.
Kinerja darma penelitian lebih berat lagi dipenuhi sebab borang baru memuat kriteria outcome tak hanya pada jumlah publikasi ilmiah, tetapi juga jumlah publikasi yang disitasiserta hasil penelitian seperti hak paten, hak cipta, dan rekayasa teknologi. Untuk darma pengabdian pada masyarakat, borang baru menuntut adanya outcome berupa produk konkret, seperti teknologi tepat guna, publikasi, paten, ataupun HAKI.
Selain memberi penekanan pada output dan outcome, borang baru sebenarnya memuat kriteria baru yang sangat bagus dan relevan: keterhubungan dan integrasi lintas darma dalam pelaksanaan tridarma. Instrumen ini sangat strategis karena di situlah salah satu soal mendasar yang sekarang dihadapi PT: tidak gayutnya di antara darma pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Meski demikian, mengubah orientasi kegiatan tridarma menjadi satu kesatuan integratif tidak secepat membalik tangan. Selain perubahan orientasi, borang baru menggunakan beberapa standar yang lebih tinggi untuk mendapat skor tertentu. Perubahan standar itu mencakup seluruh darma seperti besaran dana penelitian, dana pengabdian, biaya studi per mahasiswa per tahun, serta kualifikasi jabatan fungsional dosen tetap.
Wajar
Dengan berbagai perubahan instrumen dan standar seperti itu, wajar jika banyak PT belum siap pakai borang baru. Meme- nuhi kriteria dan standar output dan outcome jauh lebih sulit dibandingkan dengan yang untuk input dan proses. Ini sangat wajar sebab kinerja output dan outcome butuh waktu dan usaha lebih banyak mewujudkannya.
Banyak PT, terutama PTS, merasa borang baru akan menurunkan peringkat akreditasi sebab kriteria penilaiannya memuat syarat perlu mendapat peringkat ”Unggul” maupun ”Baik sekali”. Untuk ”Unggul”, syarat perlu itu mencakup: semua pro- gram studi harus terakreditasi A (kalau ada yang bernilai B harus diimbangi dengan program studi yang terakreditasi ”Unggul”); rasio jumlah publikasi internasional dan jumlah dosen tetap minimal 10 persen selama tiga tahun; ada dosen tamu asing minimal 1 persen dari jumlah dosen tetap; minimal ada 10 persen mahasiswa terlibat program internasional; dan paling tidak 10 persen sumber dana penelitian dosen tetap berasal dari luar negeri.
Syarat perlu ini akan sangat berat dipenuhi PT. Artinya, PT dan terutama PTS yang telah dapat skor akreditasi A mema- kai borang lama akan kesulitan untuk mendapat nilai ”Unggul” bila memakai borang baru, terutama karena harus memenuhi syarat perlu yang pertama.
Meskipun akreditasi selalu bertujuan ganda (formatif dan evaluatif), bagi masyarakat umum, akreditasi lebih bermakna yang kedua. Dengan kata lain, akreditasi semata-mata bermakna sebagai penilaian kualitas. Realitas ini sangat memberatkan PTS yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada reputasinya di masyarakat dan nilai akreditasi sudah menjadi salah satu ukuran reputasi yang mapan.
Pemerintah mesti memberikan waktu setidaknya tiga tahun bagi PT untuk melakukan perubahan sebelum mewajibkan memakai borang baru. Waktu tiga tahun disesuaikan dengan rentang penilaian yang digunakan borang.
Dari perspektif evaluasi pendidikan, sebenarnya tidak adil menilai kinerja unit pendidikan tanpa memberi kesempatan cukup melakukan berbagai penyesuaian standar yang digunakan. Kebijakan semacam ini akan dengan mudah dipahami sebagai tindakan yang sewenang-wenang dan melanggar paradigma pemerintahan modern yang lebih mengutamakan fasilitasi dan pelayanan ketimbang regulasi dan pengawasan.
Semoga Kemenritek dan Dikti kabinet baru tak meneruskan tradisi mengubah kebijakan tanpa persiapan. Jangan kesewenangan berulang seperti dalam klusterisasi PT 2018 saat tiba-tiba bobot aspek sumber daya manusia diubah tanpa penjelasan memadai. Perubahan itu langsung berdampak pada pemeringkatan PT 2018 dan memunculkan spekulasi bahwa kebijakan itu politis dan sektarian.
Johanes Eka Priyatma Rektor Universitas Sanata Dharma
Sumber: Kompas, 21 Juni 2019