Firmanzah; Setelah Jadi Dekan Termuda, Kini Guru Besar Termuda di UI

- Editor

Senin, 23 Agustus 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pernah Menginap Tiga Hari di Perpustakaan Kampus

Menjadi doktor termuda, lalu dekan termuda di Universitas Indonesia. Itulah prestasi akademik yang dicapai Firmanzah. Rabu lalu (18/8) dia dikukuhkan sebagai guru besar termuda di UI pada usia 34 tahun. Bagaimana semua itu bisa dia raih?

NUNGKI KARTIKASARI, Jakarta

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KETIKA ditemui di rumah salah seorang rekannya di kawasan Jalan Plaju, Jakarta Pusat, Fiz -panggilan akrab Firmanzah- sedang membaca buku. Bagi pria kelahiran Surabaya, 7 Juli 1976 itu, tak ada waktu luang yang dilewatkan tanpa membaca buku.

Ketika sedang menunggu Jawa Pos untuk wawancara Jumat malam lalu (20/8), dia menggunakannya untuk membaca buku. Begitu Jawa Pos datang, buku yang dia baca ditutup.

Malam itu, Fiz mengatakan baru saja merampungkan satu agenda rapat. “Ini saya mau lanjut untuk mengikuti rapat lainnya,” ucap suami Ratna Indrawari, 27, itu.

Sehari-hari Fiz memang sangat sibuk. Selain menjabat sebagai dekan di Fakultas Ekonomi UI, dia aktif berorganisasi dan menjadi pembicara di berbagai seminar. Selain itu, dia termasuk penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di berbagai surat kabar nasional serta jurnal-jurnal ilmiah, baik di lingkup nasional maupun internasional.

Banyaknya aktivitas yang dilakoni bukan hal baru bagi Fiz. Kebiasaan itu dia jalani sejak masa sekolah hingga kuliah. Agar semua kegiatannya bisa dijalani dengan baik, Fiz menjadikan disiplin, komitmen, dan kerja keras sebagai pegangan hidup. “Kuncinya cuma itu. Tapi, harus benar-benar dilakukan. Jangan dijadikan motivasi saja,” ucapnya berapi-api.

Dengan pegangan hidup itu, Fiz berhasil meraih apa yang sebelumnya dianggap sulit. Misalnya, meraih jabatan guru besar. Dia mampu menunjukkan bahwa guru besar tidak selalu dimiliki oleh akademisi berusia setengah abad. “Tapi, itu tidak mudah loh,” paparnya.

Sosok Fiz yang menonjol sudah terlihat ketika dia lulus sarjana dari Fakultas Ekonomi UI. Saat itu, dia meraih predikat cum laude dengan masa studi 3,5 tahun.

Selama kuliah di FE UI, Fiz mengaku sering bolos. Sebab, dia menjadi aktivis yang sering ikut kegiatan organisasi. “Kadang, terpaksa mbolos karena harus memimpin rapat organisasi. Tapi, kebanyakan bolos itu saya pakai untuk ikut demo,” cerita mantan ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FE UI tersebut.

Setelah lulus dan mengantongi status sarjana pada 1998, Fiz bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta sebagai marketing analyst selama 1 tahun 2 bulan.

Bagi alumnus SMPN 12 Surabaya tersebut, bekerja saja tidak cukup. Dia kemudian melanjutkan studi S-2 di pascasarjana FE UI pada 1999. Ketika di pascasarjana itulah, Fiz menempuh program gelar ganda. Yakni, magister manajemen (MM) dan Certificat d’Aptitude a l’Administration des Entreprises (CAAE) di FE UI yang bekerja sama dengan pemerintah Perancis.

Selama mengikuti kuliah S-2 dengan program gelar ganda tersebut, Fiz harus membagi waktu. Jadwal dua kuliah itu juga harus disesuaikan karena program tersebut saling bersinggungan. Berkat disiplin dan kerja keras, Fiz berhasil menyelesaikan program S-2 dengan gelar ganda itu dalam waktu 1 tahun 8 bulan. “Begitu lulus, keinginan saya untuk melanjutkan ke jenjang S-3 semakin kuat,” ujar anak kedelapan di antara sembilan bersaudara itu.

Ternyata, Fiz tidak butuh waktu lama untuk dapat melanjutkan studi S-3. Dia akhirnya mendapatkan tawaran beasiswa untuk kuliah S-3 di Prancis. “Rasa senang dan rasa lainnya bercampur-campur. Semua bisa begitu lancar,” terang vice president Indonesia Marketing Association (IMA) itu.

Pada 2001, berangkatlah Fiz ke Prancis untuk melanjutkan pendidikan program doktor. Sesampainya di sana, gelar ganda S-2 (MM dan CAAE) yang diraih Fiz di Indonesia tidak bisa menjadi syarat untuk melanjutkan program S-3 jurusan manajemen strategi di University of Pau et Pays de l’Adour, Prancis. ”Menurut mereka, mata kuliah yang saya ambil di Indonesia tidak sama dengan jurusan yang saya pilih di Prancis,” ungkapnya.

Beruntung, donatur yang memberinya beasiswa mengizinkan Fiz untuk mengambil kuliah pascasarjana lagi setingkat S-2 di Lille University of Science and Technology, Prancis. Dengan demikian, di Prancis, alumnus SMAN 2 Surabaya itu kembali menjalani dua kuliah dalam waktu bersamaan. Yang satu setingkat S-2 dan satunya lagi untuk program doktoral. ”Saya bersyukur tetap diizinkan untuk menempuh S-3, meski harus menyesuaikan kembali mata kuliah dengan belajar S-2 lagi,” ucap pria yang sejak menikah tiga tahun lalu belum dikaruniai anak tersebut.

Tantangan yang dihadapi Fiz dari semester ke semester semakin berat. Fiz mengatakan, biaya hidup dan beasiswa yang diberikan cenderung pas-pasan. ”Tapi, saya harus punya target. Tidak boleh putus asa,” tegasnya.

Fiz menjelaskan, upaya untuk mengejar ketinggalan dan memahami lebih jauh dua jenjang pendidikan yang dia tempuh sekaligus itu membuatnya stres. ”Saya bingung. Bagaimana saya harus belajar. Dari mana saya mulai,” terang mantan kepala kantor humas dan protokol UI itu.

Untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi selama kuliah di negeri orang itu, Fiz memutuskan untuk mencari jawabannya dengan banyak membaca. Maka, tempat yang dia pilih untuk sering didatangi adalah perpustakaan kampus. ”Saya menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua saya. Saya belajar, makan, minum, dan tidur di sana,” imbuhnya. ”Saya sering tidur di sofa perpustakaan setiap Jumat malam” lanjutnya.

Karena sering tidur dan tinggal di perpustakaan kampus, Fiz dikenal baik oleh si penjaga perpustakaan. Saking baiknya, Fiz sampai dipinjami kunci perpustakaan jika tak kunjung pulang. ”Dia sudah tahu, kalau saya sudah sibuk membaca dan mengetik, itu berarti saya akan lama di sana (perpustakaan, Red),” tuturnya.

Di perpustakaan, Fiz sering membawa kasur gulung. ”Kasur itu saya bawa kalau saya bosan tidur di sofa,” kisahnya.

Menurut Fiz, ruangan perpustakaan di kampusnya berukuran sekitar 10 x 10 meter. Yang membuat Fiz merasa betah adalah perpustakaan di sana dilengkapi kamar mandi dan kafe di dalamnya.

Di perpustakaan itu, pria yang hobi membaca tersebut pernah menginap hingga tiga hari. Hanya untuk membaca, mengetik, dan mengerjakan tugas kuliah. ”Saya hanya keluar untuk mandi, makan, dan ibadah,” terangnya.

Tidak heran, dengan segala perjuangan kerasnya itu, Fiz mampu menyelesaikan program S-2 dan S-3 sekaligus dalam waktu 3,5 tahun. Setahun sebelum kembali ke tanah air, Fiz mengajar S-3 di University of Pau et Pays de l’Adour, Prancis.

Pria yang gemar menonton film tersebut mengatakan, kebiasaan membaca itu terbawa hingga sekarang. Selain membaca, Fiz gemar menulis artikel dan buku. Setelah tidak lagi disibukkan dengan kuliah, Fiz mulai menekuni hobinya. Yakni, menulis buku dan artikel. Sudah puluhan artikel yang termuat di media masa.

Selain itu, sudah enam buku yang diterbitkan. Di antaranya, The Spirit of Change yang terbit pada 2006; Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika Sistemik pada 2007; Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas pada 2007, dan Mengelola Partai Politik: Persaingan dan Positioning Ideologi Politik pada 2008. “Saya sekarang sudah menyiapkan terbitan buku yang ketujuh,” ujarnya. (c6/kum)

Sumber: Jawa Pos, 23 Agustus 2010

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB