Penerapan multibeam echo sounder, side scan sonar, magnetometer, dan remotely operated vehicles (ROV) terbukti mempercepat pencarian obyek karam.
Cuaca buruk di perairan kerap mengancam keselamatan transportasi di laut. Faktor alam itu dibarengi tak laiknya sarana kapal dan pengoperasiannya mengabaikan aspek keselamatan penumpang.
Hal ini memicu tenggelamnya Kapal Sinar Bangun di Danau Toba. Kapal berkapasitas 44 penumpang pada penyeberangan dari Simarindo, Kabupaten Samosir, menuju Tigaras, Kabupaten Simalungun, Senin (18/6/21018), dijejali penumpang hingga empat kali dan muatan barang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Prediksi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebutkan hari itu akan terjadi cuaca buruk pada sore hari yang memicu gelombang 2 meter. Pada peringatan dini cuaca di Sumatera Utara, BMKG menyebut akan ada
hujan lebat dan angin kencang pukul 17.00-19.00, termasuk di Samosir. Peringatan ini tak diindahkan pengelola kapal. Kondisi cuaca ini terkait tenggelamnya kapal penumpang itu.
Pencarian kapal tenggelam di barat daya danau terbesar di Asia Tenggara ini tak berhasil hingga Basarnas mengoperasikan multibeam echo sounder (MBES) setelah enam hari pencarian dan mengerahkan side scan sonar milik Pusat Hidro Oseanografi TNI AL.
Alat penginderaan jarak jauh MBES ialah unit instrumen elektronis memancarkan multi gelombang suara atau akustik sampai 126 sensor gelombang ke arah berbeda di dasar laut dengan sapuan 150 derajat. Gelombang akustik mengenai setiap obyek di dasar laut. Pantulan gelombang ditangkap alat penerima di kapal.
Kecepatan gelombang suara di air 1.484 meter per detik atau 4,3 kali di udara. Kecepatan gelombang balik berbeda bagi setiap jenis material. Pantulan gelombang suara dari material logam akan lebih kuat dibandingkan dengan material lumpur.
Setiap data gelombang balik atau pantulan ditangkap unit penerima gelombang akan direkam. Data rekaman dipadukan dan diolah di komputer di kapal. Hasilnya berupa profil dasar laut atau batimetri ditampilkan di layar monitor. Karena MBES dioperasikan di atas kapal yang bergerak di bawah 7 knot atau kecepatan 15 kilometer per jam, data profil dasar laut berupa luas area tertentu dilewati kapal survei. Adanya profil menonjol di dasar permukaan laut jadi indikasi lokasi obyek.
Dengan MBES yang mendeteksi obyek hingga kedalaman 2.000 meter, tim survei Basarnas dan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung mendeteksi obyek menyerupai kapal, Minggu (24/6). Obyek berada di kedalaman 450 meter, berjarak sekitar 2 kilometer arah barat daya posko utama di Pelabuhan Tigaras.
Sebelumnya, side scan sonar dioperasikan, yakni unit lain pemancar gelombang akustik. Alat ini menembakkan gelombang suara ke kiri dan kanan di sudut tertentu. Untuk kedalaman 500 meter, lebar wilayah ”disapu” 8,3 kali kedalaman atau 4.150 meter. ”Pembuatan profil dasar laut hampir sama dengan MBES,” kata Hamman Riza, Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT.
Memetakan obyek
Dalam memetakan obyek di dasar danau, side scan sonar yang berbentuk roket ini memakai teknologi suara ultra untuk meningkatkan resolusi target dicari. ”Side scan sonar bisa membedakan jenis sedimen pembentuk permukaan dasar laut, seperti batu karang, lumpur, dan pasir,” kata Hamman.
Instrumen lain ialah magnetometer. Alat itu mengukur kekuatan medan magnet bumi untuk mengetahui lokasi obyek tenggelam berdasar unsur logam seperti badan kapal dan bagian mesin.
Sementara di Pusat Riset Kelautan KKP, menurut Rainer Arief Troa, peneliti geologi kelautan, pencarian kapal karam atau obyek di dasar perairan memakai teknologi instrumentasi berbasis pendeteksian sifat fisika unsur logam dari kapal karam dengan pendeteksi logam bawah air.
Data posisi obyek pada profil dasar laut diverifikasi memakai ROV untuk mendapat gambaran visual langsung dari bawah air pada obyek itu yang kedalamannya lebih dari 50 meter. Jika perairan dangkal di bawah 50 meter, peninjauan visual dapat dilakukan penyelam dilengkapi kamera bawah air.
Teknologi wahana bawah laut nirawak dengan kamera audio video bawah air untuk mendapat gambaran bawah laut secara visual disebut remotely operated vehicle (ROV). Alat itu memakai kabel dengan panjang tertentu dalam pengoperasiannya dengan unit pengendali di kapal. Selain itu, ada autonomous underwater vehicle (AUV) yang memakai teknologi pemrograman dikendalikan tanpa kabel lewat frekuensi radio, wireless-LAN, atau satelit.
Jika ditemukan obyek terkubur di lapisan sedimen, survei lanjutan dilakukan dengan magnetometer atau metal detector untuk pendugaan lapisan sedimen. ”Jika ditemukan, dilakukan ekskavasi dan pengangkatan memakai kapal dilengkapi alat keruk dan crane,” kata Rainer.
Jika ditemukan, dilakukan ekskavasi dan pengangkatan memakai kapal dilengkapi alat keruk dan crane.
Sejauh ini, menurut pakar penginderaan jauh Indroyono Susilo, peneliti kelautan Indonesia berpengalaman mencari kapal tenggelam sejak 1981 dalam pencarian kapal Tampomas yang tenggelam di perairan Masalembo. Peneliti kelautan BPPT juga menemukan kapal feri Gurita di perairan Sabang, Aceh, pada 1996; pesawat Adam Air di Selat Makassar pada 2007; kapal Bahuga Jaya di selat Sunda pada 2012; dan menemukan kotak hitam pesawat AirAsia QZ 8501 yang jatuh di Selat Karimata, Desember 2014.
Evakuasi kapal
Setelah ditemukan posisi kapal dan obyek ditemukan, upaya berikutnya ialah mengangkat kapal dan jenazah korban yang tertahan di badan kapal. Menurut Kepala Basarnas M Syaugi, evakuasi tak bisa dilakukan penyelam. Kemampuan penyelam hanya 60 meter atau 6 atmosfer tekanan. Di kedalaman 450 meter tekanan 45 atmosfer.
Untuk sampai ke obyek di kedalaman 450 meter ke bawah harus mengerahkan robot. Namun, Basarnas tak memilikinya. Robot penyelam yang dimiliki negara lain mampu menyelam maksimal 100 meter untuk mengevakuasi korban. ”Kami akan menarik kapal itu dengan jangkar agar ada bagian lepas sehingga korban bisa naik ke permukaan,” ucap Syaugi.
Namun, kondisi perairan di danau berbeda dengan laut yang berat jenis airnya lebih berat dibandingkan air laut sehingga jasad tak bisa naik ke permukaan air. Itu ditunjukkan temuan jasad oleh ROV di dasar danau. ”Pembongkaran kapal sulit karena jendela ada jeruji besi,” kata Indroyono.–YUNI IKAWATI
Sumber: kompas, 30 Juni 2018