Cerpen: Simfoni Sel

- Editor

Rabu, 16 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Aku masih ingat suara Ayu terakhir kali. Bukan kata-kata, tapi suara napasnya yang berat. Napas yang berhenti di tengah lagu favorit kami. Sejak itu, dunia sepi, bahkan piano tua di sudut apartemen tak lagi bersuara. Aku, Nara, seorang ilmuwan yang dulu hanya memandang hidup sebagai kode genetika, tiba-tiba kehilangan arah.

Tapi di laboratorium biologi molekuler tempatku bekerja, aku menemukan sesuatu. Jarum nano-akustik yang kugunakan untuk mengukur getaran RNA dari sel-sel jaringan kanker Ayu menghasilkan data aneh. Bukan sekadar noise. Ada pola, seperti irama, seperti bisikan musik dari kedalaman mikroskopis. Awalnya aku menganggap itu halusinasi karena terlalu lelah, tapi semakin aku mendengar, semakin jelas harmoni yang muncul.

“Nara, kau begadang lagi?” suara Dr. Saka mengejutkanku. Ia mentor sekaligus orang yang paling kukagumi, tapi juga yang paling skeptis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Profesor, lihat ini…” Aku memutar rekaman getaran sel normal dan sel kanker di layar. Spektrum frekuensinya naik turun, seperti notasi aneh yang menari.

“Kau serius menganggap ini musik?” tanyanya sambil mengernyit.

“Dengarkan baik-baik, Prof. Ini seperti… ada nada. Ada harmoni. Sel-sel sehat seperti orkestra yang stabil, sedangkan sel-sel kanker—lihatlah—seperti nada sumbang yang memecah simfoni.”

“Kau terlalu emosional, Nara. Sains bukan untuk mengobati rindu.”

Kata-kata itu seperti pisau. Tapi aku tahu, ada sesuatu di balik data itu. Malam-malam berikutnya aku memindahkan pola getaran itu ke perangkat musik. Aku duduk di depan piano, memprogram tuts sesuai frekuensi. Nada-nada aneh mulai memenuhi ruangan, seperti nyanyian dari dunia lain. Lembut, lalu pecah-pecah, lalu menyayat hati. Air mata jatuh di tuts piano. “Ayu… ini kamu, ya?”

Di rapat berikutnya, aku mempresentasikan temuanku. Grafis RNA, potongan rekaman suara sel yang kuputar. Ruangan hening beberapa detik, lalu pecah oleh tawa salah satu anggota dewan peneliti.

“Ini sirkus, bukan penelitian,” kata Dr. Bram, kepala divisi. “Anggaran laboratorium tidak untuk eksperimen sentimental.”

“Tapi ini nyata! Dengan memetakan getaran RNA, kita bisa mendeteksi perubahan sebelum mutasi terjadi—”

“Cukup, Nara. Kau sedang berduka, kami mengerti. Tapi berhentilah mencampur sains dan perasaan.”

Aku keluar dari ruang rapat dengan dada sesak. Di luar gedung, hujan turun deras. Aku duduk di tangga, memeluk map dataku, merasakan dunia seolah menertawakan mimpi kecilku.

Malam itu, aku menerima pesan dari Dr. Saka: Jangan menyerah. Mungkin bukan mereka yang harus kau yakinkan. Tapi dunia.

Aku mulai mengunggah potongan rekaman dan visualisasi dataku ke forum-forum seni dan sains. Responnya luar biasa. Beberapa musisi menghubungiku, ingin bekerja sama. Beberapa ilmuwan muda mengirim pesan rahasia: Ini revolusi, Nara.

Revolusi atau tidak, aku tahu satu hal: aku harus membawanya ke panggung. Tapi itu berarti melawan dewan peneliti, melawan risiko kehilangan pekerjaanku. Dan memang, tak lama kemudian aku dipanggil.

“Jika kau tetap dengan proyek konyol itu, kami tidak bisa mempertahankanmu di sini,” kata Dr. Bram dingin.

Aku menatap matanya. “Kalau begitu, saya akan pergi.” Tanganku gemetar saat menandatangani surat pengunduran diri. Tapi di balik ketakutan itu, ada percikan keberanian yang aneh.

Konser itu digelar di sebuah ruang komunitas seni, kecil tapi penuh jiwa. Aku membawa piano tua dari apartemen, dibantu Reza, seorang musisi elektronik yang percaya pada proyekku. Kami menyambungkan sistem nano-akustik ke speaker, memutar getaran RNA dalam harmoni dengan permainanku.

Saat lampu meredup, aku berdiri di depan penonton: musisi, mahasiswa, beberapa ilmuwan yang diam-diam datang. Nafasku tercekat.

“Musik ini,” suaraku bergetar, “adalah suara kehidupan. Suara sel. Suara adikku, Ayu. Dengarkanlah.”

Aku mulai memainkan tuts pertama. Nada-nada lembut seperti embusan angin pagi. Lalu perlahan, getaran sel kanker itu menyusup: nada-nada ganjil, berliku, menyayat hati. Di layar belakang panggung, grafik RNA bergerak mengikuti musik. Penonton terdiam. Beberapa menahan napas, beberapa menutup mata. Dr. Saka berdiri di belakang, matanya berkaca-kaca.

Tiba-tiba, salah satu speaker mati. Suara mendadak terputus. Panik menyergap. Penyelenggara berlari memperbaiki kabel. Penonton mulai gelisah. Aku memejamkan mata, menarik napas, dan tetap bermain piano, mencoba menjaga alur meski tanpa suara getaran sel.

“Lanjutkan!” teriak seseorang dari penonton. Itu suara Dr. Saka.

Aku menekan tuts dengan tenaga baru, mengalirkan semua rasa kehilangan dan harapan. Speaker kembali menyala, melodi sel kembali bergema, kali ini lebih kuat, lebih bulat, seolah Ayu sendiri ikut bermain bersamaku.

Saat nada terakhir bergema, ruangan hening. Lalu tepuk tangan pecah. Orang-orang berdiri, beberapa menangis, beberapa berteriak lega. Aku terisak di depan piano, merasa Ayu memelukku dari dunia yang jauh.

Seminggu kemudian, aku menerima email dari jurnal biologi paling bergengsi: Kami tertarik untuk memuat penelitian Anda. Temuan Anda membuka bidang baru: bioacoustic transcriptomics.

Aku duduk di depan piano, jari-jariku menyentuh tuts. Kali ini, aku tidak menangis. Aku tersenyum. Ayu hidup di setiap nada, di setiap sel, di setiap simfoni.

Dan dunia akhirnya mendengar.

Tepian Kali Cikumpa, pertengahan Juli 2025 yang basah

Cerpen: Avicenia

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Cerpen: Anak-anak Sinar
Kapal yang Ditelan Kuda Laut
Pohon yang Menolak Berbunga
Cerpen: Tamu dalam Dirimu
Cerpen: Bahasa Cahaya
Bersilang Nama di Delhi
Pabrik Skripsi
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 16 Juli 2025 - 22:11 WIB

Cerpen: Simfoni Sel

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:30 WIB

Cerpen: Anak-anak Sinar

Senin, 14 Juli 2025 - 15:17 WIB

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:09 WIB

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Rabu, 9 Juli 2025 - 11:11 WIB

Cerpen: Bahasa Cahaya

Berita Terbaru

fiksi

Cerpen: Simfoni Sel

Rabu, 16 Jul 2025 - 22:11 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB