GEMA hasil pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini patut disambut gembira bagi sebuah proses suksesi. Setelah tiga periode berturut-turut AS dikendalikan Partai Republik, Bill Clinton dari Partai Demokrat, akhirnya menang. Sebuah kemenangan yang ditanggapi positif oleh pers dunia.
Sebelumnya, ramalan menang justru dekat ke kubu George Bush, bahkan hingga kerusuhan rasial meledak di California bulan April lalu. Waktu itu, pengamat politik dan prospek demokrasi banyak yang khawatir bila ramalan itulah yang gol.
Mengapa khawatir?
Mereka rupanya membaca situasi pemilihan di negara-negara liberal demokratis Eropa Barat. Ada kecenderungan, partai berkuasa lebih dari dua kali berturut-turut memenangkan pemilihan dalam kurun pertengahan tahun 1991 hingga awal tahun ini Inggris dengan Partai Konservatif, Jerman dengan Partai Kristen Demokrat, Perancis dengan Partai Sosialis, demikian pula Italia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh karena itu, kemenangan Clinton adalah suatu pencerahan baru bagi proses suksesi di negara liberal demokratis yang diharapkan bisa mengimbas ke negara-negara berkembang yang masih harus belajar demokrasi an sich, tanpa embel-embel muatan lokal pada kata demokrasi itu sendiri.
Namun, bagi eksplorasi angkasa luar, kemenangan ini berbunting duka cita. Sudah sejak pagi kandidat wakil presiden yang mendampingi Bill Clinton, Al Gore, dalam kampanye mengingatkan, bila mereka berhasil bereksekutif ala Montesqiue mulai tahun 1993, maka jangan bermimpi melawat key Mars atau bahkan ke Bulan.
Dalam bahasa lain, peringatan Gore itu bisa berarti, program spektakuler antariksa tak bakal mendapat porsi yang wajar bila dibandingkan dengan era Bush, Reagan, dan masa-masa sebelumnya. Pokoknya, yang muncul nanti ialah pengorbitan satelit dan pesawat angkasa luar yang frekuentif untuk mendatakan pemanasan global, lubang ozon, dan parameter lingkungan lain pada atmosfer Bumi.
Sebagai pejuang lingkungan, Gore tentulah punya maksud luhur untuk mengamankan Bumi dan atmosfemya. Maka, dana yang selama ini dialokasikan kepada program antariksa yang wah-wah konon akan digunakan untuk mensolusikan persoalan ekologis.
Adalah tipis kemungkinan mengambil dana dari sektor-sektor lain. Perbaikan ekonomi domestik AS butuh biaya amat besar, untuk dana kesehatan dan dana sosial, yang bila masih tetap ditinggalkan seperti pada era Bush, bisa-bisa memancing kegagalan melting pot “para imigran yang kini makin membengkak di negeri Paman Sam itu.
BAGI kebudayaan dan sejarah, amatlah disesalkan kalau sebuah negara –yang manusia dan uangnya sanggup menyelenggarakan eksplorasi sains dengan Iaboratorium alam semesta– hrus berhenti ketika beberapa prospek cerah justru muncul tahun ini.
Di wilayah kosmologi astrofisika sebuah temuan besar terajadi bulan April lalu. Dengan wahana angkasa Cosmic Background Explorer (CBE) kepunyaan NASA, ahli astrofisika George Smoot menemukaw satu riak awan tipis yang membentuk struktur paling besar dan paling tua di alam semesta terentang sepanjang 94,4 milyar tahun kilometer yang berasal dari masa 15 milyar tahun silam.
Menurut ilmuwan yang bekerja di Laboratorium Lawrence, Berkeley, California itu, struktur demikian ada hanya 300.000 tahun setelah Dentuman Besar, ledakan katalismik yang diyakini para ilmuwan melahirkan alam semesta.
Bobot penemuan ini digambarkan oleh beberapa fisikawan Amerika Serikat, Joel Primarck dari Universitas California, Santa Cruz berkomentar kalau penemuan itu dapat dikonfirmasikan, tak pelak lagi ia merupakan “salah satu penemuan besar di abad ini, malah penemuan besar dalam ilmu pengetahuan”.
John Mather, peneliti utama pada misi CBE yang menelan biaya 400 juta dollar AS atau sekitar Rp 800 milyar ini di Pusat Penerbangan Angkasa Goddard di Greenbelt, MaryIand AS memandang temuan Smoot dapat memecahkan misateri besar tentang benih purba yang kemudian berkembang menjadi alam semesta modern.
Catatan sukses Teori Dentuman Besar ini ditambah lagi dengan rekaman teleskop angkasa Hubble yang diumumkan bulan Juni lalu. Berdasarkan rekaman itu, pengolah data fisis pada teleskop itu menghitung, alam semesta ini sekurang-kurangnya berumur 15 milyar tahun, suatu umur yang ditaksir oleh Teori Dentuman Besar.
Tahun ini, tepatnya bulan Juni, peluncuran pesawat ulangalik Columbia yang membawa tujuh astronot yang ilmuwan diadakan untuk memawab persoalan yang solusinya belum diperoleh dengan eksperimen di Bumi, melalui eksperimen mikroelektronika dan biologi molekuler.
Misi 13 hari dan terlama dalam sejarah penerbangan pesawat ulangalik berhasil mencobakan pertumbuhan Kristal protein di tempat dengan gravitasi yang nyaris nol, yang belum berhasil dilakukan di bumi.
Eksperimen sukses ini tampaknya akan mempercepat temuan kristal protein dengan struktur molekul bagus yang dikaitkan dengan penyakit tertentu. Beberapa ahli berpendapat hasil percobaan ini bisa dipakai sebagai perumus komposisi kimia yang tepat untuk menghancurkan suatu penyakit, seperti AIDS.
Masih hendak menyelesaikan soal-soal yang belum terpecahkan di Bumi, Oktober lalu, Columbia mengorbitkan satelit kecil Lageos 2 untuk memantau pergerakan lempeng tektonik bumi. Data-data yang dikirimkan satelit berdiameter 50 sentimeter ini suatu saat akan bisa diolah untuk meramalkan kapan dan di mana terjadinya gempa di belahan Bumi ini.
SELAIN program ilmiah yang product oriented, pertanyaan besar penghuni Bumi tentang kemungkman adanya makhluk beradab (ET) di angkasa luar sana mulai digarap serius tahun ini dengan mengoperasikan sederetan teleskop radio di sepanjang daratan Amerika dari Mojave Desert,
California hingga hutan basah Puerto Rico.
Berbiaya 100 juta dollar AS, pencarian ET ini sempat dicekal oleh Kongres AS yang didominasi Parta i Demokrat, untuk kemudian disepakati –barangkali ini yang terakhir meluluskan program angkasa yang dijuluki “program fiksi”– dan mulai dioperasikan tanggal 12 Oktober, tepat 500 tahun peringatan ditemukannya benua Amerika oleh pelaut Italia Columbus.
Berjangka 10 tahun, program ini berharap betul, telinga-telinga elektronik ini akan dapat merekam komunikasi antarsistem-sistem planet di Galaksi Bima Sakti, makhluk-makhluk berbudaya di sana. Inilah program untuk mencek dugaan adanya makhluk berbudaya di luar bumi yang didasarkan kepada probabilitas statistlk, ”Tidakkah absurd sebuah klaim kehidupan hanya ada di Bumi, sementara kita belum mendapat informasi apa pun dari 100 milyar galaksi yang masing-masing mempunyai kurang lebih 400 milyar bintang dengan jarak dalam skala tahunan cahaya.
Setumpuk hasil yang berprosepek inilah yang memulai pertanyaan, “Akankah Clinton dan Gore sungguh-sungguh mengabulkan janji-janji kampanyenya?” atau, “Akankah kebanyakan orang Amerika akan marah seandainya pasangan ini mengingkari janji penciutan dana untuk eksplorasi antariksa, setelah menyimak daftar sukses sepanjang tahun ini?“
Program antariksa AS sudah pasti tak dapat dibandingkan dengan program antariksa domestik Indonesia pun hingga 100 tahun mendatang. Tapi, dalam wilayah pemikiran, Indonesia membuktikan bahwa seorang putranya sanggup menembus pemikiran maju dalam astronomi di tingkat dunia.
Dr Mezak Arnold Ratag dari Lembaga Penerbangan Antariksa Nasianal (Lapan), Bandung lewat Pemilihan Peneliti Muda Indonesia 1992 bulan Agustus lalu, diketahui, lewat disertasinya yang dipertahankan tahun 1990 di Rijksuniversiteit Groningen, Belanda ia telah menggugat sebuah teori evolusi bintang.
Berkat ketekunannya membedah struktur bintang lewat bagian dalam bintang itu sendiri –bukan lewat fenomenon yang terjadi di luar bintang seperti yang dilakukan astronom-astronom sebelumnya– Mezak telah berhasil menentukan kedudukan pusat galaksi dengan sebuah formulasi, bukan dengan ekstrapolasi yang spekulatif seperti yang dilakukan dalam teori sebelumnya.
Ketekunannya pada objek antariksa bernama planetary nebulae, menjadikannya seorang astronom yang dijadikan salah satu referensi bagi astronom di seluruh dunia yang bertekun dalam planetary nebulae.
LENGKAPLAH tahun 1992 ini sebagai tahun antariksa yang menggembirakan. Dari Vatikan terdengar sebuah kabar, tanggal 31 Oktober, Paus Yohanes Paulus II merehabilitasi nama astronom besar Galileo Galilei. Galileo terkena pengucilan Gereja Katolik Roma 359 tahun silam karena keberaniannya mengatakan bahwa Bumi yang bergerak mengitari matahari, bukan sebaliknya.
Pada pidato yang disampaikan dalam siding Akademi Sains Kepausan, 31 Oktober lalu –bertepatan dengan 475 tahun Reformasi Martin Luther– Paus mengatakan, “Hukuman Gereja Katolik kepada Galileo waktu itu dirujukkan kepada pengetahuan ketika itu yang menyebutkan, Bumi merupakan pusat pergerakan benda-benda alam semesta.”
Dengan pidato ini, Paus secara definitive menutup Kasus Galileo yang telah 3,5 abad lebih terkenal sebagai konflik antara agama dan ilmu pengetahuan. Itulah hasil studi sebuah komisi Akademi Sains Kepausan yang dibentuk oleh Paus sendiri 13 tahun lalu untuk menelaah Kasus Galileo.
Sumber: Kompas, tanggal dan tahun