“Bitcoin” Memang Bikin Ribet

- Editor

Selasa, 30 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dari yang tersurat di media cetak tampaknya ”bitcoin” dan sejenisnya —uang-uang digital atau virtual/”cryptocurrencies”—memang bikin ribet. Pernyataan berbagai ahli dan otori- tas finansial masih me- nunjukkan beragamnya pendapat dan sikap yang mengisyaratkan belum adanya kesatuan pendapat tentang arti dan kaitannya.

Di Indonesia, otoritas terkait tampaknya juga belum menjadi satu dalam pendapat mereka mengenai bitcoin dan uang digital lainnya itu, seperti dilaporkan dalam pemberitaan. Bank Indonesia pada Desember 2017 membuat pernyataan yang menekankan tak mengakui bitcoin dan uang digital lain sebagai alat pembayaran karena bertentangan dengan ketentuan perundangan yang berlaku, terutama Pasal 34 Peraturan BI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.

Demikian pula tersirat bahwa BI tak mengakui bitcoin dan uang digital lain sebagai obyek perdagangan karena dinilai mengandung risiko terlalu besar dan untuk menjaga persaingan usaha serta memberikan perlindungan konsumen. Pernyataan yang disampaikan Gubernur BI Agus Martowardojo itu ditegaskan kembali baru-baru ini oleh Kepala Departemen Komunikasi BI Agusman Zainal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di pihak lain, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sedang melakukan studi untuk menentukan apakah akan mengizinkan atau tidak perdagangan bitcoin di bursa komoditas berjangka. Jadi, otoritas moneter kita mengatakan bahwa bitcoin dan mata uang-mata uang digital lain bukan aset finansial dan bukan alat pembayaran. Sementara Bappebti belum memutuskan apakah akan menerima atau menolak perdagangan Bitcoin dalam bursa komoditas berjangka, atau statusnya sebagai instrumen investasi seperti aset finansial lain atau bukan. Karena itu, ada imbauan agar mereka menyamakan persepsi.

Kembali tentang bitcoin
Dalam tulisan tentang Bitcoin di Kompas (12/1/2017), saya menekankan perlunya membedakan dua macam arti dari bitcoin. Pertama, bitcoin sebagai salah satu mata uang digital/virtual atau crypto currency. Menurut Bloomberg, jumlah uang digital ada berkisar 600-900, dengan nilai sekitar 200 miliar dollar AS. Dalam arti ini biasa ditulis dengan huruf besar Bitcoin. Ini Bitcoin yang menjadi fokus pembahasan yang saya sebutkan tadi dan dalam tulisan ini.

Yang kedua bitcoin sebagai mata uang yang dikeluarkan/diciptakan oleh bekerjanya komputer menyelesaikan algoritma dalam blockchain. Atau bitcoin dalam arti teknik penciptaan uang. Akan tetapi, bukan seperti yang kita kenal dikeluarkan oleh suatu pusat kekuasaan (bank sentral atau pemerintah), melainkan diciptakan oleh orang-orang yang dapat menjabarkan algoritma komputasi blockchain tersebut.

Pertama kali memang diciptakan oleh seseorang atau sekelompok orang, sebagaimana sampai sekarang secara umum disebutkan bitcoin diciptakan oleh seseorang yang menyebut diri Satoshi Nakamoto meskipun ada versi cerita yang lain. Tetapi, ciptaan yang dituliskan secara sandi dalam algoritma komputasi untuk suatu jumlah tertentu ini dimasukkan (upload) dalam suatu laman (web site) dan orang lain boleh menjabarkannya untuk ikut menjadi pemilik bitcoin. Kegiatan menyelesaikan algoritma komputasi ini dinamakan mining, seperti menambang untuk memperoleh emas atau yang lain.

Antar-mereka yang berhasil menambang ini dapat dilakukan pemindahtanganan, transfer kepemilikan secara sangat transparan antar-mereka karena semua transaksi dicatat dalam suatu catatan, ledger, semacam buku besar/neraca dalam akunting, yang disebut sebagai blockchain. Karena semua transparan, bitcoin mempunyai sifat seperti uang, yaitu ada kepercayaan semua yang menggunakannya.

Jadi seperti uang konvensional yang mempunyai nilai nominal sebagai disebutkan di dalamnya, satu dollar, seratus dollar, seratus ribu rupiah, dan sebagainya. Nilai nominal tersebut diterima masyarakat semata-mata atas dasar kepercayaan (fiat) bahwa uang itu mempunyai daya beli sebesar nilai nominal yang tertera dalam uang karena orang mempunyai kepercayaan terhadap yang mengeluarkannya (bank sentral atau pemerintah).

Bedanya dalam hal bitcoin, ada yang mengeluarkan setelah ada yang menemukan, juga pihak-pihak lain yang melakukan mining, jadi ada desentralisasi dari penciptaan uang digital. Mereka semua percaya kepada bitcoin karena melalui pencatatan yang jelas terbaca semua yang ikut di dalamnya. Misalnya, dalam bitcoin tidak akan bisa dilakukan penggunaan lebih dari satu kali. Kalau A menjual sejumlah bitcoin kepada B, transfer kepemilikan itu tercatat di ledger yang terbaca oleh semua sehingga tidak akan terjadi A menjual lagi bitcoin yang sudah bukan milik dia tadi kepada pihak lain. Jadi, unsur kepercayaan (fiat) dari uang terpenuhi pada bitcoin. Penciptaan awal ini juga dilakukan melalui apa yang disebutkan sebagai Initial Currency Offering (ICO), seperti Satoshi Nakamoto pertama kali menciptakan bitcoin.

Syarat utama sesuatu bisa digunakan sebagai uang sebagai alat tukar adalah bahwa sesuatu itu diterima semua pihak, mempunyai nilai seperti yang disebutkan dalam nominalnya. Sebelum adanya uang kertas, banyak negara menggunakan logam mulia, emas, dan perak karena orang memercayai nilai logam terebut. Karena yang diperlukan adalah faktor kepercayaan, waktu dikenal uang kertas, fiat timbul dari kepercayaan masyarakat terhadap yang mengeluarkannya, pemerintah atau bank sentral.

Uang kertas yang nilai nominalnya jauh lebih besar dari nilai intrinsiknya (nilai kertas dan gambar yang ada dalam uang) diterima masyarakat karena kepercayaan terhadap yang mengeluarkannya.

Dalam bentuk sebagai alat tukar atau alat investasi, bitcoin mempunyai nilai yang diukur dengan mata uang konvensional, berapa dollar atau pounds atau mata uang lain per unitnya. Nilai tersebut adalah virtual, hanya dalam akunting. Dan, hanya menjadi nyata kalau ditukar (dibeli atau diperdagangkan) dengan uang biasa. Larangan memperdagangkan, jual-beli bitcoin, kalau bisa efektif jelas dapat menghilangkan nilai dan perannya sebagai alat tukar atau investasi.

Dalam tulisan saya tersebut, saya menyebutkan bahwa sebagai teknologi yang jauh lebih canggih untuk menghadapi makin maraknya kejahatan keuangan dengan sandi (crypto crimes), bitcoin merupakan inovasi yang memberikan harapan pada peningkatan pengamanan keuangan. Adapun bitcoin sebagai salah satu uang digital untuk alat pembayaran atau investasi harus dimengerti dahulu arti dan implikasinya sampai tuntas untuk dapat menentukan secara efektif, menerima atau tidaknya. Kalau memang dianggap berbahaya untuk kestabilan atau lebih banyak jeleknya daripada baiknya harus dilarang dengan cara yang cerdik, yang efektif dapat diterapkan untuk mencapai sasaran.

Pengaturan uang digital yang efektif
Kalau kita masih kurang jelas mengenai uang digital apakah bitcoin atau yang lain dan bedanya dengan teknologi blockchain, sebenarnya kita tidak sendirian. Dari yang dapat disimak di media tentang apa yang dilakukan oleh berbagai otoritas di sejumlah negara, ternyata memang belum ada keseragaman. Karena itu, imbauan Bhima Yudistira Adhinegara, ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef), baru-baru ini agar Bappebti dan Bank Indonesia menyamakan persepsi mereka memang beralasan.

Dari yang dapat disimak di media, sejak tahun lalu waktu nilai bitcoin meningkat luar biasa dalam periode kurang dari satu tahun, kemudian anjlok luar biasa pula, tampak ada kecenderungan bahwa otoritas moneter dan finansial atau pemerintah di banyak negara kalaupun tidak melarang perdagangan bitcoin minimal mengurangi atau membatasi. Ini antara lain dikemukakan oleh Paul Mampilly, seorang ahli finansial dalam suatu analisisnya minggu lalu, ”Governments Crack Down on Cryptocurrencies” dalam Currency (11/1/2018).

Secara singkat, Financial Industry Regulatory Authority (Finra), otoritas pengaturan industri finansial di AS, mengumumkan akan memfokuskan pengaturan finansial untuk uang digital/cryptocurrencies. Pemerintah China mengumumkan akan mengeluarkan aturan untuk mengakhiri kegiatan penambangan atau miningbitcoin. Pemerintah Korea mulai mengharuskan mereka yang melakukan perdagangan dan menggunakan bitcoin menyebutkan nama mereka dengan jelas.

Pemerintah India memerangi perdagangan bitcoin dengan membatasi dana yang dipergunakan mereka yang memperdagangkannya. Bank Negara Malaysia tidak mengakui bitcoin. Perancis menghancurkan jaringan bitcoin, Jepang menyatakan bitcoin bukan mata uang, dan seterusnya. Ini untuk memberikan gambaran pernyataan atau pengaturan yang membatasi atau melarang bitcoin tadi.

Saya sependapat dengan pesan Paul Mampilly dalam tulisan tersebut yang menunjukkan bahwa yang tampaknya paling efektif menekan bahkan membasmi perdagangan bitcoin dan uang digital atau cryptocurrencies lain, kalau telah pasti untuk dilarang atau dibatasi, adalah melalui tindakan untuk memutuskan hubungan bitcoin dan sejenisnya dengan rupiah (dan mata uang lain)

Tetapi, apa itu maknanya dan bagaimana caranya? Di atas saya sebutkan bahwa transaksi bitcoin dan uang digital lain, atau apa pun komoditas yang diperdagangkan, mempunyai nilai yang bisa dinyatakan dalam uang biasa. Akan tetapi, nilai itu hanya dalam perhitungan akunting, atau virtual, dan hanya menjadi nyata pada waktu dilakukan pembayaran atas transaksi tersebut. Artinya, waktu pemindahan hak milik itu dibarengi atau diikuti dengan penyerahan uang sebagai pembayarannya sebesar nilai akunting tadi.

Selama belum diuangkan, semua hanya dalam perhitungan. Jadi, nilai akunting/virtual tersebut tidak akan menjadi kenyataan kalau pertukaran dengan uang biasa dicegah terjadinya melalui larangan yang merupakan hak otoritas—pemerintah atau bank sentral—untuk melakukannya.

Satu kilogram emas logam mulia mempunyai nilai sekian juta dollar AS atau miliar rupiah. Tetapi, kalau ada larangan menukar emas tersebut dengan uang, ya, nilainya tetap 1 kilogram emas tadi. Bitcoin yang hanya suatu data dalam komputer, selama tidak bisa ditukar hak kepemilikannya dengan uang, ya, tetap data atau informasi saja, nilai uangnya tidak ada atau nol. Pengaturan demikian, menurut saya, yang paling tepat dan efektif untuk merealisasikan sikap tidak mengakui bitcoin dan uang digital lain sebagai alat investasi, sebagai aset finansial, dan karena itu juga sebagai alat tukar atau alat pembayaran.

J Soedradjad Djiwandono, Guru Besar Ekonomi Emeritus UI dan Profesor Ekonomi Internasional, RSIS, Nanyang Technological University, Singapura

Sumber: Kompas, 30 Januari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Dua Gelar Profesor UNS Dilorot, Turun dari Kursi Guru Besar, Mengemban Jabatan Pelaksana
Meluruskan 3 Salah Kaprah Gelar Profesor dari Kampus Indonesia
Perbedaan Pemberian Gelar Profesor, Honoris Causa, dan Guru Besar
Gelar dan Syarat Pemberian Honoris Causa
Kenali Beda Status 3 Gelar Profesor dari Kampus Indonesia
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Kamis, 10 Agustus 2023 - 08:52 WIB

Dua Gelar Profesor UNS Dilorot, Turun dari Kursi Guru Besar, Mengemban Jabatan Pelaksana

Selasa, 27 Juni 2023 - 11:12 WIB

Meluruskan 3 Salah Kaprah Gelar Profesor dari Kampus Indonesia

Selasa, 27 Juni 2023 - 11:06 WIB

Perbedaan Pemberian Gelar Profesor, Honoris Causa, dan Guru Besar

Selasa, 27 Juni 2023 - 10:59 WIB

Gelar dan Syarat Pemberian Honoris Causa

Selasa, 27 Juni 2023 - 10:50 WIB

Kenali Beda Status 3 Gelar Profesor dari Kampus Indonesia

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB