CATATAN IPTEK
Sumur resapan dan biopori mempercepat infiltrasi air hujan ke dalam tanah sehingga mengurangi aliran permukaan, tetapi dua metode ini saja belum efektif mencegah banjir saat intensitas curah hujan lama dan lebat.
Mendung yang masih menggantung di seantero Jakarta membuat biopori dan sumur resapan mendadak viral. Suatu kelurahan di Jakarta Selatan memasang gambar lubang-lubang biopori di daerahnya. Di pelbagai wilayah DKI Jakarta, ketua RT dan RW mendapat perintah mendata biopori dan sumur resapan warga.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendefinisikan sumur resapan sebagai suatu sistem resapan buatan lewat penampungan air hujan, terutama di kawasan yang sudah banyak tertutup bangunan. Air yang jatuh di atap dialirkan melalui pipa talang ke sumur resapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Biopori juga memiliki fungsi resapan. Situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutnya sebagai lubang silindris vertikal dengan diameter sekitar 10 sentimeter dan kedalaman tak melebihi muka air tanah. Lubang diisi dengan sampah organik dan terbentuklah biopori.
Sebagai bagian dari teknik naturalisasi, sumur resapan dan biopori sebenarnya lebih untuk menampung air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah. Kehadiran dua metode ini bisa mengurangi aliran permukaan dan menekan laju erosi, yang pada akhirnya menjaga ketersediaan air tanah.
Apakah sumur resapan dan biopori bisa mencegah banjir?
Sunjoto, dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dalam ”Naturalisasi dan Normalisasi” (Kompas, 9/1/2020), menjelaskan, di suatu wilayah yang masih alami dengan vegetasi rapat, rumah dan bangunan terbatas, air hujan segera meresap ke tanah. Namun, di kawasan padat gedung dan jalan, infiltrasi air ke tanah akan terhambat. Hujan pun menjadi runoff atau aliran permukaan yang menjadi penyebab banjir.
Betul sumur resapan dan biopori membantu mempercepat infiltrasi air hujan ke dalam tanah sehingga mengurangi aliran permukaan, tetapi dua metode ini saja tidak akan efektif mencegah banjir saat intensitas curah hujan lama dan lebat.
Apalagi, Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Guru Besar dan Kepala Departemen Pengindraan Jarak Jauh, Chiba University, Jepang, dalam tulisannya ”Banjir dan Dam Bawah Tanah” (Kompas, 14/1/2020) mengingatkan , serapan alami tak mungkin diharapkan lagi.
Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG), hampir 80 persen wilayah di DKI Jakarta tertutup lantai beton dan aspal. Pada musim hujan, tanah di DKI Jakarta yang umumnya bertipe tanah rawa menjadi cepat jenuh air sehingga daya serap menurun. Air melimpah dan akhirnya banjir.
Oleh karena itu, Indonesia dengan curah hujan sekitar 2.500 milimeter per tahun perlu metode penanggulangan banjir lebih menyeluruh. Tidak hanya dengan kawasan terbuka hijau, parit dan halaman resapan, waduk, embung, serta situ, tetapi juga teknik normalisasi untuk mempercepat air mengalir.
Upaya normalisasi, seperti membuat jaringan drainase, memperlebar dan memperdalam sungai—DKI Jakarta dilalui 13 sungai—ditambah polder dan pompa, menurut Josaphat, perlu dilengkapi dengan pembangunan dam-dam bawah tanah, terutama di bawah lokasi terdampak banjir. Pembuatan dam-dam itu dapat memanfaatkan teknologi pembangunan moda raya terpadu yang sudah terbukti baik.
Yang jelas, Pemerintah DKI Jakarta perlu segera bekerja keras mewujudkan sistem penanggulangan banjir yang menyeluruh. Rakyat menunggu bukti, bukan janji-janji.
Oleh AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 15 Januari 2020