LEDAKAN reaktor nuklir Fukushima tak hanya membuat rakyat Jepang ketakutan. Masyarakat di negara tetangga Jepang pun cemas. Pasalnya, efek radiasi berdampak buruk terhadap kesehatan. Apalagi radiasi diduga telah menyebar ke bahan makanan.
Dari sejumlah pemberitaan diketahui, level radiasi di sekitar lokasi ledakan telah berada di atas ambang batas normal. Konsekuensi yang mungkin muncul, dampak negatif terhadap tubuh manusia.
Pertanyaannya, apakah radiasi nuklir itu serta-merta mengontaminasi makanan, terutama yang dikemas dan beredar ke berbagai negara? Apakah produk makanan kemasan yang terkena radiasi aman dikonsumsi?
Jaminan Keamanan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah produk makanan segar, seperti susu, sayuran, buah-buahan, dan air minum yang bisa langsung dikonsumsi yang diproduksi tak jauh dari reaktor nuklir memang dilaporkan tercemar radiasi di atas ambang batas. Jika dikonsumsi manusia, zat itu akan terdeposit dalam tubuh.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 21 Maret menyebutkan, jenis zat radioaktif yang banyak terdeteksi dalam berbagai produk pangan di sekitar PLTN Fukushima Daiichi adalah iodine alias yodium (I) dan cesium (Cs). Kadar iodine yang ditemukan melebihi batas aman yang disyaratkan dalam bahan pangan, sedangkan kadar cesium masih di bawah batas aman.
Tingkat bahaya pangan yang terkontaminasi zat radioaktif sangat ditentukan oleh jenis zat radioaktif. Itu berkait dengan waktu paruh setiap jenis zat radioaktif. Iodine-131 memiliki waktu paruh delapan hari. Konsentrasi iodine menjadi separuh dari konsentrasi awal delapan hari setelah kontaminasi. Pengurangan konsentrasi terus berlangsung hingga konsentrasi zat radioaktif sangat sedikit.
Waktu paruh iodine yang kecil membuat zat itu tak terlalu lama berada di alam dalam konsentrasi yang membahayakan. Kondisi sebaliknya terjadi pada cesium-137 yang memiliki waktu paruh 30 tahun.
Jika pangan yang terkontaminasi zat radioaktif dikonsumsi manusia, paparan zat radioaktif dalam tubuh bertambah. Sebenarnya secara alami tubuh manusia mengandung zat radioaktif dan terpapar banyak radiasi, baik dari alam maupun makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Makin besar paparan zat radioaktif kian besar peluang kemunculan radikal bebas yang memicu kanker. Iodine menyerang kelenjar tiroid, sedangkan cesium mengendap di jaringan lunak tubuh.
Anak-anak paling rentan paparan iodine karena fungsi tubuh mereka belum sempurna. Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menetapkan batas aman paparan zat radioaktif bagi masyarakat umum adalah 1 mSv (milisieverts) per tahun. Bagi pekerja reaktor, dosis bisa ditingkatkan hingga 20 mSv per tahun. Dalam kondisi darurat nuklir, dosis bagi pekerja reaktor bisa dinaikkan hingga 50 mSv. Untuk menjaga agar tubuh tak terpapar zat radioaktif berlebihan, sertifikat bebas zat radioaktif bagi makanan yang masuk ke Indonesia mutlak diberlakukan.
Pangan Iradiasi
Paparan zat radioaktif dalam bahan pangan memang harus dikhawatirkan. Namun kekhawatiran serupa tak perlu dialamatkan ke pengawetan pangan dengan iradiasi (food irradiation). Josephson (“An Historical Review of Food Irradiation” dalam Journal of Food Safety, 1983) menyebutkan iradiasi merupakan teknik pengolahan pangan agar lebih tahan lama dengan membunuh mikroba yang membuat makanan cepat rusak. Proses iradiasi dilakukan dengan menyinari produk pangan dengan sinar gamma di atas 10 kGy (kilogrey) sudah berlangsung pada produk pangan kemasan.
Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) Batan, Zainal Abidin, mengemukakan bahan makanan yang diiradiasi dengan dosis sampai 10 Gy (Gray) aman dikonsumsi, tanpa perlu uji toksikologi. Sebab, proses iradiasi tak menambahkan zat radioaktif dalam makanan. Hanya menyinari untuk membunuh jamur, kapang, atau aneka bakteri. “Teknik pengawetan iradiasi lebih bagus dibandingkan pengawetan dengan pemanasan yang bisa merusak zat gizi di dalamnya,” ujar Zainal Abidin.
Untuk membasmi atau mengurangi mikroorganisme dikenal istilah DM, yaitu dosis iradiasi untuk mengeliminisi 90% kandungan mikroorganisme awal. Contoh, untuk membasmi 90% spora Bacillus spp — mikroorganisme aerob yang paling tahan radiasi — dengan DM = 10 diperlukan 2,61 kGy. DM = 10 adalah dosis yang dibutuhkan untuk mengeliminasi 90% kandungan mikroorganisme tertentu.
Contoh lain, untuk membasmi 90% Clostridium Botulium (penyebab keracunan pada makanan kaleng) butuh dosis 4,0 kGy. Namun untuk mencegah keracunan perlu 48,0 kGy.
Iradiasi juga sering dipakai mengaktifkan enzim yang tak dikehendaki. Sebab, enzim tertentu bisa menyebabkan perubahan warna kecokelatan pada sayuran dan buah. Enzim itu lebih tahan iradiasi ketimbang botulium. Untuk itu perlu dosis 50,0 kGy.
Mengawetkan telur iradiasi sebetulnya kurang praktis. Soalnya, putih telur rusak pada dosis 6,0 kGy. Padahal, dosis itu belum cukup mensterilkan telur yang mengandung bakteri pembentuk spora.
Namun secara keseluruhan, jika teknologi iradiasi diterapkan secara benar sangat bermanfaat dan aman dalam pengawetan bahan makanan.
Dosis Iradiasi
Ukuran dosis iradiasi produk bermacam-macam. Selain Gray (Gy) yang lebih populer, dikenal pula rad, yaitu ukuran energi yang diserap bahan pangan. Satu Gy setara 100 rad. Satu rad setara 1,08 X 10-17 Joule energi yang diserap setiap gram bahan yang menerima iradiasi pengion.
Satuan lain adalah rontgen, yakni energi radiasi yang diterima selama satu jam dari 1 gr sumber iradiasi unsur radium pada jarak 1 yard atau setara 1,08 X 10-8 Joule/cm3 udara kering. Sebenarnya dosis iradiasi tergantung pada tujuan, jumlah, sifat, dan jenis produk pangan, serta jenis mikroorganisme yang harus dibasmi. Untuk sterilisasi digunakan teknik redapertisasi, yaitu semua kuman (kecuali spora bacillus dan virus yang kebal) dibasmi. Misalnya, dosis untuk rempah-rempah antara 10 dan 20 kGy, jika mikroorganisme awal 107 setiap gram.
Berdasar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 626/1987, dan lampiran telah direvisi Nomor 152/Menkes/SK/II/1995 dan UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996, pemberian dosis maksimal iradiasi untuk rempah-rempah kering 10 kGy.
Untuk mencegah atau menghambat pertunasan atau pertumbuhan serangga (mikroorganisme) diperlukan 0,08-0,15 kGy. Desinfeksi serangga cukup dengan dosis 0,25-0,78 kGy, sedangkan menurunkan kandungan mikroba butuh 0,50-10,3 kGy. Pemberian 1,0 kGy pada biji-bijian bisa mencegah pertumbuhan serangga. Namun untuk mengurangi sebagian mikroorganisme sehingga makanan lebih awet, dipakai teknik radiasi. Itu memerlukan dosis 4,0-7,5 kGy.
Dalam perkembangan, metode penyinaran (iradiasi) produk pangan melebar pada obat-obatan (sediaan farmasi) serta kosmetik, baik dengan zat radioaktif maupun akselerator, untuk mencegah pembusukan, kerusakan, dan membebaskan bahan dari jasad renik patogen. (51)
Amien Nugroho, pengamat teknologi tinggal di Yogyakarta
Sumber: Suara Merdeka, 9 Mei 2011