Pembangunan kembali Aceh setelah tsunami layak diberi apresiasi jika dilihat dari kecepatannya. Namun, rekonstruksi Aceh tidak mengubah secara mendasar perspektif kita untuk membangun kota yang lebih tahan menghadapi bencana serupa. Padahal, Aceh masih berpotensi terlanda tsunami lagi.
Permukiman baru yang dibangun persis di daerah yang dulu pernah habis diterjang tsunami menunjukkan Aceh tak banyak berubah. Apalagi, pembangunan kembali daerah-daerah terdampak itu tidak diikuti dengan penambahan fasilitas untuk melindungi masyarakat dari ancaman tsunami pada masa depan.
”Bisa disimpulkan, daerah-
daerah itu memiliki tingkat kerentanan relatif sama dengan kondisi mereka sebelum tsunami Aceh,” kata ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Abdul Muhari, di Jakarta, kemarin. Kesimpulan itu dibuatnya seusai melakukan perjalanan ke Aceh, bersama sejumlah ahli tsunami Jepang, seperti Fumihiko Imamura dari Universitas Tohoku, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah warga Aceh menyatakan tak takut tinggal di rumahnya meskipun daerahnya dulu hancur terkena tsunami karena menganggap bencana itu sebagai takdir. Selain itu, mereka juga nyaman berada dekat kerabat dan tempat kerja. Salah satunya adalah Yubahar, warga Meuraxa, Banda Aceh, yang kehilangan ibu, istri, dan anak saat tsunami 2014. Rumahnya hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai.
Menurut Yubahar, Senin (22/12), di Kota Banda Aceh, ia tidak takut kembali ke kawasan itu. ”Saya nyaman tinggal di sini karena saya lahir dan besar di sini. Saya tidak mau pindah ke tempat lain,” katanya.
Potensi tsunami
Peneliti tsunami dari Amalgamated Solution and Research (ASR), Gegar Prasetya, mengatakan, sekalipun Aceh baru dilanda tsunami besar, ancaman terjadi kembali bencana itu masih besar. ”Ancaman itu bisa saja berasal dari zona subduksi lain yang belum lepas,” kata peneliti yang pernah mengajar di Departemen Ilmu Bumi dan Kelautan, Universitas Waikato, Selandia Baru, ini.
Data paleotsunami yang ditemukan di goa Aceh Besar baru-baru ini juga menunjukkan keberulangan tsunami di Aceh, menurut Gegar, sangat tinggi.
Karena itu, dia menyarankan, pembangunan kembali Aceh seharusnya mengarusutamakan aspek mitigasi terhadap tsunami berikutnya yang bisa datang kapan pun. Kalaupun tidak pada periode itu, seharusnya Aceh dibangun lebih aman buat generasi pada masa mendatang. Prinsip pembangunan jangka panjang inilah yang gagal dipenuhi dalam rekonstruksi Aceh.
Momentum
Pembangunan kembali Aceh, dinilai banyak kalangan, gagal memanfaatkan momentum. Di awal setelah bencana, masyarakat masih trauma sehingga jika ada keputusan cepat untuk melakukan penataan ruang secara total, itu masih memungkinkan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan KKP pernah mengusulkan rencana pengosongan pesisir Aceh yang terdampak tsunami dari hunian pada fase awal. Namun, rencana ini, menurut mantan Kepala Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Kuntoro Mangkusubroto, ditolak karena dianggap tidak realistis.
Wakil Kepala Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Syamsidik menyatakan, dalam konteks tata ruang, sulit merelokasi permukiman di pesisir. ”Banyak aspek harus diperhitungkan, seperti kehidupan masyarakat. Tak bisa memindahkan masyarakat begitu saja,” ujarnya.
Sebenarnya cetak biru dari BRR menyebutkan, area 500 meter sampai 1 kilometer dari pantai harus dikosongkan, itu diadopsi dari Jepang. Namun, secara kultur, Jepang dan Aceh amat berbeda. ”Karena itu, yang kini harus dilakukan adalah memperkuat keberadaan masyarakat di kawasan pesisir. Mereka harus disediakan jalur evakuasi dan gedung penyelamat,” katanya.
Kepala Subbidang Pengembangan Sumber Daya, Penataan Wilayah, dan Kerja Sama Pembangunan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Nanda Yuniza menyatakan, pasca tsunami, tata ruang Aceh sebenarnya mengutamakan kebencanaan. Wilayah rawan bencana dibatasi untuk pembangunan. Untuk tsunami, luas wilayah pesisir yang harus dikosongkan di setiap kabupaten/kota adalah 500 meter sampai 1 kilometer dari garis pantai.
Namun, aturan itu tidak bisa diterapkan karena pemerintah tidak memberi tempat lain yang menjamin perekonomian warga. Akibatnya, banyak warga membangun di area yang dulu terdampak tsunami. Di Banda Aceh, gedung pemerintah dan perdagangan harus memenuhi aspek kebencanaan, tetapi sulit diterapkan pada bangunan pribadi.
”Kami mau merelokasi masyarakat, tetapi tidak siap atas dasar apa pemindahan itu. Masyarakat mau dipindahkan ke mana, itu tidak jelas. Regulasi pemerintah pun tak ada tentang itu,” ujarnya. Implementasi rencana umum tata ruang (RUTR) juga terkendala keterbatasan data dan perbedaan kepentingan antarwilayah. ”Pelaksanaan tata ruang itu harus ada kesepakatan. Di kabupaten/kota, banyak penolakan dari pemda, legislatif, dan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Nanda, setelah tsunami 2004, penyusunan rencana tata ruang Aceh melibatkan banyak pihak. Perencanaan tata ruang wilayah itu melibatkan BRR Aceh, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh.
Pemerintah Provinsi Aceh, difasilitasi BRR, merevisi rencana umum tata ruang Aceh sesuai UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Namun, penetapan daerah permukiman di area pantai sesuai cetak biru BRR gagal dijalankan di Aceh karena masyarakat terbiasa tinggal di pinggir pantai. Melalui diskusi dengan masyarakat, lembaga donor membangun rumah relokasi di tempat masyarakat semula.
Menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Aceh, pemda menetapkan pesisir sebagai kawasan lindung, tetapi itu tak berjalan sebab pemda kabupaten/kota menerbitkan izin mendirikan bangunan. (AIK/EVY/DRI)
Sumber: Kompas, 23 Desember 2014