Yanuar Nugroho tentang Ketercerabutan Teknologi

- Editor

Selasa, 16 November 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Teknologi bukan sekadar alat atau ”benda”, tetapi mencakup kesatuan cara berpikir, cara budaya, cara berperilaku, cara merasa, bahkan cara bersosialisasi. Sayangnya, Indonesia hanya mengimpor teknologi sebagai alat, tercerabut dari tempat berpijak dan melahirkan absurditas. Kritik itu datang dari Yanuar Nugroho, PhD (38), ilmuwan dan peneliti inovasi dari Universitas Manchester, Inggris, penerima Hallsworth Fellowship Bidang Politik Ekonomi. Yanuar adalah ilmuwan pertama dari Asia Tenggara penerima fellowship bergengsi ini sejak 1944.

”Inovasi adalah bidang kajian, merupakan kombinasi antara filsafat, ekonomi, sosiologi, dan filsafat,” ujar Yanuar di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dengan menggambar grafik, dijelaskan, perkembangan teknologi selalu eksponensial, tetapi perkembangan sosial, ekonomi, politik, pembangunan, dan logika berpikir berjalan linier. ”Di sini, inovasinya kita ambil, tetapi kita lepaskan dari seluruh gagasan dan konteksnya.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Akibatnya, kesenjangan di antara keduanya kian membesar. Teknologi tercerabut dari tempat berpijak; suatu negeri dengan berbagai indikator sosial yang rendah, seperti tingginya angka kemiskinan dan angka kematian ibu melahirkan.

”Studi inovasi selama ini didominasi gagasan-gagasan inovasi yang sifatnya teknologi tinggi, soal nano, space, nuklir, rekayasa genetika, yang menurut saya, ya baik saja. Tetapi, jarang orang bicara soal inovasi yang berkaitan dengan pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang.”

Yanuar menegaskan, ”Inovasi bukan sekadar adopsi teknologi dan difusi. Saya mendapat fellowship karena gagasan itu dianggap punya dampak ekonomi dan politik yang besar dalam kajian inovasi.”

Sama, tetapi berbeda

Yanuar, yang bergumul di dunia pendidikan dan riset, tahu betul bahwa isu ketercerabutan inovasi dengan gagasan dan konteksnya terjadi sejak 1970-an.

”Bedanya, jenis teknologi sekarang sudah berlipat, tetapi logika berpikirnya hanya linier. Masalahnya jadi berlipat ganda,” ujarnya. ”Mulai dari cara berpolitik. Kampanye politik pencitraan SBY itu meniru persis (kampanye) Obama, tetapi perilakunya tetap Indonesia. Politik pencitraan diambil, yang lain diabaikan.”

Bisa dijelaskan gambaran ketercerabutan?

Ada kaitan antara handphone dan hilangnya hutan jati di Wonosari. Saya bertemu pak lurah dan ngobrol dengan warganya. Handphone kan lambang orang maju dan status sosial. Kita impor itu dari sana. Bahkan, orang Wonosari pun merasa kurang afdal kalau tak punya HP. Caranya? Paling gampang tebang pohon jati, jual, beli motor dan HP demi gaya hidup. Tukang becak sudah tidak ada. Sekarang turun dari bus, telepon pakai HP, minta dijemput tukang ojek.

BLT, bantuan langsung tunai, di sana menjadi bantuan langsung telas (habis). Dapat duit Rp 300.000 dari kantor pos langsung beli HP. Orang beli pulsa mengabaikan kebutuhan lain meski pendapatan pas-pasan. Ini kan absurd. Selera kita dibentuk, kalau mau maju itu begini, lho.

Menanam kembali

Yanuar ingin terlibat untuk membumikan atau ”menanam kembali” inovasi di Indonesia yang diupayakan dengan sengaja dan terencana melalui kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan pembangunan, sesuai tahap perkembangan masyarakat Indonesia dan berpihak kepada rakyat biasa.

”Hallsworth Fellowship mengindikasikan bahwa inovasi yang ’tertanam’ jauh lebih efektif membawa kemajuan dalam hidup bersama,” ujarnya.

Contoh konkretnya?

Soal kebijakan energi, misalnya. Di Eropa, sinar matahari yang jatuh cuma pada sudut 27 derajat dijadikan energi alternatif karena jangka panjang mereka mau meminimalkan nuklir. Target tahun 2030, energi terbarukan, tetapi rumah-rumah yang menggunakan panel surya diberi insentif, pinjaman bebas bunga, pajaknya dipotong. Pemerintah berinvestasi. Jadi terintegrasi mulai dari inovasi teknologi di photovoltaics sampai ujung, perpajakan. Ini yang saya maksud dengan gagasan ”tertanam”.

Di sini, matahari jatuh 90 derajat, tak ada insentif. Mobil dengan mesin yang menerima bahan bakar hibrid dianggap mobil mewah, pajaknya tinggi. Ini kan terbalik-balik. Kalau kita bilang pro-energi terbarukan, kan tidak sekadar jual biofuel keluar, tetapi bagaimana memanfaatkan itu dalam seluruh kerangka kebijakan. Itu yang saya bayangkan sebagai gagasan ”menanam kembali teknologi”.

Agenda teknologi, antara lain, kabel disebar ke timur, jangan berkutat di barat saja. Orang bisa berargumen kita sudah maju karena pakai wireless. Nanti dulu. Wireless digunakan negara maju setelah kabelnya 100 persen. Kita baru 30 persen dan condong pada kepentingan yang kapitalistik. Lebih cepat dapat untung dengan bikin tower BTS (base transceiver station). Pasang jebret, lahan dibebaskan, pemda dapat uang. Namun, dalam jangka panjang, jebol negara ini kalau caranya begini. Jenis ekonomi, corak ekonomi, corak interaksi masyarakat yang dimediasi kabel dengan wireless itu beda.

Bedanya?

Bandwidth (lebar pita telekomunikasi) berapa sih (ia menunjuk handphone). Ini ekonomi konsumtif. Ekonomi produksi membutuhkan bandwidth lebih besar. Dalam teknologi kita ini fakir bandwidth. Kita boleh bermimpi punya teknologi nano, biogenetik, semua boleh, tetapi ”menanam teknologi’ ini penting karena tidak hanya teknologi komunikasi, tetapi juga di banyak bidang, kita ini bukan hanya pasar yang besar, tetapi juga laboratorium besar. Teknologi baru sebelum dijual ke Barat, dicobakan dulu di sini.

Berapa banyak perusahaan kosmetik bereksperimen di sini? Kapas transgenik milik korporasi multinasional yang dibakar petani di Sulawesi pada 2002 harus dibaca secara bijak. Di negara lain, untuk hal-hal seperti ini diterapkan precaution. Di sini tidak.

Pseudo-modern

Yanuar sependapat, inovasi canggih yang diterapkan di Indonesia tak membuat bangsa ini sungguh-sungguh maju karena ketercerabutan teknologi itu. ”Teman-teman bilang, yang dipegang handphone, tetapi perilakunya kenthongan,” ujarnya.

Bagaimana kaitannya?

Kaitannya tali temali antara beberapa hal. Pertama, logika kapitalistik. Mereka kan bersaing. Intinya, pasar paling murah kalau bisa dihomogenisasi. Kalau selera diseragamkan, keuntungan akan cepat.

Kedua, kita belum melewati tahap dari masyarakat agraris. Jadi, meski teknologinya melompat, meski bisa menciptakan teknologi nano, perilaku adopsi tidak nyambung dengan perilaku sosial. Kita bisa melompat, tetapi tak bisa melawan fisikalitas.

Ketiga, lebih ekonomi-politik. Urusan teknologi bukan persoalan orang pandai, atau teknologinya, tetapi pada kebijakan yang melindungi kepentingan warga. Siapa bisa memastikan Indonesia berdering tahun 2014 karena kabel, bukan karena handphone. Berdasarkan Palapa Ring, gagasan menghubungkan semua pulau ini dengan kabel, bukan dengan GSM (global system for mobile communication) atau BTS. Ekonomi politik kita terjebak pada cara berpikir jangka pendek. Tidak ada public guardian ketika menyangkut teknologi yang berpengaruh pada corak produksi dan corak perilaku masyarakat. Semakin lama semakin susah memisahkan antara yang alamiah dan yang tidak.

Maksudnya?
Keponakan saya, usia dua tahun, merengek-rengek minta McDonald’s. Anak kecil minta dengan menangis itu alamiah, tetapi kalau yang ditangisi McD, itu urusannya ideologi. Bagaimana anak dua tahun sudah punya referensi tentang merek? Ini karena mereka dihajar iklan terus. Anak 12 tahun nonton TV 20.000 jam per tahun.

Jadi, ada kait-mengait antara logika kapitalistik, sifat teknologi yang berkembang eksponensial sementara masyarakatnya agraris, kemudian soal ekonomi politik. Mungkin secara tidak sengaja, negara melindungi kepentingannya sendiri. Saya melihat inkompetensi negara dalam persoalan ruwet, seperti teknologi; ruwet karena mereka tidak kompeten. Blog, Google, mau diblok segala, ini kan dagelan. Pada dasarnya orang memang ingin yang lebih mudah, tetapi tidak ada yang mendidik.[Budi Suwarna dan Maria Hartiningsih]

————–

Menghidupi Gagasan

Kegagalan ternyata menyiapkan lompatan yang jauh ke depan. Paradoks ini mewarnai perjalanan Yanuar Nugroho yang sempat sangat kecewa karena gagal PMDK masuk Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, padahal NEM-nya salah satu yang terbaik di Jawa Tengah.

Ia sempat digundul dan ikut kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara selama sebulan sebelum diterima di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung. (ITB). ”Padahal, saya tidak tahu apa itu teknik industri,” kenangnya.

Sampai kelas V SD, sulung dari tiga bersaudara ini ingin menjadi masinis. Setelah membaca tentang Ir Budi Santoso, insinyur teknik nuklir pertama di Indonesia, ia ingin menjadi insinyur. Sekarang, barangkali bisa dikatakan, ia adalah ilmuwan generasi pertama yang berkutat dengan sosial media dan inovasi teknologi terkait pembangunan dan demokrasi.

Yanuar bergumul intens dalam politik gerakan. Ia memulainya di Lembaga Studi Pembangunan dan Pelayanan Teknologi sejak kuliah. ”Peristiwa 27 Juli membuat saya yakin di mana tempat saya,” ujarnya.

”Ngamen”

Jangan membayangkan Yanuar sebagai kutu buku meski ia berkutat di depan layar komputer untuk menyusun laporan dan hasil penelitian, membaca, atau berselancar on-line karena bidang kajiannya ada di situ. Ia adalah pembicara yang baik, suka berbagi ilmu, penuh rasa humor, dan terkesan rendah hati.

Ia suka bermusik. Malah sempat ikut paduan suara kala SMA. Kepiawaiannya main orgel pipa membuatnya sempat jadi demonstrator merek orgel tertentu di Bandung, bahkan sempat ngamen dari hotel ke hotel, sebelum kepergok ayahnya.

Di Manchester, ia kuliah sambil bekerja paruh waktu sebagai pramusaji dan penjaga toko. Namun, ia mampu menghemat banyak waktu untuk mencapai jenjang akademis lebih tinggi, apalagi setelah mendapat Hallsworth Fellowship. Padahal, seusai PhD, ia sempat memulangkan keluarganya, sebelum dosennya memintanya tinggal. Sekarang ia membimbing lima mahasiswa di tingkat master dan tiga di tingkat PhD.

Ia tak pernah merencanakan hidupnya persis seperti ini meski passion terhadap teknologi tumbuh sejak di ITB. Seperti dikatakannya, ”Saya ingin menggabungkan gagasan-gagasan yang teknikal ke sesuatu yang lebih sosial.”

Bukankah dia sedang menempuh perjalanannya? (MH/BSW)

Sumber: Kompas, Minggu, 14 November 2010 | 04:47 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB