Minggu-minggu ini pimpinan perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta, gelisah seperti dikejar hantu karena mendapat surat peringatan dari pemerintah.
Peringatan tersebut terkait dengan kecukupan rasio minimal dosen-mahasiswa untuk setiap program studi. Pemerintah telah menetapkan bahwa untuk program studi eksakta, rasio tersebut minimal 1:30 dan untuk program studi non-eksakta minimal 1:45. Pemerintah memberikan ancaman kepada pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) bahwa program studi yang punya rasio jauh lebih kecil dari angka itu akan ditutup. Apakah “hantu” yang menakutkan ini sungguh layak kita takuti?
Dasar penetapan rasio
Pemerintah memakai dalih bahwa rasio dosen-mahasiswa dapat menjadi cara efektif untuk mengendalikan mutu program studi. Namun, kalau kita cermati lebih jauh, argumentasi pemerintah ini sebenarnya lemah dan bahkan mengandung banyak konsekuensi yang justru akan menurunkan kualitas program studi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama, rasio dosen-mahasiswa hanyalah salah satu dari banyak sekali faktor penentu kualitas program studi. Pemerintah sudah lama mengharuskan pemakaian mekanisme akreditasi sebagai cara komprehensif menilai kualitas program studi. Dari waktu ke waktu, instrumen penilaiannya semakin lengkap dan mendetail serta telah mencakup input, proses, dan output sebuah program studi. Apakah kecukupan rasio dosen-mahasiswa dapat menegasikan begitu saja status atau peringkat akreditasi suatu program studi? Sampai sekarang pemerintah tidak memberi penjelasan keterkaitan antara kualitas program studi berdasar akreditasi dan kecukupan rasio dosen-mahasiswa ini.
Kedua, pemerintah tidak pernah menjelaskan dari mana rasio 1:30 dan 1:45 ini diperoleh dan dalam konteks apa? Kalau rasio ini digunakan dalam konteks pembelajaran, banyak PTS akan gulung tikar ketika jumlah peserta kuliah di setiap kelas dibatasi hanya 30 dan 45. Bagaimana PTS dapat membiayai layanan pendidikannya ketika justru program studi eksakta yang banyak membutuhkan prasarana pembelajaran seperti alat-alat laboratorium dan bahan habis pakai harus ditanggung oleh lebih sedikit mahasiswa dibandingkan dengan untuk program studi non-eksakta? Lagi pula, program studi juga melibatkan para dosen tidak tetap atau calon dosen dalam pembelajaran, tetapi para dosen ini tidak dapat ikut dihitung sebagai pembagi dalam rasio tersebut.
Kecukupan rasio 1:30 dan 1:45 sungguh tidak masuk akal jika hanya memperhitungkan dosen tetap saja, bahkan hanya dosen yang mempunyai Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), padahal banyak PT yang mempunyai dosen yang belum ber-NIDN. Seandainya rasio ini terkait dengan pembimbingan tugas akhir maka 1:30 apalagi 1:45 justru tidak ideal dan juga tidak nyata karena untuk program S-1 (empat tahun) hanya sekitar 25 persen mahasiswa di suatu program studi yang perlu bimbingan tugas akhir.
Ketiga, ketentuan rasio minimal ini akan menurunkan antusiasme masyarakat untuk terlibat mencerdaskan bangsa karena angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi kita masih di bawah 20 persen. Ketentuan tentang rasio dosen- mahasiswa akan menjadikan PTS terlalu mahal bagi masyarakat. Untuk program studi eksakta, rasio 1:30 membawa konsekuensi jumlah mahasiswa total empat angkatan hanya 180 untuk jumlah dosen enam orang. Jika setiap mahasiswa rata-rata membayar Rp 3 juta selama satu semester, program studi itu hanya mampu mengumpulkan dana Rp 480 juta. Dana ini tak akan cukup untuk menggaji enam dosen ditambah minimal dua karyawan serta membiayai kegiatan praktikum dan kemahasiswaan. Dengan kata lain, rasio ini akan menjadikan program studi di PTS terlalu mahal bagi masyarakat.
Keempat, di tengah semakin majunya sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena kecanggihan dan ketersediaan teknologi internet, rasio dosen-mahasiswa ini akan berlawanan dengan pengembangan PJJ. Internet sebagai platform PJJ justru mendobrak keterbatasan fisik sehingga mampu meningkatkan jumlah peserta pembelajaran. Pemerintah telah mengakui hal ini bahkan mendorong PT di Indonesia untuk mengembangkan PJJ. Lagi pula, dalam konteks negara besar kepulauan, Indonesia semestinya menangkap peluang PJJ berbasis internet karena PJJ dapat secara efektif memperluas jangkauan dan meningkatkan partisipasi belajar masyarakat.
Konteks pengembangan PT
Kalau PJJ juga harus memenuhi ketentuan rasio dosen-mahasiswa ini betapa PJJ menjadi absurd untuk dilakukan. Pemakaian kriteria rasio dosen-mahasiswa sebagai ukuran kualitas pembelajaran tidak lagi sesuai semangat zaman ini karena di zaman digital belajar harus kita pahami dengan cara baru. Perkara belajar bukan lagi pertama-tama perkara bertemu dengan otoritas keilmuan, tetapi lebih sebagai perkara akses ke sumber pengetahuan.
Memang rasio dosen-mahasiswa ini akan memaksa program studi untuk meluluskan mahasiswanya secara tepat waktu. Semakin banyak mahasiswa yang tak lulus tepat waktu akan memperkecil rasio ini. Konsekuensinya, untuk program studi eksakta yang mempunyai enam dosen, setiap tahun hanya bisa menerima 30 mahasiswa baru dan setiap tahun harus meluluskan 30 mahasiswa lama. Hal ini bukan perkara mudah. Solusi lain adalah menambah dosen, tetapi akan membawa konsekuensi membesarnya pendanaan untuk gaji dosen.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menerapkan ketentuan rasio dosen-mahasiswa ini dalam konteks pengembangan PT secara tepat. Apakah ketentuan ini dibuat dalam konteks pembelajaran tatap muka ataukah dalam konteks pendampingan penulisan tugas akhir atau pendampimgan kegiatan mahasiswa atau untuk semuanya? Selain itu, pemerintah perlu menjelaskan dari mana dan atas pertimbangan apa memakai batas 30 dan 45. Jika kedua hal ini tidak jelas, ketentuan rasio ini justru akan seperti hantu yang menakuti banyak orang, padahal tidak nyata kehadiran dan relevansinya.
Johanes Eka Priyatma, Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2015, di halaman 6 dengan judul “Hantu Rasio Dosen-Mahasiswa”.