Brian J O’Brien; Dari Ruang Angkasa untuk Bumi

- Editor

Selasa, 9 November 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bumi, kata Profesor Brian J O’Brien, ibarat pesawat ruang angkasa yang amat berharga. Kalau dilihat dari ruang angkasa, Bumi sungguh kecil, bahkan hanya titik di antara berbagai planet dan bintang. Meski kecil, inilah satu-satunya planet yang diketahui dapat dihuni.

Kesadaran ini bukan sekadar doktrin suatu kepercayaan untuk Brian J O’Brien, mantan Kepala Peneliti NASA (National Aeronautics and Space Administration) yang menjalankan proyek Apollo pada tahun 1960-an.

Sekitar tahun itu pula dia tercatat sebagai pengajar ilmu pengetahuan ruang angkasa di Rice University, Houston, Texas, dengan Buzz Aldrin, salah satu mahasiswanya yang kemudian menjadi astronot yang mendarat di bulan dengan Apollo 11.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menyadari sepenuhnya kenyataan itu, O’Brien memilih fokus dan mendorong perbaikan kualitas lingkungan. Sejak 1991, selama tujuh tahun, ayah tiga anak ini menjadi First Director and Chairman Environmental Protection Authority for Western Australia Government. Setelah itu, perusahaan konsultan yang bergerak di bidang strategi lingkungan, Brian J O”Brien & Associates Pty Ltd, didirikan.

“Sekarang saya bisa melakukan apa pun yang saya inginkan,” ujarnya.

Dengan perusahaannya, O’Brien juga mendorong terbitnya 10 peraturan terkait perlindungan lingkungan di Australia Barat. Beberapa peraturan itu tentang pengelolaan air, polusi, pertambangan, serta etika lingkungan untuk bisnis dan turisme.

Debu Bulan dan Apollo
Masalah lingkungan ini pula yang mengembalikan perhatian O’Brien pada debu Bulan yang sudah dideteksinya sejak 1969, saat pendaratan pertama manusia di Bulan dengan Apollo 11. Apalagi Presiden Amerika Serikat George W Bush (waktu itu) sempat melontarkan wacana lanjutan misi ke Bulan pada 2020.

Data mengenai debu Bulan sudah diambil sejak misi Apollo 11, Apollo 12, Apollo 14, dan Apollo 15. Sampai kini, kata O’Brien, terdapat sekitar 30 juta data digital tentang debu Bulan. Data mengenai debu Bulan itu ditransmisikan ke Bumi setiap 54 detik ketika misi Apollo 11, 12, 14, dan 15. Namun, sampai proyek ditutup pada 19 September 1977, belum ada yang menganalisis masalah debu Bulan ini.

Padahal, debu itu sangat mengganggu penelitian tim Apollo di Bulan. Karakteristik debu Bulan sangat berbeda dengan debu di Bumi. Debu Bulan lengket dan semakin siang semakin lekat. Bahkan, debu Bulan melekat di seismometer seberat 47 kilogram yang dipasang di badan Apollo 11 setinggi 17 meter, juga pada pakaian ruang angkasa. Karena lengket, debu ini merepotkan penelitian.

Untuk mengurangi kadar kelengketan debu, kata O’Brien, pendaratan di Bulan selalu pada pagi hari atau pada bulan baru. Masalah debu ini perlu dipertimbangkan dalam proyek pendaratan manusia di Bulan pada masa depan.

Untuk memantau debu itu, O’Brien membuat detektor debu (dust detector experiment) sederhana menggunakan sel surya. Menurut dia, sinar matahari menghasilkan tegangan listrik. Adanya debu akan membuat tegangan turun.

Detektor debu ini digunakan pada Apollo 11, Apollo 12, Apollo 14, dan Apollo 15. Dua detektor debu—yang digunakan pada Apollo 11 dan 12—bahkan dibawa dan ditunjukkan kepada para mahasiswa yang mengikuti kuliah tamu yang disampaikan O’Brien, awal Oktober lalu di Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya.

Secara logika, kata O’Brien, tumbukan benda keras akan menimbulkan partikel yang terlepas. Namun, keberadaan debu Bulan yang bersifat lengket dan sangat mengganggu penelitian itu sungguh di luar perkiraan para ilmuwan. Kendati demikian, lanjutnya, NASA tak terlalu memerhatikan masalah debu Bulan tersebut. Pada proyek Apollo 13 dan seterusnya, NASA hanya menyediakan sikat pembersih.

Kini, banyak catatan tentang penelitian Apollo, tetapi debu Bulan terselip. Apalagi, kebanyakan pelaku proyek sudah meninggal. Salah seorang yang masih menyimpan catatan itu adalah O’Brien, yang pernah menerima penghargaan dari NASA atas prestasi luar biasa dalam sains.

Aurora
O’Brien juga tertarik pada aurora. Semburat cahaya cantik yang bisa ditemukan pada musim dingin di daerah yang dekat dengan kutub utara atau selatan, menurut kakek sembilan cucu ini, disebabkan pertarungan medan magnetik dan plasma Matahari. Energi akibat saling pengaruh itu ditransfer pada medan magnetik ke partikel yang membentuk aurora.

Hal ini ditemukannya pada 1967 setelah mencoba membuat alat ukur partikel dan energi pembentuk aurora. Dalam catatan Rice University, tahun 1967 satelit Aurora I diluncurkan untuk meneliti aurora. Satelit itu dibangun O’Brien bersama mahasiswanya, Curt Laughlin dan Paul Cloutier, yang kini juga profesor fisika ruang angkasa dan astronomi. Alat itu dibuat dengan suku cadang yang dikerjakannya sendiri.

Proyek penelitian untuk mengukur cahaya dan partikel energi aurora sebenarnya sudah dimulai pada 1963. Saat itu, seperti ditulis dalam www.media.rice.edu, dibuat satelit yang dinamakan Sammy I, II, III, dan IV sesuai maskot kampus Sammy Si Burung Hantu. Satelit pertama diluncurkan tahun 1964.

Dari penelitian, diketahui medan magnet yang memengaruhi Bumi tidak seperti medan magnet yang dihasilkan magnet batang yang simetris. Alurnya sangat berbeda karena Bumi juga dipengaruhi angin radiasi Matahari. Hasil penelitian ini pun mengubah cara pandang para ilmuwan tentang medan magnet Bumi.

Dari berbagai pengetahuan tentang ruang angkasa inilah, O’Brien dan masyarakat dunia menyadari sepenuhnya bahwa Bumi adalah bagian kecil dari semesta. Kesadaran bahwa Bumi sebagai satu-satunya planet yang diketahui bisa dihuni dan dikelilingi ruang kosong, membuat manusia semakin menghargai lingkungan.

“Saya suka berbicara dengan mahasiswa yang antusias (dan tertarik pada ruang angkasa dan lingkungan). Umur saya sudah 76 tahun, ‘baterai’ dalam diri ini harus selalu dicas, dan Andalah yang mengecas ‘baterai’ itu,” tuturnya. [Oleh Nina Susilo]

Sumber: Kompas, Selasa, 9 November 2010 | 10:32 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB