Potongan roti tawar itu terasa lezat di mulut saat lidah mencicipinya, awal Oktober 2010 lalu. Bentuknya menarik perhatian, sama persis dengan roti tawar terigu merek terkenal. Namun, satu hal yang sulit dipercaya adalah rasanya. Rasa roti tawar ini mirip dengan roti berbahan terigu. Padahal, roti tawar ini terbuat dari tepung ketela hasil modifikasi Ahmad Subagio.
Perjalanan roti berbahan tepung ketela ini memang panjang. Bersama dengan sejumlah pemuda terpelajar yang andal dan suka bekerja keras, Subagio akhirnya berhasil mengembangkan industri modifikasi tepung ketela (modified cassava flour/mocaf) di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Ketela, yang selama ini dipandang sebelah mata oleh banyak orang, kini memiliki nilai ekonomi tersendiri. Kehadiran industri ini tidak saja mampu membuka mata masyarakat mengenai potensi sumber pangan selain beras, tetapi juga mampu memberikan kontribusi yang riil bagi pembangunan ekonomi pedesaan. Ekonomi masyarakat di lereng pegunungan yang tandus pun mulai bergerak berkat ketela.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan produksi tepung antara 40 ton-150 ton per bulan, sebanyak 1.332 tenaga kerja terserap dalam kegiatan ini. Hebatnya, pekerjaan itu tidak berpusat di satu tempat—apalagi di wilayah perkotaan, melainkan terdistribusi ke pelosok pedesaan hingga lereng pegunungan. Ketela bisa menghidupi begitu banyak orang.
Alhasil, tidak ada dampak negatif seperti maraknya arus urbanisasi yang membuat pusing pemerintah. Urat nadi perekonomian di desa menjadi terpompa. Uang mengalir ke pelosok-pelosok desa, menghampiri masyarakat.
Harga singkong di tingkat petani, yang sebelumnya hanya Rp 150 per kilogram (kg), saat ini terdongkrak hingga tiga kali lipat, yakni Rp 500 per kg. Kebutuhan singkong pun tidak mampu lagi dipenuhi hanya dari Kabupaten Trenggalek, melainkan harus merambah ke wilayah sekitarnya, seperti Kabupaten Tulungagung, Kediri, Blitar, Ponorogo, bahkan sampai Kabupaten Bojonegoro.
Ini terjadi berkat meningkatnya harga keekonomian singkong ketika sudah diolah menjadi chip (irisan singkong untuk bahan baku mocaf) yang kisaran nilainya mencapai Rp 2.600 per kg. Adapun harga tepung mocaf sangat fluktuatif, tetapi tetap kompetitif jika dibandingkan dengan harga tepung terigu yang berada di kisaran Rp 5.000-Rp 8.000 per kg.
Petani singkong pun bersorak karena hasil panen mereka, yang dahulu tidak ada harganya, kini bisa dijual dengan harga pantas. Industri pendamping tumbuh, sektor transportasi merambah jalan-jalan desa, dan produk-produk perbankan yang dahulu asing mulai akrab dengan masyarakat.
Menyamai kentang
Sejumlah prestasi yang berhasil ditorehkan itu tidak terlepas dari perjuangan panjang nan berliku yang dilalui Subagio. Kisahnya bermula ketika dosen Universitas Jember ini berkunjung ke sebuah pabrik tepung di Belanda pada tahun 2004.
Dalam kunjungan itu, ia terpesona dengan aneka produk makanan dan produk lainnya yang diolah dari bahan baku kentang. ”Dari satu bahan kentang bisa dapat banyak jenis produk, mulai bahan pangan sampai kosmetik. Ini, kan, luar biasa,” ujarnya.
Subagio pun mulai berpikir, di Indonesia pasti ada suatu produk yang mampu menyamai kentang. Sejak itulah dia mulai mencari dan bereksperimen dengan berbagai bahan baku. Fokusnya pada produk lokal khas Indonesia.
Subagio akhirnya menjatuhkan pilihan pada ketela pohon. Ketela merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dijumpai di Tanah Air. Namun ironisnya, singkong kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Masyarakat pun menganggap tanaman itu sebagai tanaman yang nilai jualnya rendah. Konsumsi ketela maupun pemanfaatan produknya belum optimal. Apalagi, pemerintah masih mengedepankan beras sebagai bahan makanan pokok dengan berbagai programnya.
Subagio pun menggali ilmu pengetahuan yang dapat mengubah singkong menjadi sebuah produk yang lebih bisa diterima pasar. Ia terinspirasi dari makanan tradisional gatot dan oyen, yang pembuatannya melalui proses fermentasi.
Setelah melakukan sejumlah uji coba, sampailah Subagio pada kesimpulan mengenai modifikasi tepung ketela melalui proses fermentasi. Dalam proses fermentasi ini diperlukan enzim (senyawa) berisi mikroba yang mampu memecah sel dan inti ketela sampai bersih sehingga tidak menyisakan ampas. Ini berbeda dengan produk pati ketela yang sudah dikenal luas oleh masyarakat.
Selain tidak menyisakan ampas, modifikasi tepung ketela juga tidak boleh menghasilkan aroma ketela yang terlalu kuat seperti halnya tepung tapioka. Alasannya, dengan aroma yang tidak menyengat, tepung ketela lebih mudah diterima pasar.
Bahan baku berlimpah
Berkat usaha keras, ayah Ulummullah (13) ini berhasil memunculkan karakter tepung ketela yang baru dengan warna lebih putih serta aroma dan rasa yang sedap, tidak lagi beraroma maupun berasa singkong. Dengan kelebihan ini, mocaf bisa menjadi substitusi tepung terigu, beras, ketan, dan tapioka, di samping menghasilkan produk-produk tertentu.
”Keunggulan lain, mocaf memiliki kandungan mineral kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dengan padi dan gandum. Mocaf tidak mengandung glutein sehingga cocok untuk penyandang autis,” katanya.
Walaupun berhasil memproduksi tepung mocaf, ini bukan berarti perjuangan Subagio telah usai. Faktanya, perjuangan sesungguhnya justru baru dimulai. Pertama, ia harus mencari pangsa pasar untuk produknya. Sasarannya harus kalangan industri supaya manfaatnya lebih luas.
Perjuangan selanjutnya adalah mengimplementasikan gagasan menjadi sebuah produk yang riil. Setelah melalui jalan berliku dan diskusi yang panjang, Subagio memantapkan hatinya untuk memproduksi mocaf di Kabupaten Trenggalek.
Selain bahan baku ketela sangat berlimpah, Subagio juga mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah. Faktor dukungan inilah yang menjadi kunci sukses produksi mocaf, bukan bahan baku. Hal ini karena bahan baku singkong banyak dijumpai di daerah lain di Tanah Air.
Kendati kini mocaf dikenal luas oleh masyarakat, pemanfaatannya masih perlu digenjot. Khususnya menggali ide-ide kreatif yang bisa menelurkan produk turunan mocaf sehingga menghasilkan bahan pangan yang lebih bervariasi, seperti beras mocaf. Sejauh ini, mi mocaf juga sudah berhasil diproduksi. [Runik Sri Astuti]
Sumber: Kompas, Senin, 8 November 2010 | 04:01 WIB
Biodata:
Lahir: Kediri 17 Mei 1969
Istri: Lilik Suhartini
Anak: Ulummullah
Pendidikan: SDN Bandar Kidul Kota Kediri
SMPN 4 Kota Kediri
SMAN 4 Kota Kediri
S-1 Universitas Jember Jurusan Teknologi Pertanian
S-2 Osaka Prefecture University, Jepang
S-3 Osaka Prefecture University, Jepang