Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Profesor Dr Teuku Jacob, seorang ahli paleoantropologi dan antropolog ragawi. Guru besar antropologi UGM kelahiran Aceh Timur, 6 Desember 1929, ini meninggal dunia dalam usia 77 tahun akibat sakit liver pada Rabu 17 Oktober 2007 pukul 17.45 di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta.
Menurut Kepala Humas RS Dr Sardjito, Trisno Heru Nugroho, Profesor Jacob sudah lama mengidap penyakit liver dan semakin parah karena usia yang sudah menua. Sebelum meninggal dia sempat dirawat selama 12 hari di Ruang Isolasi ICCU RS Dr Sardjito. Dua setengah jam sebelum meninggal, tekanan darahnya terus melemah dan denyut nadi sudah tidak teraba. Kondisi makin buruk karena kemudian terjadi perdarahan.
Jenazah dimakamkan pada Kamis (18/10/2007) setelah disemayamkan di rumah duka di Jalan Bulaksumur A 14, Yogyakarta serta penghormatan terakhir dilaksanakan di Balairung UGM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama empat tahun sejak 1982, Profesor Jacob memangku jabatan sebagai Rektor UGM. Seusai menjabat rektor, dia lebih berkonsentrasi sebagai ahli fosil.
Guru besar antropologi ini merupakan ilmuwan yang terus memperjuangkan penemuannya bahwa fosil di Flores bukan spesies baru, tetapi bagian salah satu dari subspesies Homo sapiens dengan ras Austrolomelanesid.
Rektor UGM Prof Sudjarwadi menuturkan, Prof Jacob merupakan sosok ilmuwan bidang paleoantropologi profesional dan tangguh. Nama Prof Jacob tak asing di dunia ilmu paleoantropologi internasional. Jabatan terakhir sebagai profesor emeritus Fakultas Kedokteran UGM.
Prof Etty Indriati, Kepala Laboratorium Bio-Paleoantropologi UGM yang menggantikan Jacob mengungkapkan, almarhum berjasa besar mengembangkan ilmu antropologi dan cabang-cabangnya, khususnya bidang antropologi ragawi. “Spirit Prof Jacob itu sangat besar dan tak pernah padam untuk terus bekerja dan mengabdi pada ilmu pengetahuan sampai akhir hayatnya,” ujarnya.
“Pithecantropus”
Di forum internasional, Teuku Jacob dikenal sebagai ilmuwan andal dan kukuh prinsipnya. Atas jasa Prof Dr Teuku Jacob inilah, fosil kunci manusia Jawa pithecantropus erectus yang pernah ditemukan, lalu diperdagangkan, akhirnya bisa dibawa pulang ke Indonesia. Dalam kasus lahan minyak di Celah Timor, Jacob ngotot agar Pemerintah Indonesia berani menyatakan hak atas kawasan itu. Ia pula yang tegas menolak klaim spesies baru oleh sekumpulan antropolog muda Australia atas fosil manusia kerdil Flores itu.
Setelah empat tahun memangku jabatan rektor UGM, sejak 1982, antropolog ragawi ini kembali menekuni penelitian di laboratorium. Ia menekuni lagi fosil manusia dan binatang sebagai kepala laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi.
Bungsu dari tiga bersaudara anak Teuku Sulaiman, Jacob tamat SMA di Banda Aceh, 1949. Lulus FK UGM, 1956, ia belajar di Universitas Amerika, Washington DC, tetapi mengambil gelar doktor di Rijksuniversiteit, Utrecht, Negeri Belanda, 1970. Di dua perguruan tinggi ini, Jacob dibimbing dua arkeolog ternama: Prof. Dr. W. Montague Cobb, dan Prof. Dr. G.H.R. Koenigswald.
Berpendidikan sebagai dokter, tetapi Jacob lebih banyak menghabiskan waktu sebagai ahli fosil. Guru besar antropologi UGM ini sempat pula menjadi dosen tamu di San Deigo, AS. Pulang ke Indonesia, ia mengepalai seksi antropologi ragawi FK UGM, kemudian sekretaris,
lantas dekan fakultas yang sama, sebelum menjabat rektor, menggantikan Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardja.
Gagasannya di bidang pendidikan terasa orisinil. Misalnya, ia pernah melempar gagasan untuk menerima lulusan SMA IPS di fakultas kedokteran. Ia juga gusar melihat sebagian besar insinyur bekerja di kota. ”Kalau dokter bisa menjadi dokter Inpres, mengapa insinyur tidak,” katanya.
Tetapi, memenuhi harapan Menteri P & K untuk mencetak kader penerus kegiatan bidang ilmu yang digelutinya, ia malah merasa sulit. Orang tidak banyak tertarik bidang ini karena hasilnya tidak langsung dirasakan. Lagi pula, bidang ini erat berkaitan dengan antardisiplin: ilmu kedokteran, biologi, kedokteran gigi, arkeologi, dan antropologi budaya. ”Menyiapkan program pendidikannya pun menjadi susah,” ujarnya.
Di beberapa negara, Jacob tercatat sebagai anggota sejumlah
perkumpulan. Ia juga menulis beberapa karya. Jacob menolak anggapan para ahli Barat bahwa manusia purba di kawasan Sangiran, Solo, bertradisi mengayau — memenggal kepala lalu memakan otak sesamanya. Ia menyatakan, ”Temuan-temuan tengkorak Sangiran umumnya sudah tidak bertulang dasar, rusak karena lemah. Lagi pula, manusia purba cukup bekerja dua jam untuk makan sepanjang hari, sehingga rangsangan untuk membunuh menjadi berkurang.”
Menikah dengan Nuraini, Jacob dikaruniai seorang anak wanita, Nina Nurilani Jacob. Kegemarannya cuma membaca. Bila bepergian, ia sering membawa banyak kopor. Bukan pakaian, melainkan tulang belulang. Ketika membawa fosil ke Tokyo, 1977, ”Saya dijaga ketat, pakai polisi bersirene, dan lampu merah segala,” ceritanya.
Bintang Mahaputra Nararya
Presiden Megawati Soekarnoputri menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Nararya kepada Prof Dr Teuku Jacob. Upacara penganugerahan berlangsung di Istana Negara Jakarta, Kamis 15 Agustus 2002. Penganugerahan itu dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 503/TK/2002.
UGM “Melepas”
Segenap anggota sivitas akademika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Kamis (18/10/2007) pukul 12.15 di Balairung Gedung Pusat UGM Yogyakarta, melepas kepergian sekaligus memberikan penghormatan terakhir kepada sang guru sosok ilmuwan sejati Prof Teuku Jacob. Guru besar emeritus Fakultas Kedokteran UGM ini dimakamkan di Makam Keluarga Besar UGM, Sawit Sari, Sleman, Yogyakarta.
Pelepasan jenazah Prof Teuku Jacob di UGM dilakukan dengan upacara militer dengan inspektur upacara Kepala Staf Komando Distrik Militer (Kodim) Sleman Mayor Infanteri Narso. Sewaktu muda, Prof Jacob tercatat sebagai pejuang yang tergabung dalam Tentara Pelajar Resimen Aceh.
Terlihat hadir dalam upacara penghormatan Prof Jacob antara lain mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Ma’arif serta dua mantan Rektor UGM, Ichlasul Amal dan Sofian Effendi.
Semua anggota keluarga dengan khusyuk mengikuti prosesi penghormatan terakhir almarhum di Balairung Gedung Pusat UGM. Selama prosesi pemakaman, istri Prof Jacob, Nuraini Jacob (68), lebih banyak menggandeng lengan menantunya, Afmi dan putri satu-satunya, Nina Nurilani Jacob.
Menurut keluarga, sejak masuk RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, pada 13 hari sebelum neninggal, Prof Jacob telah kehilangan kesadaran. “Sudah tidak bisa diajak berbicara lagi sejak masuk rumah sakit. Kondisinya lemah,” kata famili almarhum.
Ketua Majelis Guru Besar UGM Suryo Guritno saat melepas almarhum menuturkan, bangsa Indonesia, khususnya UGM, telah kehilangan salah satu putra terbaik sosok ilmuwan sejati. Prestasi signifikan yang dimiliki almarhum, selain di bidang ilmu yang digeluti, adalah dalam kurun waktu 36 tahun usia UGM, sebanyak 56,8 persen dari doktor yang dihasilkan oleh UGM adalah saat beliau menjadi rektor.
Ichlasul Amal bercerita saat memangku jabatan sebagai Rektor UGM, Prof Jacob sering mengundang dirinya yang saat itu masih menjabat Dekan Fisipol UGM untuk berdiskusi masalah politik. “Sulit mencari pengganti Pak Jacob. Beliau mendalami antropologi ragawi, tapi juga mengajar ilmu perdamaian pada Program Perdamaian dan Keamanan pada Pascasarjana UGM,” tuturnya.
Prof Jacob yang dikenal galak, justru sebaliknya bagi Sofian Effendi. Menurut Sofian, sosok Jacob memberikan banyak inspirasi dan anekdot keilmuan, bahkan dalam humor-humornya pada diskusi ilmiah. Sebab, Jacob memiliki pengalaman studi dan bidang yang luas di banyak negeri.
Sumber: Kompas, 18 Oktober 2007, 19 Oktober 2007, PDAT.co.id dan csps.ugm.ac.id
——————
Mengenang sosok yang satu ini kita akan mendapat banyak inspirasi dengan apa yang telah beliau capai sepanjang hidupnya. Karena banyak hal yang telah beliau sumbangsihkan kepada ilmu pengetahuan terutama ilmu antropologi. Apalagi pada masa akhir hidupnya beliau pernah menolak pendapat kalau manusia di Sangiran itu adalah manusia pemakan sesama yang menjadi pendapat para ilmuwan barat. Hal ini, dibantah oleh Prof. Dr. Teuku Jacob yang menyatakan bahwa temuan-temuan tengkorak Sangiran umumnya sudah tidak bertulang dasar, rusak karena lemah. Lagi pula, manusia purba cukup bekerja dua jam untuk makan sepanjang hari, sehingga rangsangan untuk membunuh menjadi berkurang.
Membicarakan siapa sih? Sebenarnya Teuku Jacob. Beliau dilahirkan di Peureculak, Aceh Timur, 6 Desember 1929. Prof. Dr. Teuku Jacob adalah putra bungsu dari tiga bersaudara, anak dari Teuku Sulaiman, Jacob tamat SMA di Banda Aceh, 1949 dan Lulus FK UGM, 1956, kemudian beliau belajar di Universitas Amerika, Washington DC, tetapi mengambil gelar doktor di Rijksuniversiteit, Utrecht, Negeri Belanda, 1970. Di dua perguruan tinggi ini, Jacob dibimbing dua arkeolog ternama yakni Prof. Dr. W. Montague Cobb, dan Prof. Dr. G.H.R. Koenigswald.
Di beberapa negara dunia nama Jacob sangat cukup dikenal sebagai seorang ahli antropologi dari Indonesia. Karena banyak temuan yang telah beliau peroleh untuk memperkaya ilmu pengetahuan. Sikap ini beliau tunjukan dengan membawa banyak koper besar ketika bepergian kemana-kemana yan isianya bukan penuh baju, melainkan tulang belulang. sikap ini menunjukan bawha Prof Jacob adalah salah satu ilmuwan yang masa hidupnya untuk ilmu pengetahuan.
Selain mengajar di Fakultas Kedokteran dan antropologi beliau juga menjadi guru besar tamu Paleontologi, manusia di Universitas San Diego pada tahun 1968. Menjadi dosen tamu di universitas luar negeri sebagai garansi akan keilmuwan yang dipunyai oleh Prof Jacob. Salah satu penghargaan yang beliau peroleh dari pemerintah adalah Bintang Maha Putra Naraya pada tahun 2002 oleh presiden Megawati Soekarnoputri.
Selain dikenal sebagai seorang akademis beliau juga tercatat sebagai salah seorang rektor UGM yang memimpin pada periode 1981-1986. Karena pada kepimpinan beliau banyak dosen yang mampu mendapat gelar doktor kalau dalam prosentase sekitar 50% lebih. Keilmuwan beliau dan kepemimpiannnya tidak perlu diragukan lagi karena banyak bersumbangsih terhadap bangsa dan negara Indonesia.