Di tangan Russell Kelley, kitab identifikasi karang dunia seberat lebih dari 7 kilogram berjudul ”Corals of the World” dikonversi menjadi buku modul setebal 17 halaman berjudul ”Coral Finder 2.0: Indo Pacific”. Buku modul penuh gambar yang tahan air ini dalam beberapa tahun terakhir mulai populer di kalangan pemerhati karang. Buku ini menjadi pegangan sederhana bagi keperluan identifikasi langsung genus karang di bawah laut.
Buku yang digarap Kelley ini semakin membuka mata dan pintu bagi siapa pun, termasuk amatir, untuk mengetahui lebih dalam akan jenis karang yang selama ini cenderung dikategorikan sangat sulit diidentifikasi.
Kesulitan itu terjadi karena sifat karang yang memiliki morfologi atau penampakan umum berubah-ubah, menyesuaikan kondisi lingkungan. Misalnya, jenis karang Isopora sp atau Hydnopora bentuknya bisa bercabang-cabang, berbukit, ataupun berupa rataan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, identifikasi langsung di bawah air dengan memperhatikan ciri-ciri kunci dan mencocokkannya dengan buku acuan akan sangat menentukan keakuratan. Masalahnya, akan sangat mustahil membawa buku epik Corals of the World (2000) karya JNE Veron yang terdiri atas tiga jilid selebar telapak tangan itu ke dalam air. Kesulitan lain adalah informasi dalam kitab itu belum tertata sistematis sehingga menyulitkan untuk membandingkan obyek di alam dengan gambar dalam buku.
Celah kesulitan identifikasi atau mengenal jenis karang secara mudah, tepat, dan akurat inilah yang dilihat dan digarap Kelley. ”Sejak lima tahun buku Veron yang sangat luar biasa bagus itu terbit, saya melihat karang masih menjadi misteri bagi banyak orang. Saya berpikir ada masalah komunikasi,” kata Kelley yang ditemui di sela-sela memberikan pelatihan Coral Finder kepada sejumlah akademisi dan petugas pemerintah di Tulamben, Karangasem, Bali, akhir Agustus 2014 lalu.
Ia pun memiliki ide untuk mengompresi isi buku Veron dan membahasakannya kembali secara sistematis agar mudah digunakan siapa pun. Upaya ini membutuhkan waktu enam tahun dan selama itu ia bersama istrinya, yang merupakan manajer di Otorita Taman Laut Great Barrier Reef (GBRMPA) Australia, mengambil foto bawah air di sejumlah daerah untuk dipakai dalam bukunya.
Pada 2009, ia berhasil memperkenalkan Coral Finder versi pertama. Gayung bersambut, setahun kemudian, upayanya ini dilirik lembaga pendanaan David and Lucile Packard Foundation yang memfasilitasi pelatihan Coral Finder di Fiji, negara kepulauan di Pasifik.
Indonesia sangat spesial
Selain menggunakan buku, ia pun melengkapi sarana pelatihan dengan video pengenalan dan petunjuk penggunaan modul Coral Finder. Dengan bantuan lembaga pendanaan itu pula, tahun lalu, Kelley memperoleh hibah kedua untuk membuat versi film, bahkan Coral Finder berbahasa Indonesia. Dalam proyek ini, ia bekerja dengan The Nature Conservancy Indonesia sebagai partner di Indonesia.
”Saya pikir Indonesia sangat spesial karena menjadi bagian utama dalam segitiga terumbu karang dunia (coral triangle) yang sangat kaya jenis karang ataupun ikan. Pasti Coral Finder akan sangat penting digunakan bagi upaya pengelolaan wilayah di Indonesia,” ujar Kelley.
Meski sebagian penduduk Indonesia tinggal di pesisir pantai dan sering melihat karang, ia yakin hanya sedikit yang mengenal karang. Kesimpulan umum ini didapatkan Kelley seusai memberikan pelatihan Coral Finder
di Fiji.
”Selesai pelatihan, seorang peserta yang sejak lahir dan besar tinggal dekat laut, bahkan bekerja membudidayakan tiram, berterima kasih kepada saya. Ia berterima kasih karena pelatihan ini membuka mata dia bahwa karang itu makhluk hidup, bukan batu,” katanya.
Gap informasi ini yang ia yakini membuat kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga alam sekitar tempat tinggalnya masih rendah. Padahal, dari sisi keilmuan, banyak informasi dan pengetahuan yang dihasilkan, tetapi tidak terkomunikasikan kepada masyarakat.
”Ilmuwan sibuk dengan penelitiannya. Pemberi dana penelitian sibuk membuat laporan. Padahal, ada kebutuhan agar publik mengerti dan jatuh cinta kepada ilmu pengetahuan. Sains adalah seni yang indah di abad ini,” kata Kelley yang juga menjadi pengajar tamu di James Cook University, Australia.
Pentingnya jembatan komunikasi ini dialaminya saat masih duduk di bangku sekolah. Suatu saat, seorang geolog berkunjung ke sekolahnya dan menunjukkan kepada dia berbagai
jenis batuan dan fosil.
Sejak saat itu, ia mulai tertarik dan hal itu mengarahkannya untuk memilih mendalami jurusan geologi di Queensland University, Brisbane, Australia, dan bertahun-tahun meneliti tebing karang di Semenanjung Huon, sebelah utara Papua Niugini.
Dari misteri tebing karang yang membentuk perbukitan itu, ia mulai menggemari dan menggeluti isu kelautan. Selain menghasilkan berbagai paper kelautan, jiwa seni kreatifnya pun muncul dengan membuat sejumlah film alam seputar laut.
Film-film tersebut antara lain berjudul Sex on the Reef (1993-1995) dan Ocean Empires (1999-2000) yang merebut sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri.
Jadi, Anda ini sebenarnya ilmuwan berjiwa seni atau seniman berjiwa sains? ”Saya tidak sehebat yang Anda katakan. Kalau boleh disebut, saya ini adalah story teller dengan media bercerita melalui buku, situs internet, dan film,” katanya.
Melalui semua media itu, ia berusaha memvisualkan berbagai kajian ilmiah ataupun ilmu pengetahuan agar mudah dipahami. Sementara teks atau kata-kata memiliki arti yang harus dimengerti, bahkan dimaknai.
”Mata dan otak kita adalah supercomputer yang sangat canggih. Visual mudah dikenali dan diproses otak dibandingkan dengan kata-kata. Benar juga ungkapan ’satu gambar itu adalah seribu kata’,” ujarnya.
Namun, ia mengakui, dalam pembuatan modul Coral Finder, ia tak dapat menihilkan keberadaan teks. Di antaranya untuk memberikan keterangan karakter detail setiap genus hingga memberikan petunjuk acuan ke buku induk Corals of the World.
Saat ini, ia sedang menyelesaikan proyek modul serupa dengan Coral Finder. Targetnya, awal tahun 2015, ia akan meluncurkan buku Reef Finder. Seperti namanya, modul ini akan menjadi pegangan bagi pengenalan akan berbagai jenis biota nonkarang di ekosistem terumbu karang.
Russell Kelley
? Kewarganegaraan: Australia
? Lahir: 13 April 1960
? Pendidikan: Bachelor of Science Queensland University
? Istri: Dr Rachel Pears
? Karya dan penghargaan:
– Menulis sejumlah buku dan publikasi ilmiah
– Mendapatkan berbagai penghargaan dari sejumlah lembaga atas kiprahnya
Oleh: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 18 September 2014