Sarjana pertama Indonesia yang lulus dari kampus Leiden, Belanda adalah Raden Mas (R.M.) Panji Sosrokartono. Mahasiswa Indonesia pertama yang kuliah di Belanda ini juga dikenal dengan singkatan RMP Sosrokartono, atau dipanggil Kartono. Ia adalah kakak pahlawan R.A. Kartini.
Pada Oktober 1901, Raden Mas Pandji Sosrokartono terdaftar sebagai mahasiswa Faculty of Letters, Universiteit Leiden, Belanda, seperti dikutip dari tulisan Harry A. Poeze, Indonesians at Leiden University, dalam buku Leiden Oriental Connections 1850-1940 yang disunting Willem Otterspeer.
Sebelumnya, orang Indonesia yang terdaftar di Leiden University sebetulnya adalah Raden Mas Ismangoen Danoe Winoto. Namun, kelahiran Yogyakarta tahun 1850 ini tercatat paada 26 September 1871 sebagai pelajar lembaga nasional pelatihan pegawai negeri Hindia Belanda yang berafiliasi dengan Leiden University.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kampus Ismangoen, Rijkssinstelling tot opleiding van Indische bestuursambtenaren, adalah lembaga yang menyediakan pendidikan lanjutan dengan tutor staf pemerintah Belanda. Setelah satu tahun di Leiden, Ismangoen dikirim tutornya ke pabrik di North Brabant dan perusahaan dagang di Hamburg untuk mencari pengalaman praktik.
Pada 1874, Ismangoen kembali kuliah. Namun, kali ini di Delft, di institut yang senada dengan Rijkssinstelling. Pada 1875, ia lulus ujian amtenar (PNS) dan kembali ke Hindia Belanda, seperti dikutip dari Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 oleh Harry A. Poeze dan sumbangan tulisan Cees van Dijk dan Inge van der Meulen.
Ismangoen sebenarnya berhak mendapat kedudukan di Pemerintahan Dalam Negeri sesuai pendidikan dan kualifikasinya. Namun, praktik korps itu mengelak dari hukumnya dan menolak jabatan diberikan pada selain orang Belanda.
Setelah ditempatkan di posisi lain, Ismangoen kelak diangkat sebagai inspektur karena jumlah inspektur harus ditambah pada 1894. Sayangnya, ia meninggal di tahun yang sama.
Sarjana Pertama Indonesia di Leiden
Sosrokartono adalah orang pertama di rombongan orang Indonesia yang datang ke Indonesia untuk belajar. Rombongan ini kelak disusul rombongan lain yang jumlahnya makin besar. Karena itu, ia disebut sebagai perintis.
Ia adalah putra Bupati Jepara, satu ayah dengan R.A. KArtini. Kelahiran 1877 ini sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang. Sekolah menengah 5 tahun bikinan Belanda untuk orang Belanda, Eropa, Cina, dan elite pribumi ini menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Mahasiswa Teknik yang Pindah ke Sastra
Sebelum kuliah di Leiden pada 1901, Sosrokartono sudah tinggal di Belanda sejak tahun 1896. Saat itu, ia memulai studi di Polytechnical School di Delft. Tidak lama, ia memutuskan bahwa humaniora merupakan bidang ilmu yang dia minati, bukan teknik.
Sosrokartono lalu pindah ke jurusan bahasa dan kesusastraan Timur. Ia pun menjadi mahasiswa Indonesia pertama yang melanjutkan pendidikan ke Belanda.
Pengetahuan Sosrokartono dalam bahasa Jawa membuatnya dapat membantu penyusunan tulisan Seni Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya oleh G.P. Rouffaer dan H.H.Juynboll tahun 1899. Tulisan ini kelak terbit tahun 1914.
Reputasi Sosrokartono
Di awal perkuliahan, Sosrokartono sudah memiliki reputasi di negeri orang. Di samping dipanggil sebagai “Pangeran Jawa”, ia disebut sebagai orang Indonesia pertama yang berbicara di publik di Belanda.
Pada 29 Agustus 1899, ia berbicara di Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 mengenai kondisi bahasa Belanda di Jawa. Pidatonya dinilai jelas dan tertata selagi mengkritisi isu Belanda di Indonesia. Di sisi lain, Sosrokartono saat itu juga dinilai mengamini bahwa pendudukan Belanda juga ada manfaatnya bagi penduduk di Jawa.
Ia mengatakan, kurangnya penguasaan bahasa Belanda berdampak pada pengetahuan di Indonesia. Saat itu, orang Belanda di Hindia tidak mau berbicara bahasa Belanda dengan orang Indonesia yang di bawah kekuasaannya. Alhasil, ada penurunan bahasa yang dikenal dengan bahasa Belanda Indisch.
Sosrokartono berpendapat, berbahasa Belanda yang benar dapat membangkitkan simpati kedua belah pihak, mempermudah tata pemerintahan, dan bermanfaat untuk perkembangan pengetahuan tentang Indonesia. Di penutup, ia menyebut keinginannya agar orang Jawa mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan Barat, dan jauh dari kebodohan.
Kuliah Sosrokartono Tidak Langsung Mulus
Perkuliahan Sosrokartono juga tidak mulus begitu saja. Pada Maret 1908, ia tercatat mengambil jenjang Master. Namun, perkuliahannya tak sampai promosi seperti yang direncanakan.
Saat itu, Sosrokartono berencana menulis disertasi tentang middle Javanese language (bahasa Jawa tengah), bentuk bahasa Jawa yang tidak lagi umum dipakai sejak awal abad ke-16.
Sejumlah penyebab diduga menjadi pemicu ganjalan studi Sosrokartono. Sumber-sumber Indonesia mengaitkan kesulitan hingga tidak rampungnya studi Sosrokartono saat itu dengan Snouck Hurgronje yang menjadi dosen di sana pada 1907.
Saat itu, pemikiran Sosrokartono yang dianggap progresif dan menjunjung emansipasi dinilai bertabrakan dengan pandangan Snouck yang bernapas kolonial dan konservatif. Sementara itu, sumber-sumber Belanda di antaranya menilai Sosrokartono tidak bisa menahan diri di tengah kehidupan Barat.
Kendati demikian, Sosrokartono dinilai memiliki kesan yang baik di mata kawan-kawan Indonesianya di sana. Kemampuan intelektual, pengalaman di Belanda, kemauannya membantu sesama mahasiswa diingat kawan-kawannya. Ia juga tercatat dalam sejarah Indische Vereeniging yang didirikan para pelajar di sana.
Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia didirikan pada 1908. Ketuanya R. Soetan Casajangan Soripada. Ia lalu bersama R.M Soemitro, Sosrokartono, dan R. Hoesain Djajadiningrat mengisi komisi yang mengusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perhimpunan tersebut lebih rinci.
Sosrokartono setelah Lulus Kuliah
Sosrokartono mengantongi gelar Doctor in de Oostersche Taalen dari University of Leiden saat kembali ke Hindia Belanda pada 1925, 29 tahun sejak menjejakkan kaki di Belanda.
Sebelum kembali ke Tanah Air, Sosrokartono membiayai hidup dengan bekerja sebagai wartawan. Pekerjaannya terbantu karena penguasaannya akan berbagai bahasa Barat dan Timur.
Sosrokartono menjadi koresponden surat kabar Amerika setelah meletusnya Perang Dunia I, seperti New York Herald (Tribune). Sementara itu, untuk surat kabar De Telegraaf, ia rutin menulis tentang yang ditulis pers Rusia seputar perang di front timur. Kelak, ia juga dikenal dengan nama pena Raden Bonang.
Setelah perang, Sosrokartono bekerja sebagai interpreter (penerjemah) di League of Nations atau Liga Bangsa-bangsa yang kelak digantikan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Kelak pada 1927, sekolah Tamansiswa, Nationale Middelbare School di Bandung, didirikan atas prakasa Sosrokartono, Ir. Soekarno, Dr. Samsi, Mr. Sunario, Soewandi, Mr. Usman Sastroamijoyo, dan Iskandar Kartomenggolo, seperti dikutip dari Ensiklopedia Pelajar dan Umum oleh Gamal Komandoko.
Trisna Wulandari – detikEdu
Sumber: Detik.com, Minggu, 02 Okt 2022