MASIH diingat dalam literatur Eropa, Plato membeli halaman kuil Hekademos dari uang tebusan atas dirinya yang akan dijual sebagai budak oleh seorang tiran.
Kampus tertua, Akademia, didirikan atas tebusan kebebasan itu. Kisah itu mengingatkan kita kembali bahwa perguruan tinggi didirikan bukan demi uang atau kuasa, melainkan demi intelektualitas yang esensinya adalah kebebasan berpikir. Kemajuan peradaban modern menambahkan dua nilai dasariah lagi, yaitu imparsialitas dan universalitas. ”Sebuah universitas… menurut namanya,” demikian tulis John Henry Newman dalam The Idea of a University, ”bertugas untuk mengajarkan pengetahuan universal.” Newman bicara tentang kultur intelektual yang membagikan pengetahuan secara imparsial. Kampus adalah ruang untuk berpikir jernih. Dewasa ini, justru ketika globalisasi menyebarkan universalisme dan kebebasan, secara ironis muncul tendensi partikularisasi di kampus-kampus kita.
Bukan hanya agama sebagai identitas, melainkan juga orientasi bisnis membuat ruang berpikir itu menjadi keruh dan bising. Sekarang ini, justru dalam demokrasi, kampus ikut dalam hiruk-pikuk kepentingan. Yang terancam di sini adalah imparsialitas. Situasi tersebut mendesak kita untuk menimbang kembali peran perguruan tinggi kita pada umumnya dalam menyongsong Pemilu 2014. Bagaimanakah perguruan tinggi memainkan peran khasnya di tengah-tengah turbulensi politis kita?
Reproduksi ruang publik
Dikatakan dengan padat, peran perguruan tinggi dalam demokrasi adalah reproduksi ruang publik. Ia harus mendorong—mengacu pada Kant—public use of reason. Bersama pers dan masyarakat warga, ia berkontribusi dalam regenerasi, multiplikasi, dan ekspansi bentuk-bentuk komunikasi yang bebas dan setara dalam masyarakat demokratis. Ruang publik direproduksi lewat distribusi hak-hak komunikasi warga yang praktis dilakukan lewat institusi pendidikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tugas itu terkait ”Tridarma Perguruan Tinggi”. Pertama, pengajaran memungkinkan sosialisasi nilai-nilai kewarganegaraan yang mengalihkan para mahasiswa dari yang privat ke dalam yang publik. Kedua, penelitian membuka wawasan-wawasan baru dan kesadaran-kesadaran baru untuk menemukan tidak hanya potensi-potensi, tetapi juga kendala-kendala masyarakat kita dalam demokratisasi. Ketiga, pengabdian kepada masyarakat merupakan tugas penyadaran hak-hak komunikasi publik dalam demokrasi pada umumnya dan pemilu pada khususnya. Hasil pelaksanaan ketiga pilar itu adalah ”keadaban publik” (public civility).
Bagian sentral keadaban publik adalah pelaksanaan pemilu yang berintegritas. Integritas pemilu memang banyak bergantung pada para aktor dalam partai-partai, lembaga-lembaga pengawas, dan para pemilih. Namun, tanpa peran perguruan tinggi, integritas pemilu sulit diwujudkan. Dalam hal ini perguruan tinggi menduduki posisi khas sebagai otoritas intelektual bagi pencarian keadilan sebagai fairness. Suaranya otoritatif untuk menyingkap apa yang adil dan tak adil, dan apa yang benar dan salah, hanya jika ia bersikap imparsial dan tidak terjebak entah dalam jeratan kepentingan bisnis-politis ataupun eksklusivisme agama.
Reproduksi ruang publik memang tugas politis, tetapi tugas itu tidak mengubah perguruan tinggi menjadi lembaga politis. Public use of reason dilakukan oleh warga yang tak langsung terlibat politik, tetapi memiliki efek politis. Kampus harus bebas dari politisasi agar tetap menjangkau kepentingan semua pihak dan tidak tersandera oleh kepentingan segelintir orang. Bicara tentang ”peran politis” perguruan tinggi, yang kita maksudkan tak lain daripada ikut menjaga fairness dan integritas proses demokratis. Dalam arti ini imparsialitas perguruan tinggi terdapat dalam pemihakannya pada kebenaran.
Tiga tantangan
Menyongsong Pemilu 2014 ada sekurangnya tiga tantangan yang dihadapi perguruan tinggi dalam melaksanakan peran khasnya sebagai otoritas intelektual. Tantangan pertama terkait dengan pasar. Globalisasi yang disertai ekspansi pasar telah ikut mendorong proses komersialisasi pendidikan. Jika tidak hati-hati, perguruan tinggi dapat kehilangan otonominya dan mengikuti dikte kepentingan pemodalnya. Politik uang dapat terjadi dalam bentuk transaksi gelap kekuasaan antara politikus dan pengusaha yang berbisnis pendidikan. Antisipasi harus dilakukan mengingat di era reformasi ini banyak akademisi kampus menjadi politikus, sehingga jika tidak hati-hati, kampus kehilangan imparsialitasnya. Terjun ke politik adalah hak konstitusional para insan kampus, tetapi pemakaian hak itu menjadi berlebihan jika kampus dijadikan basis massa partai tertentu. Tim-tim sukses dapat mengoyak kampus dalam pusaran kepentingan uang dan kuasa.
Jika di satu kutub kita temukan politisasi kampus, ada juga bahaya dari kutub lawannya, yaitu depolitisasi kampus sebagai akibat merebaknya kultur konsumerisme. Iklim komersialisasi telah membuat banyak kampus kita lebih melayani pasar daripada melakukan inovasi-inovasi kreatif untuk demokrasi. Difrustrasikan oleh fakta bahwa koruptor-koruptor besar juga ada di lingkungan kampus, apatisme terhadap pemilu menjadi respons wajar. Namun, jika jumlah ”golput” meningkat di kalangan kampus, bukanlah solusi yang didapat, melainkan problem baru bahwa perguruan tinggi ikut andil dalam membiarkan status quo negeri ini. Cacat dalam imparsialitas dibuat tak hanya dengan melayani kepentingan oligarkis bisnis-politis, tetapi juga mengubur kesadaran politis lewat gaya hidup konsumeris.
Tantangan kedua terkait dengan eksklusivisme agama. Sebuah universitas tentu boleh berbasis agama tertentu, tetapi sejauh tetap ingin menyadang namanya, universitas berkewajiban untuk membangun ”loyalitas konstitusi”. Civitas academica bukanlah anggota civitas Dei, bukan umat, melainkan warga res publica. Newman yang melihat pentingnya teologi dalam kurikulum universitas tetap mendesak agar para mahasiswa dipersiapkan untuk mengenali ”maksim-maksim dunia ini”. Artinya, kampus bukan biara, seminari, atau pesantren.
Namun, banyak perguruan tinggi kita gagap terhadap ”pemucatan identitas” akibat globalisasi. Mereka menguatkan identitas partikular dengan mencangkokkan eksklusivisme agama ke dalam visi mereka. Mereka lupa bahwa tugas mereka sebagai otoritas intelektual adalah rekonstruksi identitas bersama lewat ruang publik. Tetapi bagaimana mereka bisa menjadi pionir dalam proyek ”identity in the making” kalau dijadikan kantong massa bagi partai-partai berbasis agama? Kampus seharusnya merupakan ruang depolitisasi agama dan bukan sebaliknya.
Tantangan ketiga terkait dengan birokrasi pendidikan. Sistem perizinan, subsidi, hibah, dan tunjangan yang diberikan oleh birokrasi dimaksudkan untuk menguatkan fungsi akademis perguruan tinggi. Jika tidak hati-hati, kebijakan ini sekadar melatihkan kegigihan administratif dan kurang merangsang inovasi akademis. Tumbuh dalam kultur yang masih feodal, para insan kampus kita lebih gemar mencari status daripada berinovasi dalam riset, lebih pintar menganggarkan proyek-proyek daripada menghasilkan temuan ilmiah yang mencengangkan dunia.
Arogansi birokratis
Jika Newman dan para penulis Eropa lain mewaspadai arogansi intelektual, kita terlebih perlu mewaspadai arogansi birokratis. Kebanyakan orang kampus lebih bangga diri menjadi rektor, wakil rektor, atau dekan daripada menjadi peneliti atau expert. Dalam atmosfer seperti ini muncul loyalis-loyalis pejabat-pejabat tertentu yang dalam periode tertentu berasal dari partai-partai tertentu. Rezim berubah, kampus pun ganti warna. Contoh terkenal untuk sikap partisan atas birokrasi adalah filsuf Martin Heidegger yang waktu itu sebagai rektor di Freiburg memihak Nazi dan menjadi antisemitis terhadap koleganya sendiri, Karl Jaspers. Siapa dapat menjamin bahwa sikap partisan seperti itu tidak ada di kampus-kampus kita?
Mengingat martabatnya sebagai otoritas intelektual, sebuah perguruan tinggi yang tunduk pada kepentingan-kepentingan partikular, entah dari pasar, agama, atau birokrasi, kiranya lebih merugikan demokrasi daripada menguntungkannya. Kalkulasi strategis membuatnya oportunis, dan kata Newman, ”kalkulasi tak pernah membuat seorang pahlawan”. Publik mengharapkannya tetap memiliki suara profetis di tengah-tengah turbulensi politis.
F Budi Hardiman, Pengajar STF Driyarkara
Sumber: Kompas, 27 Desember 2013