Sikap proaktif pemerintah dalam menangani Covid-19 memang jadi kunci dalam menghentikan persebaran wabah. Upaya deteksi dini (memperbanyak jumlah tes) serta cara pembacaan yang akurat dan komprehensif penting dilakukan.
Sampai dengan April 2020, jumlah kasus positif korona di dunia telah menembus angka 1,7 juta dengan tingkat kematian sekitar 6,1 persen (data Johns Hopkins, 11 April 2020).
Laju penyebaran yang begitu masif dengan persentase kematian yang terus meningkat telah meresahkan banyak pihak. Upaya demi upaya untuk menemukan vaksin, pengobatan, hingga mengurangi penyebaran wabah korona perlu terus dilakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penemuan vaksin atau pengobatan terhadap virus korona adalah hal paling didambakan saat ini. Namun, bukan berarti itu mudah dilakukan. Dalam lintasan sejarah, penemuan obat dan vaksin sering kali membutuhkan proses riset dan waktu panjang.
Pada kasus HIV/AIDS, misalnya, pengobatan baru ditemukan satu dekade setelah kasus ini mewabah tahun 1980-an. Itu pun bukan berbentuk vaksin (meningkatkan kekebalan), melainkan pengurangan risiko dari vonis mati ke kondisi krisis. Hingga 2018 pun masih ditemukan 37,9 juta kasus positif HIV (data WHO, 2018).
Kasus serupa muncul pada penyakit malaria. Penyakit ini mulai mewabah pada abad pertengahan, tetapi baru pada 2016 WHO merekomendasikan jenis vaksin yang diyakini efektif (WHO, 2016). Berkaca dari kedua hal itu, upaya penanganan Covid-19 akan sulit jika hanya menunggu penemuan vaksin/obat. Perlu langkah strategis dan intervensi yang dapat mengurangi persebaran wabah secara signifikan dalam jangka pendek.
Kurva korona dan detail yang luput
Banyak negara merujuk pada apa yang dikenal sebagai ”kurva korona” dalam membaca dinamika perkembangan wabah. Kurva ini merupakan hasil kajian panjang yang dilakukan para ilmuwan terhadap pola persebaran wabah penyakit—yang kemudian dikontekskan pada kasus Covid-19. Kurva ini pada dasarnya menunjukkan prediksi jumlah kasus dalam lintasan waktu dengan pola gaussian yang menyerupai huruf ”n”.
Pola alami yang diprediksi pada kurva tersebut adalah jumlah kasus pasien positif korona akan meningkat tajam dan berada di luar kapasitas layanan kesehatan suatu negara. Hal ini tentu sangat mengerikan dan perlu dihindari.
Oleh karena itu, salah satu rekomendasi yang muncul adalah negara perlu mengambil langkah-langkah atau intervensi yang dapat menghentikan/mengurangi penyebaran, paling tidak sampai berada di bawah kendali kapasitas layanan kesehatan yang dimiliki negara tersebut. Manifesto dari rekomendasi ini bisa kita lihat pada berbagai kebijakan yang diambil negara-negara saat ini, mulai dari social distancing hingga lockdown.
Meski banyak negara melakukan kebijakan serupa, implikasi yang timbul bisa berbeda. Ada negara yang masih terus mengalami pelonjakan kasus dan ada pula negara yang beranjak stabil (pengurangan persebaran). Namun, ini tak bisa serta-merta diterjemahkan bahwa kebijakan di suatu negara lebih efektif daripada lainnya.
Terdapat banyak detail yang luput dari kurva itu dan perlu dibaca lebih dalam. Beberapa di antaranya kapan dan dalam kondisi apa kebijakan itu diberlakukan, persoalan ketertiban warga dalam mematuhi peraturan, densitas populasi, frekuensi pergerakan manusia, dan, yang terpenting, data mengenai jumlah tes yang dilakukan dan ruang lingkup tes.
Data mengenai jumlah tes sesungguhnya memiliki peran krusial dalam menjamin akurasi kurva korona. Yang sering terjadi, data ini dibaca secara terpisah dari jumlah peningkatan kasus. Padahal, korelasi keduanya sulit dilepaskan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Petugas medis mengambil darah dalam uji cepat Covid-19 di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Rabu (8/4/2020).
Sebagai ilustrasi, jumlah kasus korona pada negara A akan stabil (tak ada penambahan) apabila tak dilakukan tes pada hari itu. Begitu pula kebalikannya, jumlah kasus korona akan bertambah secara drastis apabila tes dilakukan secara massal pada satu hari.
Dalam konteks itu, interpretasi atas jumlah penambahan kasus (tanpa dibarengi data jumlah tes per hari/minggu) bisa jadi tak akurat dan memberikan ”pesan yang salah”. Misalnya, negara A percaya bahwa jumlah penyebaran kasus telah berkurang. Namun, ternyata, jumlah itu berkurang karena tes tak lagi/sedikit dilakukan dan bukan karena jumlah penyebaran berkurang secara riil.
Begitu pula, misalnya, dalam kasus negara B yang percaya negaranya masih ”aman” karena laju penyebaran hanya sekitar 100 kasus per hari, tak semasif negara C yang mencapai 800 kasus per hari. Padahal, negara B ”hanya” melakukan tes 150 per hari, sementara negara C sebanyak 1.000 tes per hari.
Kesalahan pembacaan ini tentu perlu diwaspadai oleh setiap pemerintah karena bisa berakibat fatal: mendorong langkah yang over-reacted (berlebihan) atau under-reacted (kurang waspada). Catatan ini juga penting bagi Pemerintah Indonesia, apalagi mengingat Indonesia baru melakukan tes sebanyak 19.500 atau sekitar 0,007 persen dari jumlah penduduk per 10 April 2020.
Jumlah dan persentase itu masih sangat rendah dibandingkan dengan Korea Selatan yang melakukan 510.479 tes atau setara dengan 1 persen dari jumlah penduduk, dan Italia 963.473 tes atau 1,6 persen dari jumlah penduduk, pada tanggal yang sama (data 11 April 2020, Ourworldindata.org). Data mengenai jumlah tes per hari/minggu penting untuk dicantumkan dan dianalisis bersama.
Hal lain yang juga jadi catatan dalam pembacaan kurva adalah ruang lingkup tes. Kebanyakan negara melakukan tes terhadap orang dalam pemantauan (ODP) saja atau orang yang telah memiliki gejala dan/atau pernah berinteraksi dengan pasien positif korona. Ini tidak salah, tetapi ada implikasinya terhadap cara pembacaan, yaitu grafik yang muncul pada kurva relatif hanya akan merepresentasikan ”kelompok” ODP dan bukan seluruh populasi warga yang ada di negara itu. Pembacaan semacam ini bisa dikatakan bersifat parsial.
Faktanya, penyebaran kasus korona justru semakin marak karena banyaknya kelompok manusia yang jadi pembawa virus, tetapi tak merasakan gejala apa pun. Kelompok ini bagian dari populasi, tetapi bukan menjadi bagian dari ODP atau kelompok yang menjalani tes. Dengan ”hilangnya” data ini dari kurva, pemerintah akan sulit membaca dinamika dan pola perkembangan wabah secara riil dan komprehensif.
Sikap proaktif
Berkaca dari pembahasan sebelumnya, kiranya penting bagi pemerintah bersikap proaktif dalam melakukan tes terhadap semua warga (tak hanya ODP), transparan terhadap jumlah tes yang dilakukan per hari/minggu, serta menganalisis data tes bersama-sama dengan jumlah dan laju pertambahan kasus korona. Perlu diakui, urgensi sikap proaktif pemerintah memang baru banyak disadari para pemangku kepentingan. Sebagai contoh, Pemerintah China baru mulai meluaskan ruang lingkup tes (tak hanya ODP) April lalu.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo (tengah) saat menyampaikan keterangan pers terkait pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Kantor BNPB, Jakarta, Sabtu (14/3/2020).
Selain memberikan pembacaan yang akurat dan komprehensif terhadap perkembangan wabah, sikap proaktif pemerintah dalam melakukan tes sesungguhnya juga dapat meminimalkan tingkat kematian. Hal ini bisa terjadi karena semakin cepat seseorang yang terkena virus ditangani secara profesional, risiko kematiannya akan semakin kecil.
Jerman salah satu negara yang bisa dijadikan contoh dalam konteks ini. Meski kasus positif korona di Jerman masuk lima tertinggi di dunia, mencapai 125.452 pada 11 April, jumlah kasus kematian di Jerman sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Perbandingannya: Jerman di sekitar angka 2,2 persen; AS 3,8 persen; China 4 persen; Indonesia 8,5 persen; Spanyol 10 persen; Italia 12,7 persen. Jerman melakukan tes secara konstan terhadap semua warga (baik dengan gejala maupun tanpa gejala) sebanyak 350.000 tes per minggu (New York Times, 4/4/2020).
Pada akhirnya, sikap proaktif pemerintah dalam menangani Covid-19 memang jadi kunci dalam menghentikan persebaran wabah. Oleh karena itu, upaya deteksi dini (memperbanyak jumlah tes) serta cara pembacaan yang akurat dan komprehensif penting dilakukan agar kebijakan yang ditempuh tepat sasaran dan terukur.
(Richard Mengko, Purnabakti Dosen Teknik Biomedika ITB)
Sumber: Kompas, 15 April 2020