Gede Bayu Suparta, 30 Tahun Mengembangkan Radiografi Digital

- Editor

Jumat, 17 Januari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Riset selama 30 tahun untuk mengembangkan radiografi digital buatan Indonesia akhirnya berbuah manis. Awal November lalu, Gede Bayu Suparta (54) dan tim akhirnya meluncurkan Madeena, alat deteksi radiografi digital sinar X fluorensens (RDSF) di Yogyakarta.

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Gede Bayu Suparta, dosen dan peneliti radiografi digital dari UGM.

Madeena singkatan dari “made in Indonesia”. Nama ini diberikan untuk menegaskan bahwa alat radiografi digital untuk deteksi kesehatan ini benar-benar produk dalam negeri. Selama ini, menurut Gede Bayu Suparta yang biasa disapa Bayu, alat radiografi digital yang ada di Indonesia umumnya barang impor dan harganya mahal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Kami dan tim bisa membuktikan bahwa bangsa ini bisa menghasilkan produk serupa,” ujar Bayu, dosen Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, Senin (30/12/2019).

Bayu bersama tim peneliti Laboratorium Fisika Citra memulai riset radiografi digital sejak 1989. Sebagai ilmuwan, Bayu merasa terpanggil mengantisipasi kebutuhan radiografi digital di Indonesia di masa depan. Saat riset dimulai, teknologi digital masih jauh dari bayangan masyarakat.

Kini, lanjut Bayu, teknologi digital sudah sangat berkembang. Ia dan timnya bisa memanfaatkan teknologi digital untuk bidang kesehatan. “Riset panjang yang saya lakukan hampir 30 tahun mampu menyiapkan teknologi radiografi digital untuk Indonesia,” ujar Bayu di Laboratorium Fisika atau sering dijuluki Lab Pak Bayu di Departemen Fisika, UGM.

Apa sih pentingnya RDSF? Bayu menjelaskan, RDSF bisa menggantikan alat radiografi yang masih memakai film. RDSF ini memiliki banyak keunggulan antara lain kinerjanya lebih cepat. Dalam 15-30 menit alat sudah memberikan hasil diagnostik. Selain itu, dosis radiasinya rendah (<1 mGy), operasionalisasinya semudah orang memotret, alatnya tidak menyeramkan, dan tidak bergantung pada keberadaan tenaga medis. RSDF juga dilengkapi kecerdasan buatan dan kemampuan mengolah data.

Lebih jauh, lanjut Bayu, alat itu bisa diintegrasikan dengan sistem teleradiologi yang juga ia kembangkan. Dengan teleradiologi, integrasi data pasien menjadi mudah dilakukan. Pasien tidak lagi dibatasi oleh rumah sakit atau puskesmas. Mereka bisa memeriksakan diri di mana saja sepanjang alat RDSF Madeena tersedia.

Bayu menegaskan, lewat Madeena, ia ingin membangun paradigma baru bahwa alat diagnosa radiologi bukan cuma untuk melihat penyakit pasien, tetapi juga untuk melihat kesehatan organ-organ tubuh rakyat Indonesia. Lewat alat RDSF yang dikombinasikan dengan sistem teleradiologi, memungkinkan dokumentasi data status kesehatan seluruh rakyat Indonesia dengan masa retensi minimal 10 tahun.

Digaet industri
Bayu tertarik melakukan riset di bidang ini ketika ia menggeluti bidang fisika dan mendalami soal CT scan hingga kuliah program doktor di Australia. Dia banyak bersentuhan dengan teknologi informasi, termasuk coding dan aneka perangkat lunak. Dari situ, ia berpikir bahwa teknologi digital pasti akan merambah Indonesia termasuk di bidang teknologi kesehatan.

DOKUMENTASI PT MADEENA–Bayu Gede Suparta (kedua dari kiri) bersama Rektor UGM dan rekan dunia usaha yang mendukung hadirnya Madeena, radiografi digital sinar x made in Indonesia yang digagas Bayu.

“Buat saya teknologi itu sifatnya terbuka dan bisa dipelajari. Kita bisa membuatnya sesuai dengan kebutuhan bangsa. Radiografi digital sinar X seharusnya sudah menggantikan radiografi kovensional yang masih pakai film di banyak rumah sakit di Indonesia,” ujarnya.

Dari risetnya selama 30-an tahun, Bayu memperoleh beberapa paten seperti sistem pencuplikan data pencitraan tomografi komputer, sistem teleradiologi untuk aplikasi layanan diagnostik kesehatan, hingga paten untuk RDSF Madeena.

Ia bersyukur RDSF Madeena dilirik industri dan diproduksi. Hal itu terjadi ketika dia bertemu dengan I Made Surawan yang punya minat sama untuk memajukan dunia kesehatan Indonesia.

Setelah RDSF diproduksi industri, Bayu kini berharap hasil riset lainnya yakni teleradiologi juga bisa diterapkan untuk bidang kesehatan. Ia memimpikan alat RDSF ini bisa tersedia di sekitar 3.000 rumah sakit dan klinik serta sekitar 9.000 Puskesmas yang tersebar di 34 provinsi untuk melayani pemeriksaan status kesehaatan rakyat Indonesia.

Namun, ia sadar perjalanan untuk menghadirkan RDSF Madeena dan teleradiologi di ribuan rumah sakit dan Puskesmas perlu waktu. Untuk menerapkan RDSF, ia masih terbentur perizinan. Bayu pun merelakan dirinya sebagai “kelinci percobaan”. Ia ingin membuktikan radiasi dari RDSF rancangannya aman.

Pada pengujung 2019, Bayu semringah melihat hasil uji coba RDSF buatannya di RSU Tabanan yang sejak 2016 jadi mitra Bayu dan tim. Pada Januari 2020, RDSF Madeena ia kirimkan ke RS PKU Muhammadiyah untuk uji coba. Jika dua unit sudah terpasang, kinerja teleradiologi bisa diuji.

Madeena membangun teknologi diagnostik dengan penggunaan dosis radiasi sinar-x yg sangat rendah, 1/100 dari rata-rata nasional. Dosisnya di bawah standar maksimum 0.15 mGy yang dianut Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang.

Gerabah
Sebelum mengembangkan radiografi digital untuk kesehatan, Bayu sudah memakainya antara lain untuk mengontrol kualitas produk hasil kerajinan pengrajin gerabah. Alat ini dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas produk kerajinan gerabah di Kasongan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, radigrafi digital juga ia terapkan untuk industri otomotif, perminyakan, hingga perkapalan.

Menurut Bayu, kinerja teknologi RDSF setara dengan teknologi Direct Digital Radiography (DDR) yang menggunakan flat detektor atau disebut juga Radiografi Flat Detektor (RFD). Fasilitas DDR atau FDR sangat diidamkan oleh semua rumah sakit di Indonesia. Ia berharap hasil risetnya tidak hanya masuk sebagai artikel di jurnal ilmiah, tapi benar-benar dimanfaatkan untuk kesehatan masyarakat Indonesia.

DOKUMENTASI PRIBADI–Teknologi radiografi digital sinar x hasil penelitian sekitar 30 tahun oleh dosen UGM Gede Bayu Suparta.

Karena bertahun-tahun asyik meneluni riset radiografi digital, Bayu nyaris tidak peduli dengan urusan menggelar gelar profesor alias guru besar. Kini, setelah piranti RDSF berhasil ia kembangkan, ia mulai digoda rekan-rekannya untuk serius mengurusi semua syarat meraih profesor. Ia menanggapi dengan santai saja.

“Saya merasa jadi ilmuwan itu baru berguna kalau sudah bisa menghasilkan produk yang bisa dimanfaatkan masyarakat. Kalau ini sudah terwujud, saya mungkin merasa layak untuk bisa jadi profesor. Ini pun sudah didorong teman-teman,” tuturnya.

Gede Bayu Suparta

Lahir: Singaraja, 24 Agustus 1965

Pendidikan:
S1 Fisika, FMIPA, UGM (1984-1989)
S2 Fisika, UGM (1991-1993)
S3 Fisika di Monash University, Australia (1995-1999)

Penghargaan:
1. Alat Radiografi Diagnostik Medis Berkinerja Tinggi, Dosis Radiasi Rendah, dan Aman (buku: 111 Indonesia Innovation 2019)
2. Penghargaan Inovator Teknologi: Perangkat Radiografi Digital dari Menristekdikti (2015)
3. Inovasi Indonesia Paling Prosfektif (buku: 103 Indonesian Innovation 2013) dari BIC/KNRT (2011)
4. Dosen Berprestasi UGM dari Rektor UGM (2013)

Hak Kekayaan Intelektual

  • Sistem Pencuplikan Data Pencitraan Tomografi Komputer dan Metodenya (2005)
  • Perangkat Kendali Sistem Radiografi Digital dan Metode Pemakaiannya (2003)
  • Wadah Spesimen Uji Karakteristik Bahan Pada Alat Tomografi Komputer dan Metode Pemakaiannya (2007)
    Madeena (2011)
  • Perangkat Panel Penampil Informasi Berbasis Komputer untuk Alat Kesehatan (2012)
  • Perangkat Radiografi Sinar X yang Terpadu dengan Meja Radiografi (2016)
  • Sistem Teleradiologi untuk Aplikasi Layanan Diagnostik Kesehatan (2016)
  • Sungkup Radiasi Kedap Cahaya dan Cara Pemakainanya Pada Alat Radiografi Sinar-X Digital (2016)
  • Sistem Radiografi Sinar X Digital Untuk Inspeksi Produk Industri Kerajinan (2016)
  • Sistem Radiografi Sinar X Digital untuk Inspeksi Kerang Mutiara (2016)

Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Sumber: Kompas, 17 Januari 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 17 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB