Mantap Mundur dari IPB untuk Cetak Anak Kupu-Kupu
Berawal dari kegelisahan mencari sekolah buat sang putra, Sri Soelaksmi Damayanti, putri tunggal mantan Mendikbud Daoed Joesoef, memilih berhenti jadi dosen di IPB. Doktor di bidang ilmu mikrobiologi itu ingin anaknya tak sekadar membaca teori dari buku.
RIDLWAN HABIB, Jakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
SEKOLAH dasar (SD) itu diberi nama Kupu-Kupu bukan karena jendela-jendela ruang kelas yang didesain mirip sayap serangga yang disukai anak-anak tersebut. Bukan juga karena banyak kupu-kupu liar beterbangan di antara aneka tanaman bunga di taman sekolah di Jalan Bangka, Jakarta Selatan, itu.
”Filosofinya sederhana. Suatu saat anak akan mandiri, menjalani hidup selanjutnya dan tidak bisa selamanya jadi kepompong,” ujar Sri Soelaksmi Damayanti, sang kepala sekolah, putri semata wayang Daoed Joesoef, saat ditemui Jawa Pos, Kamis (11/09).
Saat dikunjungi Jawa Pos pagi itu, sebagian siswa sekolah yang didirikan sejak 2004 tersebut sedang berolahraga di luar kelas. Mereka asyik bermain trampolin dan lempar bola basket di halaman. Sesekali guru mereka meniup peluit dan anak-anak itu berlomba adu cepat. ”Asyik, asyik, kita mau dipotret,” ujar anak-anak saat melihat kamera.
Menurut Yanti, panggilan akrab Sri Soelaksmi Damayanti, para siswa tak hanya berasal dari kawasan Kemang, Jakarta Selatan, tempat sekolah berada. ”Ada yang dari Cibubur (Jakarta Timur), Pantai Indah Kapuk (Jakarta Utara), dan Bintaro (Tangerang),” jelasnya.
Sebagian besar siswa SD yang lokasinya menyatu dengan rumah Daoed Joesoef itu adalah alumnus Taman Kanak-Kanak (TK) Kepompong. TK tersebut juga terletak di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. ”Kami berbeda yayasan, tapi bekerja sama. Anak saya, Garin, jadi murid TK itu,” katanya.
SD tersebut memang lahir dari kegelisahan orang tua siswa yang anaknya bersekolah di TK Kepompong. Di TK itu, sejak dini anak-anak sudah diajari konsep active learning. Belajar tak hanya diceramahi guru di depan kelas, tapi melakukan langsung dengan tangan sendiri.
”Jadi, kalau mereka belajar tentang binatang, tak bisa cuma lihat di buku. Harus ada binatang di depan mereka. Kalau belajar tentang akar tanaman, ya cabut tanamannya. Lihat langsung bentuknya, serabut atau tunggang,” ujar wanita kelahiran 1963 itu.
Metode tersebut sreg dengan jiwa Yanti yang sejak kecil mencicipi metode belajar di Prancis saat ikut orang tua kuliah di Sorbonne University.
Bagi ibu dua anak tersebut, belajar harus benar-benar hand on (praktik). ”Jangan hanya membaca teori di buku, bahkan gambarnya pun tidak ada,” katanya.
Teman-temannya di TK Kepompong juga merasa sayang jika kebiasaan anaknya yang sudah baik tidak dilanjutkan di SD yang menerapkan model pembelajaran serupa.
Karena tidak mungkin di SD negeri, alternatifnya, menyekolahkan Garin -anak kedua Yanti- di SD Internasional. ”Tapi, kami ingin sekolah yang berbahasa Indonesia. Keluarga Bapak (Daoed Joesoef) itu nasionalis,” katanya lalu tersenyum.
Pilihan lain adalah menyekolahkan di SD yang dikelola oleh yayasan berbasis agama. Tapi, kata Yanti, orientasi pendidikan anak itu bukan agama. Bukan karena tidak penting, tapi karena Indonesia heterogen. Ada banyak agama, suku bangsa.
”Saya takut, jika hanya bergaul dengan orang yang sama, mereka jadi berpikir sempit. Cupet, bahkan khawatir jika nanti anak menilai orang di luar golongannya salah,” kata Yanti yang suka bercelana jins saat mengajar anak-anak itu.
Yanti pernah mencoba bertemu pengelola sekolah Labschool di Rawamangun, Jakarta Timur, tempat puri sulungnya, Natasha, menempuh SMA. Labschool juga menerapkan metode pendidikan active learning. Tapi, sayang untuk SD belum ada. ”Akhirnya teman-teman bilang, kenapa saya nggak mendirikan sendiri? Lahan ada, Bapak (Daoed Joesoef) juga mendukung,” katanya.
Keluarga itu lalu mendirikan Yayasan Budaya Cerdas sebagai induk SD Kupu-Kupu. Daoed Joesoef duduk sebagai pembina. Suaminya, Bambang Pharma Setiawan, menjadi sukarelawan tetap. ”Jadi, ini memang seperti family enterprise,” kata Yanti lalu tersenyum kepada Bambang yang pagi itu menemani dirinya.
Sebelumnya, Yanti memang sempat berpikir untuk pensiun dini sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB). ”Saya pikir, kalau mengajar di Darmaga (kompleks IPB), waktu empat jam habis di jalan. Jadi, ini kebetulan yang membahagiakan,” ungkapnya.
Pada 2004, Yanti memutuskan mengundurkan diri secara baik-baik kepada pimpinan fakultasnya. ”Kebetulan, dekannya teman baik saya. Beliau memahami. Teman-teman sesama dosen juga bisa menerima dengan baik. Tidak ada masalah,” jelasnya.
Meski sudah tak jadi dosen, Yanti mengaku masih aktif mengikuti perkembangan ilmu mikrobiologi yang dikuasainya. ”Awalnya saya ingin jadi dokter hewan. Tapi, setelah praktik di klinik, kok rasanya ngeri. Jadi, saya mendalami ilmu asal-muasal penyakit. Kalau mau memeriksakan hewan sih bisa, tapi tak dijamin sembuh,” ujarnya lantas tertawa.
Yanti menempuh S-1 di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Setelah lulus, dia menjadi asisten dosen. Karena berprestasi baik, dia menempuh studi master sampai doktoral (lulus 1997) di University of Kentucky, AS. Di Negeri Paman Sam itulah dia bertemu Bambang dan menikah. Putri sulung mereka juga lahir di AS. Suaminya sekarang masih mengajar sebagai dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB).
SD Kupu-Kupu mulai dibuka untuk tahun ajaran 2005-2006. Tentu, angkatan Garin adalah angkatan tertua, sekarang dia baru kelas IV. Di kelas angkatan pertama ada 15 siswa. ”Idealnya satu kelas itu 24 siswa. Itu standar UNESCO agar mudah dibagi jika perlu belajar berkelompok. Bisa dibagi dua, tiga, empat, enam, atau 12,” jelasnya.
Sekarang total ada 82 anak yang belajar di SD itu. Rinciannya, kelas empat 15 siswa, kelas tiga (23), kelas dua (25), dan kelas satu (19). ”Kebetulan, yang sekarang kelas dua itu pindahan dari sekolah yang bubar. Kasihan mereka kalau tidak punya tempat belajar,” katanya.
Kurikulum SD Kupu-Kupu tetap mengacu pada kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Mereka belajar lima hari dalam sepekan. Mulai pukul 7.45 sampai pukul 13.30. ”Khusus untuk kelas empat ada tambahan 15 menit untuk mengecek agenda harian. Itu saya biasakan agar mereka mandiri dan bertanggung jawab atas apa yang harus dilakukan esoknya,” ujarnya.
Menurut Yanti, anak-anak Indonesia tak dibiasakan dengan sistem pencatatan agenda. Akibatnya, perintah guru hanya diingat-ingat dalam otak. Ujung-ujungnya lupa dan menyepelekan tugas. ”Saya pernah mengeluarkan setengah kelas mahasiswa saya karena mereka lupa membawa tugas yang saya minta kumpulkan. Itu bukan salah mereka, tapi salah sistem. Mereka tak diajari sejak kecil,” tegasnya.
Berbeda dari SD lain, tak tampak orang tua yang menunggui anaknya sekolah. Bahkan, di gerbang masuk ada tulisan besar yang ditempel. Bunyinya, ”Batas bagi Pengantar dan Penjemput”. ”Mereka harus diajari mandiri sedini mungkin,” ungkapnya.
Pengajar SD itu juga tak sembarangan. Rata-rata lulusan S-1 fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Ada juga yang dari Sastra Inggris UI dan Arsitektur. ”Prinsipnya, mereka harus punya kompetensi mengajar sesuai mata pelajarannya,” jelasnya.
Daoed Joesoef menambahkan, jiwa pendidikan keluarganya memang nasionalisme. ”Itu yang harus dimulai sejak kecil,” katanya.
Meski Yanti pernah melewati masa kecil di Prancis dan lama berstudi di Amerika, jiwa ke-Indonesia-annya selalu dijaga benar.
Daoed prihatin atas banyaknya sekolah internasional yang mata pelajarannya seluruhnya diberikan dalam bahasa asing. ”Itu aneh bagi saya. Kalau anak Indonesia yang sedang di Singapura, it’s ok. Tapi, ini di negeri kita sendiri. Terus nanti sejarah nasional diajarkan siapa? Apa lagu Indonesia Raya juga mau dinyanyikan dengan bahasa Inggris?” ujarnya.(el)
Sumber: Jawa Pos, 13 September 2008