”Tanpa publikasi, penelitian menjadi tiada; tanpa integritas, dunia akademik menjadi hampa.”
(International Conference Academic Integrity, New Orleans, 2019)
Persyaratan publikasi dalam berbagai aturan yang diterbitkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi sangat beragam, khususnya syarat publikasi bagi dosen dengan jabatan lektor kepala dan guru besar. Mereka harus melakukan publikasi di jurnal terindeks internasional Scopus atau Web of Science (orang lebih mengenal dengan ISI-Thomson).
Mengapa tidak Google Scholar, DOAJ, dan lainnya? Inti dari adanya pengindeks adalah memudahkan akses publikasi dalam satu pintu. Mengapa harus Scopus atau Web of Science yang mendapat kedudukan tertinggi, sementara mereka milik asing dan jika ingin akses harus membayar?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Publikasi yang akan diindeks oleh setiap pengindeks memiliki persyaratan berbeda. Begitu juga dengan Scopus dan Web of Science. Kedua pengindeks ini, dibandingkan pengindeks lainnya, memiliki persyaratan sangat ketat, antara lain penulis harus dari beragam negara.
Baik editor maupun mitra bestari harus memiliki rekam jejak publikasi yang baik dan yang terpenting publikasi yang terbit dinilai dulu dampaknya dari segi seberapa banyak jurnal itu dikutip di publikasi internasional. Begitu ketatnya persyaratan itu, sampai saat ini baru sebanyak 47 jurnal di Indonesia yang terindeks di Scopus dan belum satu pun yang terindeks di Web of Science.
Kelebihan kedua pengindeks itu adalah memiliki alat ukur yang dapat membandingkan serta melakukan pemeringkatan penulis, institusi, dan negara berdasarkan publikasi dan dampaknya. Jadi, tidak salah jika pengindeks ini menjadi alat ukur pemeringkatan ilmiah dari lembaga riset dan perguruan tinggi di dunia, seperti QS World Class University dan The World Class University.
Tren publikasi di Indonesia saat ini terus meningkat, khususnya yang terindeks di Scopus, bahkan pada Februari 2019 sudah lebih dari 31.000 publikasi, menempatkan Indonesia di urutan kedua di ASEAN. Namun, baru 400 perguruan tinggi (PT) dan lembaga litbang yang punya publikasi terindeks di Scopus. Padahal, kita punya lebih dari 4.000 PT dan ratusan lembaga penelitian pemerintah dan swasta.
Pendataan dan pengukuran
Sampai dengan akhir 2016, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sering kesulitan ketika ditanya berapa banyak jumlah publikasi yang dihasilkan dosen, peneliti, dan mahasiswa di seluruh Indonesia. Yang termudah, menelusuri publikasi yang dihasilkan orang di Indonesia di Scopus ataupun Web of Science.
Namun, yang masuk ke pengindeks itu hanya beberapa persen dari hampir 300.000 dosen, lebih dari 10.000 peneliti, dan 5 juta lebih mahasiswa.
Untuk memberikan alternatif cara pengukuran karya dosen dan peneliti serta pegiat iptek lain, pada 30 Januari 2017 Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan berbagai keterbatasan meluncurkan Science and Technology Index (Sinta).
Sinta diluncurkan sebagai portal yang mengumpulkan publikasi dan karya ilmiah lain yang dihasilkan akademisi dan peneliti di seluruh Indonesia, baik yang terindeks Scopus maupun nasional dan lokal sehingga dapat dipetakan, dianalisis, serta dilakukan pemeringkatan penulis di institusi ataupun nasional, institusi, dan jurnalnya.
Untuk memudahkan pengumpulan data publikasi dan sitasi, dosen dan peneliti yang akan mendaftarkan ke Sinta sekurang-kurangnya harus memiliki akun Google Scholar dan ID Scopus bagi yang telah memiliki publikasi internasional terindeks Scopus.
Google Scholar digunakan karena saat ini hampir semua dosen dan peneliti telah familiar dengan Google dan Google Scholar memiliki sistem yang tidak hanya mendata publikasi, tetapi juga menghitung sitasi yang dihasilkan secara waktu nyata (real time). Kelemahan Google Scholar adalah data yang dideklarasi oleh penulis belum tentu semua benar, terutama jika ada nama yang sama.
Jadi, di sini dituntut kejujuran penulis dan peran verifikator yang ada di sistem Sinta untuk memeriksa apakah publikasi yang dideklarasikan benar atau tidak. Scopus digunakan sebagai data pendeteksi publikasi internasional yang bermutu.
Skor Sinta dibuat sebagai dasar pemeringkatan penulis, institusi, dan jurnal dengan memperhitungkan jumlah publikasi internasional, publikasi nasional, beserta dampaknya seperti sitasi. Jumlah dosen dan peneliti yang mendaftar di portal Sinta sampai dengan 12 Maret 2018 sebanyak 157.995 dari 4.595 institusi, sementara jurnal yang terakreditasi sebanyak 2.279 yang diberi kategori Sinta 1 sampai dengan Sinta 6.
Kategori itu dibuat guna mengatasi kebutuhan jurnal terakreditasi nasional sebagai syarat mempertahankan jenjang jabatan lektor kepala dan kelulusan mahasiswa magister, yang jumlahnya diestimasi lebih dari 8.000 jurnal.
Peluang dan tantangan
Saat ini lebih dari 4.000 PT, ratusan lembaga litbang pemerintah ataupun swasta, dan 5 juta mahasiswa memiliki potensi publikasi ilmiah. Perkembangan terbitan ilmiah terus meningkat; saat ini lebih dari 57.000 yang terdaftar mengajukan International Standard Serial Number (ISSN). Namun, yang terakreditasi nasional kurang dari 3.000 jurnal dan yang bereputasi internasional terindeks Scopus baru 47 jurnal.
Masalah terberat saat ini bagaimana mengedukasi penulis baik dosen, mahasiswa, maupun peneliti untuk menghasilkan naskah yang baik serta pengelola jurnal untuk dapat mengelola secara profesional, efektif, dan efisien sesuai persyaratan akreditasi nasional ataupun lembaga pengindeks bereputasi internasional.
Luaran penelitian bukan saja publikasi beserta dampaknya melalui sitasi, melainkan ada juga buku, paten, karya seni, prototipe, pengabdian masyarakat yang perlu diperhitungkan sehingga rumus Sinta dan konten terus berkembang, termasuk publikasi ilmiah dari Web of Science yang harus masuk ke Sinta sebagai penyeimbang Scopus.
Sinta saat ini bagaikan bayi yang baru lahir mencari arah dan bentuk sehingga dapat dijadikan acuan baik nasional maupun internasional untuk kenaikan pangkat, kelulusan, dan pemberian penghargaan.
Partisipasi publik untuk mengawal tumbuh kembangnya Sinta, terutama data publikasi yang dibuat, sangat penting guna mengawasi penulis yang memasukkan data publikasi yang tidak sesuai, sengaja ataupun tidak sengaja, agar validasi data Sinta dapat terjaga dan menjadi kebanggaan ketika ada publikasi yang terdata di portal Sinta.
Pemberian hibah penelitian dan beasiswa bagi dosen saat ini mempersyaratkan sudah terdaftar di Sinta, bahkan yang memiliki rekam jejak publikasi dan sitasi tinggi dapat mengikuti beberapa skema hibah penelitian sebagai anggota.
Untuk memberikan apresiasi kepada penulis, institusi, dan pengelola jurnal, Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi memberikan Sinta Award yang diikuti sejumlah PT di Indonesia.
Sangat disayangkan ada beberapa oknum dosen yang terindikasi melakukan kecurangan demi mendapatkan prestasi sesaat di Sinta dengan melakukan ”mafia publikasi” dan ”kartel sitasi”, secara berkelompok saling melakukan kolaborasi kepengarangan dan menyitasi tanpa melakukan kerja sama penelitian dan publikasi sehingga tanpa melakukan penelitian seseorang di kelompok itu memiliki lebih dari 10, bahkan 100 publikasi setahun.
Atas fenomena ini, Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah melakukan investigasi dan memberikan sanksi. Ada yang diberhentikan, diturunkan jabatan, ditunda pendanaan penelitian dan beasiswa selama beberapa tahun, termasuk menghilangkan sementara namanya di Sinta.
Hasil investigasi tak hanya berhenti di situ. Saat ini banyak ”calo akademik” baik secara daring maupun mendirikan kios-kios di sekitar kampus, menawarkan publikasi di jurnal bereputasi tanpa disadari oleh korban masuk ke jurnal ”predator” atau ”abal-abal” yang menawarkan publikasi cepat tanpa proses penilaian ”rekan sejawat”.
Selain itu, jasa membuat skripsi, tesis, dan disertasi bagi mahasiswa yang malas dan ingin jalur pintas tanpa bersusah payah melakukan penelitian dan menuliskan hasilnya.
Pelanggaran integritas
Kasus pelanggaran integritas akademik tak hanya terjadi di Indonesia. Pada 8-10 Maret 2019 diselenggarakan Konferensi Internasional Integritas Akademik oleh International Center of Academic Integrity, dihadiri oleh sebanyak 245 peserta dari 60 negara.
Setiap negara menyampaikan kasus dan penanganan pelanggaran integritas akademik sehingga peserta dapat saling belajar terkait dengan kasus dan penanganan.
Peserta yang hadir menyepakati semangat untuk membangun prinsip integritas akademik yang terdiri dari kejujuran, kepercayaan, keadilan/kesetaraan, kehormatan/penghargaan, tanggung jawab, dan keberanian.
Indonesia termasuk salah satu negara yang akan menjunjung integritas akademik dengan mengeluarkan peraturan Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta pedoman terkait integritas akademik mulai dari kasus, penanganan, hingga komisi yang akan menangani integritas akademik.
Yang paling penting adalah bukan menghukum pelanggar kasus, melainkan mencegah dan membina secara dini, dimulai dari awal mahasiswa masuk kuliah, bukan setelah menjadi dosen yang melanggar karena ketidaktahuan ataupun karena kesengajaan.
Lukman Kepala Subdirektorat Fasilitasi Jurnal Ilmiah Kemristek dan Dikti
Sumber: Kompas, 25 Maret 2019