Meski latar belakang pendidikannya geologi, Gert van den Berg tidak ingin bekerja di bidang perminyakan. Dia memilih menghabiskan waktunya bergulat dengan fosil, bidang yang relatif tak banyak diminati orang. Van den Berg adalah paleontolog vertebrata Universitas Wollongong, Australia, yang bergulat dengan fosil di Indonesia sejak 1989.
Dulu, Van den Berg sempat berkeinginan menjadi dokter hewan. Namun, saat ia mendaftar di Universitas Utrecht, Belanda, nilainya tidak mencukupi. Dia lalu beralih haluan, memilih geologi, hingga mendapatkan ijazah S-2 dan S-3 pun di bidang paleontologi vertebrata dan geologi kelautan di Universitas Utrecht.
”Saya tidak tertarik bekerja di perminyakan. Saya ingin meneruskan kebiasaan saya sewaktu kecil sampai remaja, yakni bermain-main dengan tulang dan pasir. Untuk itulah saya mengambil spesialisasi sedimentologi, paleontologi vertebrata, dan geologi kelautan, sampai mendapat gelar doktor,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keterlibatan Van den Berg dengan Indonesia dimulai tahun 1989. Waktu itu dia diminta Pusat Penelitian Pengembangan Geologi (P3G) untuk mengadakan penelitian di Cekungan Wallanae, Sulawesi Utara. Dia meneliti fosil gajah purba jenis Stegodhon elephas berusia dua juta tahun dan fosil babi purba.
Pengalaman Van den Berg semakin teruji saat meneliti di Liangbua, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 1992. Bersama P3G, dia meneliti dua fosil gajah jenis Stegodhon sondaari berusia 900.000 tahun dan Stegodhon florensis berumur 700.000-880.000 tahun. Di lokasi itu juga ditemukan fosil gajah kerdil keturunan Stegodhon florensis.
”Gajah berjenis Elephas celebensis itu menjadi kerdil lantaran beradaptasi dengan lingkungan sekitar,” katanya.
Relatif utuh
Sejak 2007, Van den Berg juga kerap bekerja sama dengan Museum Geologi Bandung dan Arkeologi Nasional Jakarta. Dia kembali meneliti gajah di Flores. Setelah itu ia meneliti endapan Bengawan Solo purba di Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Kali ini dia meneliti fosil gajah purba jenis Elephas hysudrindicus. Fosil berupa kerangka relatif utuh itu ditemukan Tim Vertebrata Museum Geologi Bandung di Dukuh Sunggun, Desa Menden, Kecamatan Kradenan, April 2009.
Menurut dia, gajah purba itu mati terperosok di endapan Bengawan Solo purba pada 200.000-300.000 tahun silam. Bangkai gajah itu terkubur pasir, bebatuan, dan abu gunung berapi sehingga tersedimen dan membentuk batuan.
Temuan fosil gajah purba Elephas hysudrindicus bernilai tinggi karena mampu menjelaskan mata rantai kehidupan gajah purba di Indonesia. Temuan tersebut diklaim merupakan yang terlengkap selama 100 tahun terakhir dan fosilnya pun relatif utuh.
”Fosil-fosil gajah purba itu bisa menyumbang teori-teori dan fakta-fakta tentang kehidupan purba, sekaligus menjelaskan tentang migrasi gajah-gajah purba dari Asia hingga ke Indonesia,” katanya.
Singkatnya, kata Van den Berg, migrasi gajah purba bisa ditelusuri sejak zaman es. Pada masa itu banyak pulau menyatu karena perairan membeku. Salah satunya ketika Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera menyatu dengan Benua Asia yang kemudian disebut sebagai Paparan Sunda.
Hal ini menyebabkan makhluk hidup di Asia masuk ke Jawa dan Sumatera melalui jalur darat. Mereka masuk lewat daratan Indo China-Semenanjung Malaysia. Adapun gajah-gajah yang berada di Flores dan Sulawesi Utara diperkirakan berasal dari Filipina. Gajah-gajah itu pandai berenang karena mampu menembus isolasi antarpulau yang dipisahkan laut dan palung yang dalam.
Melalui temuan fosil itu pula potret atau gambaran lokasi temuan fosil itu dapat terbaca atau dikisahkan kembali. Misalnya di daerah endapan Sungai Bengawan Solo di Blora. Dahulu, kawasan itu berupa savana atau padang rumput yang dilalui sungai besar.
”Di daerah endapan Bengawan Solo purba itu banyak ditemukan fosil hewan khas savana, antara lain gajah, kerbau, dan banteng. Saya dan Tim Vertebrata Museum Geologi Bandung juga menemukan fosil daun dan biji,” katanya.
Fakta lapangan
Van den Berg merasa prihatin dengan penjualan fosil yang terjadi di daerah-daerah penghasil fosil di Indonesia. Penjualan itu kerap dilakukan warga penemu dengan para pemburu fosil dari luar kota, yang nantinya menjual fosil itu ke luar negeri.
”Sejumlah warga penemu fosil masih menganggap dan mengukur nilai fosil dari sisi ekonomis. Padahal, fosil merupakan salah satu materi konkret pendidikan sejarah lintas generasi,” katanya.
Untuk itu, dia berharap Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah bisa melindungi fosil-fosil itu agar tidak dibawa ke luar Indonesia. Pemerintah dapat menjadikan fosil atau lokasi temuan fosil sebagai laboratorium lapangan. Dengan demikian, para siswa, mahasiswa, dan peneliti tak sekadar belajar dari buku sejarah, tetapi juga dari fakta di lapangan.
Lahir di Rotterdam, Belanda, Van den Berg merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja di kantor perpajakan, sedangkan ibunya mengurus kebutuhan rumah tangga. Ketika Van den Berg berusia lima tahun, keluarganya pindah ke Voorburg, Den Haag. Di kota kecil itu dia menghabiskan masa kecil dan remajanya.
Tentang masa kecilnya, Van den Berg bercerita, bila menemukan bangkai hewan, dia cepat-cepat menguburkannya. Sekitar setahun kemudian, dia menggali kembali kubur hewan-hewan tersebut untuk mengambil tulang belulangnya.
Dia lalu berusaha merangkai kembali tulang belulang hewan itu menjadi kerangka yang utuh. Hasil upayanya itu kemudian menjadi penghias kamar tidurnya.
”Agar penampilan kerangka itu mempunyai nilai seni, saya suka mengecatnya dengan aneka warna,” katanya.
”Ibu saya suka marah melihat kamar saya berantakan dan penuh tulang belulang aneka macam hewan. Setelah saya menjadi ahli gajah purba, Ibu pernah berkomentar bahwa saya tidak pernah dewasa karena tetap suka bermain-main di tanah,” cerita Van den Berg sambil tertawa.
• Lahir: Rotterdam, Belanda, 7 Maret 1961
• Pendidikan: – Basis School – Huygens Lyceum – S-1 Geologi Universitas Utrecht, Belanda – S-2 Paleontologi Vertebrata Universitas Utrecht – S-3 Geologi Kelautan Universitas Utrecht
• Istri: Indah Noor Rahmawati
• Anak: Maros Arjuna
• Pekerjaan: Peneliti di Lembaga Penelitian Universitas Wollongong, Australia
• Penelitian: – Penelitian gajah purba di Wallanae, Sulawesi Utara – Penelitian Liangbua, Flores – Penelitian di endapan Sungai Bengawan Solo purba, Kabupaten Blora, Jawa Tengah – Penelitian geologi kelautan di Teluk Banten dan Kalimantan Timur
[Oleh HENDRIYO WIDI]
Sumber: Kompas, Senin, 19 April 2010 | 02:58 WIB