Beberapa bulan ini kita dikagetkan oleh beberapa semangat ”Indonesia Bisa”. Setelah selesai SEA Games Palembang, muncul mobil Esemka, lalu mobil listrik dan keinginan mencari solusi tentang persoalan sinyal kereta api buatan Indonesia.
Sengaja saya pakai istilah ”Indonesia Bisa” karena kata bisa menunjukkan sesuatu yang memang bisa membuat, meniru, dan lainnya. Namun, lebih lanjut belum bisa dibuktikan apakah produk tersebut bisa diproduksi massal, layak dipakai, bisa bersaing dengan produk yang ada, dan bisa selamat jika dipakai. Itulah saya katakan juga sebagai inovasi kagetan karena semangat mencari metode dan teknik baru sudah dimulai. Juga karena proses kemunculannya yang tiba-tiba bagai petir menyambar di awan.
Inovasi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Inovasi pada hakikatnya adalah suatu cara atau metode baru atau gabungan lama dan baru untuk menyelesaikan atau memberi alternatif baru dalam pembangunan ekonomi atau dan sosial. Makna dari inovasi adalah bagaimana mengelola sumber daya alam ataupun sumber daya manusia yang ada menjadi lebih bermanfaat.
Pengelolaan sumber daya inilah sebetulnya modal utama dari inovasi dan ini pulalah yang menjadi persaingan di antara negara di dunia. Ada negara dengan sumber daya alam terbatas, tetapi bisa mengelola sumber daya manusia dengan baik, seperti Jepang, Korea, dan beberapa negara Eropa. Juga banyak negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi belum/tidak bisa mengelolanya dengan baik sehingga sumber daya alamnya dijual begitu saja ke luar negeri.
Dengan sumber daya yang terbatas dan jumlah kebutuhan yang semakin tinggi, tak bisa dihindari adanya persaingan di antara negara-negara dengan kemampuan sumber daya tinggi untuk merebut pasar di negara dengan pasar yang potensial.
Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia, dengan kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang masih tinggi, tentu ingin mempercepat pertumbuhan ekonominya. Apakah bisa metode kagetan, yang contohnya dalam tiga bulan bisa bikin mobil, bisa bersaing? Bersaing dengan negara yang sudah maju, yang notabene punya peneliti puluhan ribu orang dan sarana-prasarana cukup baik?
Momentum semangat ”Indonesia Bisa” dan inovasi kagetan harus dikembangkan menjadi semangat yang lebih memungkinkan sehingga produk-produk itu tidak layu sebelum berkembang. Tidak hanya bisa membuat prototipe, tetapi juga bagaimana sampai produk itu mendekati spesifikasi dan harga yang ada di pasaran.
Momentum evaluasi diri
Inovasi tidak hanya konsentrasi pada pengembangan produk, tetapi juga pada cara memasarkan, cara keberpihakan terhadap produk nasional. Mungkinkah setiap pembelian menggunakan uang negara harus mencantumkan kandungan lokal secara lebih nyata?
Inovasi kagetan mungkin bisa dikaitkan dengan revolusi inovasi, sebagai inovasi generasi ke-4. Inovasi generasi pertama dimulai dengan invensi, penemuan riset dasar, dilanjutkan aplikasi, produksi, dan komersialisasi. Inovasi generasi ke-2 adalah kebalikan, dimulai dari kebutuhan pasar hingga penelitian dasar. Adapun inovasi generasi ke-3 antara kebutuhan pasar dan penyediaan riset dasar saling berkomunikasi agar terjadi rantai persediaan dan permintaan yang saling mengisi.
Inovasi mendekati paralel antara kebutuhan pasar, rantai persediaan, produksi, dan penelitian adalah inovasi generasi ke-4. Siapa yang punya inisiatif duluan: apakah menciptakan pasar, menerima kebutuhan, ataukah kerja sama dengan industri lain jadi model pengembangan inovasi.
Kembali ke kasus ”Indonesia Bisa”, seperti mobil Esemka dan mobil listrik, walau kagetan, mungkin semangatnya sudah mengikuti bagian dari perjalanan inovasi generasi ke-4. Namun, sudah siapkah ekosistem di Indonesia untuk meneruskan semangat itu? Itulah pertanyaan kita sehingga ada beberapa bagian masyarakat yang pesimistis dan menganggap ini sebagai pencitraan belaka. Namun, sebagian masyarakat juga mendukung agar semangat ini terus dikobarkan: agar ”bisa” terjadi.
Tentu momentum ini bisa dipakai juga sebagai evaluasi nasional tentang kesiapan sarana dan prasarana dalam mengembangkan inovasi di Indonesia. Pertanyaannya, cukupkah investasi pemerintah untuk mendukung inovasi nasional? Saat ini anggaran riset pemerintah masih di bawah 0,3 persen dari PDB Indonesia. Sementara negara-negara maju menganggarkan riset lebih dari 1 persen.
Pertanyaan lain, berapakah investasi perusahaan nasional Indonesia, BUMN, ataupun perusahaan multinasional di Indonesia? Berapa banyak yang lebih besar dari 1 persen dari pendapatan mereka.
Lalu, adakah sarana-prasarana yang mendukung kemajuan inovasi di Indonesia? Cukupkah peneliti dan sarananya di Indonesia untuk melakukan inovasi dengan daya saing tinggi? Dan, adakah regulasi kebijakan yang mendukung inovasi di Indonesia?
Suhono Harso Supangkat Guru Besar ITB, Ketua Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan ITB
Sumber: Kompas, 6 Juni 2012