Kesadaran untuk Deteksi Dini Masih Rendah
Generasi muda, terutama calon pasangan suami-istri, didorong memeriksa status talasemianya agar terhindar dari pernikahan sesama pembawa gen talasemia. Rendahnya upaya deteksi dini kelainan darah genetis tersebut menyebabkan muncul penderita baru setiap tahun.
Hal itu mengemuka dalam seminar “Kanker dan Hematologi” yang diprakarsai Kompas bekerja sama dengan Parkway Cancer Centre (PCC) Singapura, Sabtu (19/8), di Surabaya, Jawa Timur.
Talasemia adalah kelainan darah (sel darah merah) akibat faktor genetika atau keturunan.
Penyandang talasemia punya hemoglobin (Hb) di bawah normal, kurang dari 12,5. Itu menyebabkan penyandang talasemia terkena gangguan tumbuh kembang, yakni bertubuh kerdil dan kemampuan berpikir di bawah rata-rata.
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, I Dewa Gede Ugrasena, talasemia bisa dihindari dengan mencegah perkawinan sesama pembawa sifat talasemia. Orangtua pembawa gen talasemia berisiko punya anak penyandang talasemia 25 persen, berpotensi punya anak pembawa sifat talasemia 50 persen, dan memiliki potensi anak lahir normal 25 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ibu hamil
Jika ibu hamil didiagnosis membawa sifat dan menyandang talasemia, kehamilan bisa dihentikan. Contohnya, Pemerintah Hongkong menggagalkan kelahiran 18 bayi talasemia dari 135.000 ibu yang didiagnosis membawa sifat talasemia.
Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebut, prevalensi talasemia 1,5 persen. Aceh menjadi provinsi dengan prevalensi tertinggi, yakni 13,4 persen, sedangkan DKI Jakarta 12,3 persen (Kompas, 9 Mei 2017). Di Jawa Timur ada 125 kasus baru talasemia tiap tahun. Mereka umumnya datang saat ada gejala talasemia, yakni kulit pucat dan perut membesar.
Sejauh ini, generasi muda amat jarang memeriksakan sel darah untuk mengetahui status talasemianya. “Mahasiswa sulit memeriksakan status talasemia meski mendapat subsidi. Dari 1.000 mahasiswa, hanya lima mahasiswa yang mau periksa. Padahal, mereka hanya membayar Rp 150.000 dari biaya normal Rp 750.000 untuk periksa talasemia,” kata Ugrasena.
Penyandang talasemia harus rutin menjalani transfusi darah dan minum obat. Pengobatan bisa dilakukan dengan mengikat zat besi dan pengangkatan limfa. Terapi itu memperpanjang usia, tetapi tak menyembuhkan. “Ada terapi transplantasi sumsum tulang belakang dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi, tetapi di Indonesia belum ada rumah sakit bisa melakukannya,” ujarnya.
Dokter spesialis anak konsultan hematologi PCC Singapura, Anselm Lee, menambahkan, talasemia menghambat tumbuh kembang anak sehingga kesulitan belajar. Anak cepat lelah dan susah makan. “Anak mudah terkena infeksi,” ujarnya.
Sosialisasi hidup sehat
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan, Pemerintah Kota Surabaya proaktif menyosialisasikan perilaku hidup sehat kepada masyarakat, termasuk penyandang talasemia, agar usia harapan hidup mereka kian panjang. Setiap Sabtu atau Minggu, RT/RW wajib mengadakan senam agar remaja hingga orang lanjut usia bugar.
Setelah gencar menyosialisasikan perilaku hidup sehat, Dinas Kesehatan Surabaya mencatat penurunan jumlah pasien kanker di kota itu. Angka kasus kanker tahun 2016 mencapai 1.436 penderita, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2015, yakni 1.638 penderita. Harapannya, penurunan jumlah penderita juga terjadi pada penyakit lain.
(SYA/ADY)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Agustus 2017, di halaman 14 dengan judul “Cegah Talasemia dengan Periksa Status”.