Tambak udang menjadi mata pencaharian utama lebih dari 6 juta penduduk di wilayah pesisir Indonesia. Bahkan, udang menjadi salah satu komoditi ekspor terbesar bagi Indonesia dengan nilai lebih dari satu juta dollar Amerika di tahun 2010.
Akan tetapi pertambakan yang intensif membuat populasi udang rentan terkena penyakit. Salah satunya adalah virus Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) yang mampu membunuh hingga 70 persen populasi udang. Sayangnya informasi mengenai virus yang bisa menimbulkan penyakit pada udang ini masih sedikit.
“Masalah udang ini terasa sangat berat, namun ketika saya bekerja untuk rekonstruksi Aceh pasca tsunami pada tahun 2007, saya lihat belum ada satu pun orang Indonesia yang memiliki pengetahuan khusus mengenai udang yang bisa membantu mengatasi masalah ini,” kata Sidrotun Naim (33), seorang peneliti.
Sidrotun pantas khawatir. Pada tahun 2006 hingga 2010, jumlah kerugian akibat serangan virus IMNV ini mencapai US $150 – US $ 200 juta; jika memperhitungkan peningkatan produksi, virus ini membuat Indonesia rugi hingga US $ 500 juta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perempuan lulusan dari Sekolah Ilmu Teknologi & Hayati Institut Teknologi Bandung yang kini merampungkan program Doktor di Universitas Arizona itu kemudian mendalami studinya mengenai aquatic animal disease.
Melalui teknik biologi molekuler, Sidrotun meneliti struktur dan fungsi genetis virus IMNV, bagaimana virus itu menyerang daya tahan tubuh udang serta pola penyebarannya terkait faktor eksternal seperti suhu air. Untuk studinya ia berada di bawah didikan ahli patologi udang terkenal di dunia, Donald Lightner.
Lewat penelitiannya, Sidrotun berharap dapat melakukan riset skala lapangan di Aceh dan Malang dengan pengenalan polikultur udang dan ikan nila. Sistem polikultur ini diharapkan dapat meminimasi resiko penyakit udang, meniadakan penggunaan antibiotik, meminimasi biaya pakan, memperbaiki pertumbuhan udang dan ikan nila, menghasilkan produk makanan laut berkualitas, dan meningkatkan kesejahteraan petambak.
Kontribusinya yang nyata dalam dunia sains dan keberlangsungan produksi sumber daya alam ini mendapatkan apresiasi tinggi dari dunia internasional. Bersama dengan keempat peneliti perempuan lain, ia mendapatkan penghargaan L’Oreal – UNESCO for Women in Science yang diumumkan di Paris akhir Maret 2012 lalu.
Dalam sebuah acara temu wartawan di Jakarta (4/412), Sidrotun mengaku bahwa ia termotivasi mengikuti program L’Oreal-UNESCO for Women in Science setelah mengetahui bahwa salah satu pemenang di tahun 2007 adalah dosennya sendiri di ITB, , Dr.Fenny Martha Dwivany.
Ketika ditanya apa kiat suksesnya, perempuan yang sebelumnya berhasil memenangkan L’Oreal National Fellowship pada tahun 2009 ini mengatakan kunci kesuksean yang telah ia raih hingga saat ini adalah komitmen.
“Kiat suksesnya adalah komitmen terhadap apa yang dikerjakan dan harus memiliki passion di bidang itu,” tegas ibu dari satu orang putera ini.
Ke depannya, ia memiliki harapan dapat berkontribusi lebih banyak terhadap perindustrian udang di Indonesia untuk bisa dikembangkan. Ia juga berharap lebih banyak perempuan yang berminat pada dunia penelitian.
Sumber: Kompas, 5 April 2012