Berpotensi Produksi Herbisida Alami dan Pemacu Pertumbuhan
Biolog satu ini memang sedang banyak rezekinya. Tanggal 8 Maret lalu, Dr Antonius Suwanto memperoleh penghargaan Cipta Lestari Kehati dari Yayasan Kehati (Keanekaragaman Hayati) sebagai peneliti tentang potensi keragaman hayati mikroba di Indonesia, khususnya ekstremofil atau mikro-organisme yang hidup di habitat ekstrem. Di antaranya adalah yang ditemukan di Bledug Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah, yang pernah dikisahkan dalam Laporan Iptek Kompas, 9 Desember 2000.
Suwanto, mikrobiolog Institut Pertanian Bogor (IPB) ini memperoleh hadiah trofi Kehati dan uang tunai sebesar Rp 50 juta.Sebelumnya, akhir Januari lalu, ia dinyatakan sebagai salah satu dari dua pemenang Hadiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Toray yang ke-7 dari Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) untuk penelitiannya tentang genetika molekuler bakteri Rhodobacter sphaeroides. Suwanto dianugerahi hadiah uang Rp 40 juta.
“Saya tidak pernah tahu kalau ada kompetisi untuk kedua hadiah tadi. Untuk Kehati Award, saya diberi tahu oleh Dr Pratiwi Sudarmono karena saya anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Sedang untuk Toray Award, saya diminta oleh Rektor IPB untuk ikut,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rhodobacter sphaeroides adalah bakteri fotosintetik anoksigenik yang banyak ditemukan di lahan persawahan. Ia mampu mengikat nitrogen dari udara dan mengubahnya menjadi amoniak, sehingga secara alami dapat memupuk sawah. Justru pemberian pupuk buatan yang mengandung unsur nitrogen akan membuat bakteri ini tidak aktif.
Menurut Suwanto, Rhodobacter sphaeroides dapat tumbuh secara aerobik maupun anaerobik, dalam keadaan ada cahaya maupun gelap. Keragaman metabolisme kelompok bakteri ini amat luar biasa telah menjadikan R sphaeroides dan bakteri kerabatnya sebagai sistem model yang sangat baik untuk mempelajari fenomena biologi dan biofisika yang kompleks.
Keragaman metabolisme ini juga memberikan potensi untuk berbagai aplikasi dalam bidang pertanian, industri, dan lingkungan. Sebagai contoh, penambatan karbon dioksida dan nitrogen, produksi hidrogen, produksi plastik biologis, detoksifikasi logam berat, dan produksi enzim-enzim komersial merupakan penelitian yang menggunakan bakteri fotosintetik seperti R sphaeroides.
***
SELAMA lebih dari sepuluh tahun terakhir, Suwanto telah mempelajari aspek genetik dan ekologi bakteri fotosintetik anoksigenik, khususnya pada R sphaeroides. Risetnya diawali ketika ia menyelesaikan program magister dan doktor di University of Illinois di Urbana-Champaign. Ketika itu, kebetulan Universitas Columbia di New York baru saja menemukan alat dan teknik Pulsed-Field Gel Electrophoresis (PFGE) untuk mengonstruksi peta fisik genom dan transfer kromosom melalui konjugasi bakteri.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa genom R sphaeroides galur 2.4.1 tersusun dari dua macam kromosom sirkuler yang unik, dengan ukuran masing-masing 3.100 kilo pasang basa (kb) dan 910 kb, serta lima macam plasmid endogen. Suwanto mempublikasikan hasil risetnya itu dalam bentuk empat makalah dengan indeks sitasi tinggi pada Journal Bacteriology tahun 1989 dan 1992.
“Publikasi itu merupakan paparan ilmiah pertama yang menunjukkan bahwa suatu sel bakteri dapat membawa lebih dari satu macam kromosom dan mampu mengubah pandangan sains yang selama ini menjadi ‘dogma’ dalam genetika bakteri. Penemuan saya itu pada mulanya ditanggapi dengan skeptis oleh kebanyakan pakar genetika bakteri,” tuturnya.
Dikatakan, pada tahun-tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya bakteri yang membawa lebih dari satu macam kromosom oleh sejumlah peneliti, yang akhirnya menggantikan dogma kromosom tunggal pada genom bakteri. Sampai saat ini, sudah ada sedikitnya enam genus bakteri berbeda yang memiliki lebih dari satu macam kromosom.
“Penemuan ini telah mengubah pandangan kita mengenai organisasi genom bakteri dan pengaturan ekspresi gennya, serta memberikan persepsi baru dalam usaha untuk mengetahui asal-usul terjadinya ploidy (lebih dari satu macam alel atau kromosom yang homolog) pada organisme eukariot, seperti tanaman, hewan dan manusia,” katanya.
Dibanding dengan bakteri yang populer seperti Escheria coli yang mempunyai kromosom tunggal dengan ukuran 4.700 kb, ukuran panjang kedua kromosom R sphaeroides lebih pendek, hanya 4.000 kb atau 4.000 pasangan A-G dan C-T. Manusia memiliki sekitar 4 milyar kb. “Genom R sphaeroides jika dituliskan dengan ukuran huruf arial 12, akan mengisi buku telepon setebal 4-5 cm,” tutur Suwanto.
Tentang dua kromosom yang berhasil direkonstruksi bentuknya, Suwanto menggunakan empat jenis enzim untuk menggunting dan menyambung-nyambungnya lagi, yaitu enzim Ase1, Spe1, Dra1, dan Sna BI. Peta fisik dan genetik pada R sphaeroides dapat dimanfaatkan untuk merancang galur khusus untuk bioremediasi atau biokontrol yang
sangat penting dalam program pertanian yang berkelanjutan dengan masukan rendah. Produk yang dihasilkan antara lain adalah bahan bioremediasi untuk menanggulangi atau mengurangi pencemaran di tambak udang, serta untuk pengembangan biokontrol penyakit tanaman.
“Seluruh bakteri anoksigenik, termasuk R sphaeroides dapat mereduksi oksianion logam tanah jarang yang beracun seperti arsenat, kromat, dan selinat menjadi logam dasarnya yang kemudian disimpan dalam selnya sehingga lingkungan menjadi kurang beracun,” katanya.
***
SELAMA tiga tahun terakhir, Suwanto mengarahkan penelitiannya untuk produksi R sphaeroides yang mampu menghasilkan asam delta-aminolevulinat (ALA) ekstraselular. ALA dalam dosis rendah dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan tanaman, sedang dalam dosis tinggi justru punya manfaat sebaliknya yaitu dapat digunakan untuk herbisida selektif yang ramah lingkungan.
Menurut Suwanto, bakteri fotosintetik merupakan kelompok organisme penghasil ALA yang aktif untuk biosintesis klorofil. ALA adalah senyawa penentu dalam biosintesis tetrapirol pada semua sistem kehidupan, dan ketersediaannya di dalam sel diatur dengan sangat ketat. Tetrapirol adalah empat buah cincin pirol yang ada di dalam setiap makhluk hidup, misalnya di tubuh manusia adalah hemoglobin dan vitamin B12, sedang pada tanaman adalah klorofil.
Dikatakan, ALA dalam dunia kedokteran dipakai untuk membunuh sel-sel kanker, yaitu dikenal sebagai terapi fotodinamik. Cara kerjanya adalah tetrapirol mengoksidasi sel hingga mati. Sedang jika ALA disemprotkan ke daun tanaman, dan daun kena cahaya maka ALA akan membuat daun terbakar dan mati. Namun, ini hanya selektif untuk tanaman dikotil. Karena itu untuk sawah dengan tanaman padi, jika disemprotkan maka padi tidak akan mati, namun yang mati adalah gulma dikotil.
“Saat ini ALA masih terlalu mahal untuk dipakai dalam pertanian, dan baru terbatas pemakaiannya untuk kedokteran. Kecuali kalau nanti ALA dapat diproduksi secara murah dan melimpah dengan mengonstruksi
galur rekombinan yang membawa gen untuk ALA synthase di bawah pengaturan promotor yang dapat diinduksi (inducible promoter), ALA menjadi layak dijadikan herbisida alami. Kalau galur bakteri seperti ini sudah dapat diciptakan, petani dapat membuat herbisida alami sendiri, karena dapat dibiakkan seperti ragi dan penggunaannya tidak perlu dimurnikan,” tutur Suwanto.
Galur R sphaeroides hasil rekayasa genetika untuk mempelajari produksi ALA secara massal ini telah berhasil dikonstruksi oleh Suwanto dan hasilnya telah dipublikasikan dalam Journal of Applied Microbiology and Biotechnology tahun 1999.
“Hasil penelitian ini akan menjadi acuan penting dalam produksi ALA untuk bioherbisida yang ramah lingkungan, atau dalam konsentrasi kecil sebagai faktor pemacu tumbuh tanaman melalui peningkatan laju
biosintesis klorofil,” kata Suwanto.
ALA sebagai pemacu pertumbuhan tanaman kini sedang ia ajukan patennya. Suwanto mengaku telah berhasil membuktikan ALA R sphaeroides sangat signifikan memacu kebutuhan klorofil sehingga pertumbuhan tanaman ikut terpacu. Jika nanti Suwanto berhasil meraih paten dan temuannya mempunyai nilai komersial, maka akan bertambah lagi rezekinya.
Dengan hasil temuannya dan berbagai hadiah yang diperolehnya, Suwanto menunjukkan bahwa ilmu dasar seperti biologi bukan lagi ilmu yang kering rezeki. (Irwan Julianto)
Sumber: Kompas, Jumat, 6 April 2001
—————
Surat pembaca di harian Kompas
Politisi Belajarlah dari Dr. Antonius Suwanto
Sudah hampir setahun saya studi postdoc di Yonsei University Korea. Senin yang lalu saya mengikuti sebuah simposium yang diikuti oleh para ilmuwan dan mahasiswa baik dalam dan luar negeri.
Dr. Samuel Kaplan dari Univercity of Texas dalam ceramahnya yang berjudul “Quorum sensing in Rhodobacter” beliau menyebutkan bekali-kali nama Dr. Antonius Suwanto dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Indonesia.
Beliau menyebutkan bahwa Dr. Antonius Suwanto adalah orang yang pertama kali menemukan dan melaporkan terdapatnya lebih dari satu kromosom pada bakteri tersebut. Temuan ini dilaporkan di Journal of Bacteriology, salah satu journal terkemuka di dunia.
Saya sebagai orang Indonesia sangat bangga dengan prestasi Dr. Antonius Suwanto yang telah mengharumkan nama bangsa. Bukankah ini salah satu yang diperlukan oleh bangsa dan negara Indonesia dari keterpurukan?
Sementara para politisi terus saja beradu “renyom”, saling hujat, tapi hanya menghasilkan kerusuhan.
Yaya Rukayadi
peuyeum100hotmail.com