Melanglang Buana karena Ilmu Astronomi

- Editor

Kamis, 11 Agustus 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bisa mengikuti Olimpiade Sains, apalagi mampu memenanginya, merupakan sebuah kebanggaan. Namun tentu tak mudah untuk menggapai prestasi di level internasional itu. Bagaimana para kampiun ini belajar, berikut laporannya.

KO Abel Ardana Kusuma baru berusia 13 tahun. Tapi, prestasinya sungguh membanggakan. Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD), siswa SMP Karangturi Semarang ini sudah meraih beberapa prestasi internasional.

Prestasi gemilang itu bahkan sudah mulai diraihnya ketika duduk di bangku kelas 3 SD, dari tingkat kecamatan, kota, provinsi, hingga nasional. Seluruhnya di bidang matematika.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Akhirnya, ketika duduk di kelas 5 SD, remaja Semarang ini berhasil membawa pulang medali perunggu dari ajang Olimpiade Matematika dan Sains Internasional (IMSO) 2009 di Yogyakarta. Tidak lama setelah itu, medali perak direbutnya di Philipines International Mathematics Competition (PIMC) 2009.

Merasa tertantang, putra pasangan Ko Sen Tju dan Trilisanny ini terus mengembangkan minat dan bakatnya melalui bimbingan belajar. Dia pun bergabung di lembaga bimbingan Matematika Sakamoto.

Dari lembaga tersebut, Abel mendalami bermacam-macam bentuk soal untuk lomba tingkat internasional dengan berbagai tingkat kesulitan.

Abel mengaku, porsi latihan matematika dilakukannya 2-4 jam sehari, baik di rumah maupun sekolah. Dia tetap mempelajari mata ajar lain dan juga menyempatkan bermain game atau jalan-jalan bersama keluarga saat akhir pekan.

Bakat matematika yang dimiliki siswa kelas VIII SMP Karangturi ini memang bukan turunan dari orang tuanya. Akan tetapi, sejak kecil bungsu dari dua bersaudara itu sudah terlihat minatnya sehingga orang tuanya pun tinggal mengarahkan.

Saat ini, sudah lima medali kejuaraan internasional yang dikoleksinya. Terakhir adalah meraih medali perunggu International Mathematics Contest (IMC) Korea, 26-30 Juli 2010, medali perak IMC di Singapura, Agustus 2010, dan perunggu International World Youth Mathematics Intercity Competition (IWYMIC) Bali 2011.

Bagaimana kesan Abel dari setiap kompetisi yang dikutinya?

“Suka duka itu ada, tapi saya bawa senangnya saja. Bisa punya teman baru dari berbagai negara dan jalan-jalan gratis. Paling enak saat di Singapura, selama lima hari di sana, tiga hari bisa jalan-jalan,” tutur remaja yang bercita-cita jadi insinyur itu.

Beda Cita-cita

Tidak semua remaja yang berprestasi di Olimpiade Sains membangun cita-cita sejalan dengan ilmu pengetahuan yang ditekuninya.

Contohnya Cliff Alvino Wijaya (15) yang meraih medali perunggu dan Wildan Giffari (17) yang meraih medali emas di ajang Asian-Pacific Astronomy Olympiad (APhAO) yang diselenggarakan Desember 2010 di Karubaga, Papua.

Cliff adalah siswa kelas XI SMA Karangturi Semarang dan Wildan merupakan alumni SMA Semesta Semarang. Dalam setiap kompetisi, mereka berdua bergelut di bidang astronomi. Namun impian masa depan mereka sama sekali tak terkait dengan bidang tersebut.

Cliff lebih tertarik meneruskan usaha orang tuanya di pabrik plastik, sedangkan Wildan memilih berkeliling dunia untuk riset dan mengembangkan ilmu robotik. Mengapa demikian dan apa alasannya?

“Saya takut bosan kalau kuliah di bidang astronomi. Ilmu itu sudah ter-cover selama ikut pelatihan dan lomba Olimpiade. Lebih baik saya mewujudkan cita-cita saya untuk membuat dan memproduksi lengan dan kaki bionik sekaligus menjadi peneliti serta pengusaha,” tutur Wildan, remaja kelahiran Bandung 28 Oktober 1994 itu.

Saat ini Wildan sedang bersiap mengikuti International Olympiad on Astronomy and Astrophysics (IOAA) di Polandia, yang akan digelar 23 Agustus mendatang. Putra pasangan Saiful Anam dan Yati Hilyatul Maftuha itu tetap akan mewakili SMA Semesta Semarang, meskipun sekarang dia sudah mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Elektro.

Hal ini karena pembinaan yang dilakukan di Bandung oleh Kemdiknas dan Prodi Astronomi ITB dalam menghadapi lomba tersebut sudah dilakukan sejak dia duduk di bangku SMA.

Tentu saja dengan seringnya mengikuti kompetisi ada suka dukanya, bahkan perlu ada yang dikorbankan.

“Suka sih bisa jalan-jalan, ketemu teman baru, merasakan makanan khas di tempat lain, seperti di Papua tahun lalu bisa merasakan ubi rebus dan menikmati pemandangan alamnya yang indah. Selain itu, juga meringankan beban orang tua, karena kalau menang di setiap lomba kan dapat uang serta beasiswa bisa kuliah di mana saja,” terang Wildan, yang mempunyai hobi membaca dan bermain bola itu.

Adapun duka, lanjutnya, kadang bosan dengan materi karena harus latihan terus. Juga jauh dengan keluarga, apalagi Lebaran tahun ini dia akan berada di negeri orang dan tidak bisa merayakan Idul Fitri bersama orang tua serta saudara.

SM/dok BERSAMA PRESIDEN IAO: Agustinus Benyamin Prasetyo (kiri) dan Ko Matias Adrian Kosasih (kanan) bersama Presiden International Astronomy Olympiad (IAO) Dr Michael G Gavrilov.(30)

Sementara Cliff, selain berprestasi di bidang astronomi, juga menekuni bidang lainnya seperti menggambar, musik, dan matematika. Bahkan keikutsertaannya dalam lomba-lomba di jenjang SD dan SMP yakni pada bidang melukis dan matematika.

“Ikut lomba matematika sudah sejak SD dan menang hingga tingkat provinsi. Tahun 2010 menang di Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan mendapat medali emas. Akan tetapi untuk maju ke lomba berikutnya, sekolah menyarankan ikut bidang astronomi. Saya tidak mau karena selama ini latihannya matematika kok disuruh ke astronomi yang asing, dan di ajang internasional pula,” ungkapnya.

Kendati demikian, lanjut Cliff, sekolah terus mendesaknya untuk mengikuti latihan rutin. Meski awalnya takut kalah karena saingannya berat, akhirnya dia malah jatuh cinta dengan astronomi.

“Astronomi itu unik. Kita mempelajari benda yang tidak bisa kita sentuh, namun ada observasi dan prakteknya. Tidak melulu teoritis saja,” ujarnya.

Karena terbatasnya buku-buku astronomi, Cliff pun rajin browsing di internet untuk menambah pengetahuannya.

Namun, ke depan, bungsu dari tiga bersaudara pasangan Hariyono Wijoyo dan Florentina ini tetap ingin meneruskan usaha sang ayah. Remaja kelahiran Semarang, 10 Oktober 1996 ini bercita-cita kuliah di China dan mengambil jurusan Teknik Mesin, yang sama sekali tak terkait dengan astronomi. (Anggun Puspita-43)

Sumber: Suara Merdeka, 11 Agustus 2011

——–

Sakit Jelang Tampil, Tetap Mampu Raih Medali

PRESTASI di ajang internasional tak hanya diraih siswa dari kota besar. Pelajar dari kota kecil pun mampu menggapainya. Farhan Nur Kholid dan Luqman Fathurrohim adalah contohnya. Kedua siswa Sragen Bilingual Boarding School (SBBS) itu meraih medali perunggu di ajang International Physics Olympiad (IPHO) di Bangkok, Thailand. Kedua siswa yang kini sudah lulus itu menunjukkan prestasi gemilangnya saat bertarung di ajang IPHO pada 10-18 Juli 2011. ”Saya tidak menduga karena pesertanya 400 pelajar dari berbagai belahan dunia,” tutur Farhan.

Perjuangan mereka tak mudah. Sebelum bertanding, Farhan Luqman harus belajar keras hingga menyita waktu bermain. Hambatan bahkan mengadang menjelang tampil. Saat itu Farhan sakit perut karena menu makanan yang dikonsumsi tidak cocok untuk lambungnya. Sebenarnya ada tempat khusus yang menjual nasi di area lomba, tapi jumlahnya terbatas dan cepat habis.

Jika nasi sudah habis, mereka terpaksa makan roti. Itu pun tidak bisa asal, karena banyak roti atau hamburger yang dijajakan mengandung daging babi yang haram mereka konsumsi. Namun pengorbanan mereka tak sia-sia hingga mampu meraup kesuksesan.

Setelah lulus tahun ini, Farhan diterima di Nanyang Technology University Singapore. Sementara, Luqman F berkeinginan kuliah dan bekerja di Indonesia. Farhan bercita-cita menempuh studi sampai S3 di Amerika Serikat dan ingin pulang ke Tanah Air sebagai peneliti.

Dunia fisika dia geluti sejak sekolah di SMPN 1 Solo. Semula dia lebih tertarik menekuni bidang matematika, tapi gurunya mengarahkannya agar lebih memperdalam fisika. Setelah sekolah di SBBS, dia bertemu guru pembimbing fisika, Eko Sugiyanto. Eko Sugiyanto menggandeng dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo untuk menggembleng siswanya yang akan berlaga di olimpiade.

Setelah melakukan persiapan selama setahun, dengan dukungan orang tua dan SBBS bekerja sama dengan PASIAD Turki, Farhan dan Luqman akhirnya berhasil mengikuti IPHO, bahkan berhasil menyabet medali perunggu.

Farhan, kelahiran Solo 23 Februari 1993, dan Luqman, kelahiran Purworejo 21 Januari 1994, dalam pidato penyambutan di aula SBBS Jalan Gemolong Asri No 1, Gemolong, Sragen, menantang adik-adik kelasnya agar meraih prestasi yang lebih baik.

”Saya katakan begitu karena adik-adik saya menikmati fasilitas yang lebih baik dibanding takkala saya kali pertama masuk SBBS. Karena itu saya tantang mereka berprestasi lebih baik dari angkatan kami,” tutur Farhan.

Soal pengalamannya mengikuti lomba, Luqman mengaku sempat turun mental ketika menghadapi banyak lawan tangguh di IPHO.

”Tapi karena membawa nama sekolah dan negara asal, Indonesia, ya kami maju terus,” tuturnya.

Sebelum Farhan dan Luqman, dua siswa SBBS lainnya, yakni Achmad Masyhadul Amin dan Anka Utama Putra SA juga meraih medali perunggu di ajang International Sustainable World Energy & Environment Project Olympiad (I SWEEP) di Houston, Texas, Amerika Serikat, 4-9 Mei 2011.

Pada saat SBBS mengukir banyak prestasi, kini muncul kabar kerja sama antara pengajar dari PASIAD Turki dan Pemkab Sragen akan dievaluasi. Persoalannya, beban anggaran yang ditanggung APBD Sragen untuk kerja sama pendidikan itu cukup tinggi. Humas SBBS Ari Mayang belum bersedia berkomentar dan menyerahkan masalah itu kepada pimpinannya serta Pemkab Sragen.

Dipusingkan Biaya

Prestasi tak kalah cemerlang ditorehkan Agustinus Benyamin Prasetyo. Jika tak ada aral melintang, dia akan berangkat  ke ajang 16th International Astronomy Olympiad (IAO) di Kazakstan, September 2011. Itu berarti, untuk kali kedua, siswa kelas XII SMA Taruna Nusantara Magelang asal Jepara itu terpilih menjadi salah satu—dari dua siswa—yang mewakili Indonesia.

Pada ajang serupa di Sudak, Crimea, Ukraina 16-24 Oktober 2010, dua wakil Indonesia berhasil meraih medali perunggu. Benyamin yang kala itu duduk di kelas XI berangkat bersama Ko Matias Adrian Kosasih (kelas XII SMA Negeri 5 Bekasi, Jawa Barat). Mereka disertai dua pendamping dari Kementerian Pendidikan Nasional.

Sebelum berangkat, keduanya mendapat pembinaan khusus dari Tim Pembina Astronomi Nasional dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Proses serupa juga berlaku sekarang, mulai seleksi di daerah hingga nasional. Hanya saja yang membedakan, tahun lalu keberangkatan ke Ukraina dibiayai pemerintah, sekarang tidak.

”Terus terang, kami sempat bingung. Sebab, biaya akomodasi lomba yang mencapai Rp 74 juta tiap anak harus ditanggung peserta. Dan yang membuat kami semakin pusing, jika tidak mampu membiayai, akan diganti siswa peserta seleksi yang rangkingnya di bawah,” tutur dokter F Budijanto Prasetyo, ayah Benyamin, saat ditemui di rumahnya di Jalan Raya Senenan, Tahunan, Jepara.

Setelah mendapat ”ultimatum” itu, Budijanto membicarakan dengan keluarga dan sekolah.

”Kami berterima kasih, karena mendapat bantuan dari keluarga besar SMA Taruna Nusantara total Rp 42 juta, perinciannya sekolah dan komite Rp 37 juta, serta iuran para siswa Rp 5 juta, sehingga beban kami berkurang,” ujar Budijanto.

Tahun ini, dokter yang juga pengusaha mebel itu berharap prestasi anaknya meningkat. Dia memaparkan, untuk menjadi wakil Indonesia, Benyamin merintis sejak duduk di bangku kelas VIII SMPN 1 Jepara, tahun 2007. Pada seleksi akhir, dia berada di peringkat keempat, padahal yang dikirim hanya tiga orang. Setelah mendapat medali emas pada Olimpiade Sains Nasional 2008, dia terus berjuang, dan akhirnya mendapat kesempatan mengikuti seleksi dan pembinaan mulai 2009.

Walau berangkat sebagai duta bangsa dalam adu sains, tahun lalu  Benyamin juga mendapat bekal untuk menampilkan kesenian kuda lumping pada pentas seni IAO. Budijanto menuturkan, sejak duduk di SD Kanisius Jepara, ketiga anaknya, yakni Benyamin serta kakak dan adiknya, mendapat pendidikan seni.

”Dulu Benyamin kami leskan piano dan matematika, karena itu yang ia sukai”.

Sejak SD hingga SMP, Benyamin dan Thomas Edison (sekarang kelas XI di Tangerang) sering mengikuti lomba matematika, baik tingkat regional maupun internasional. Mengapa beralih ke astronomi? Budijanto menuturkan, pada saat SD Benyamin pernah mengikuti International Mathematic and Science Olympiad (IMO/IMSO) yang diselenggarakan sebuah perguruan tinggi di Australia. Benyamin yang lolos mewakili Jateng, berada di rangking ke-8 dari 36 peserta se-Indonesia. Pada saat mengikuti Olimpiade Sains  Nasional (OSN) Matematika Provinsi Jateng, dari 10 besar siswa, Benyamin rangking 6, sehingga tak lolos ke tingkat nasional.

”Persaingan di matematika sangat berat. Benyamin kami arahkan untuk menekuni pelajaran yang tak jauh-jauh dari matematika, yakni astronomi. Terbukti hasilnya bagus.”

Dalam mengarahkan belajar sang anak, Budijanto memberi kebebasan yang bertanggung jawab. Anaknya diberi kebebasan menekuni pelajaran yang sangat disenangi, namun tidak boleh melupakan seluruh pelajaran yang disampaikan guru di sekolah. Jadi, pelajaran muatan lokal seperti bahasa daerah (Jawa), mengukir, kesenian, olahraga, dan lainnya, juga harus dikuasai dengan baik.

Saat mendapat cuti di sela-sela pembinaan yang sangat ketat, Benyamin menuturkan, walau berat, dia tetap merasa senang. Sebab, hanya sedikit orang yang memperoleh kesempatan langka seperti dirinya. Selain itu, bekal mengikuti pembinaan sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuannya tentang astronomi. Setelah menamatkan SMA, dia ingin menjadi astronom.

Walau sering meninggalkan sekolah untuk mengikuti pembinaan ke ajang IAO, pelajaran sekolahnya tetap menonjol. Selama mengikuti lomba di luar negeri, banyak pengalaman berharga yang diperoleh. Di antaranya, bertemu teman sebaya dari berbagai negara serta para ilmuwan kelas dunia. Salah satunya Presiden IAO Dr Michael G Gavrilov. Selain itu juga dapat mengunjungi dan menjajal observarorium.  Kalaupun ada ganjalan, itu soal makanan. Sebab, tidak semua menu di negara tempat lomba cocok dengan lidah Indonesia.

Untuk mengatasi kekangenan pada menu Tanah Air, dia dibekali sejumlah makanan dari rumah. Misalnya bumbu pecel, rendang, ikan wader (kering), dan lainnya.

”Namun, makanan bawaan itu disita petugas imigrasi Ukraina. Mungkin mereka ingin mencoba makanan khas Indonesia,” ujar Budijanto berseloroh. (Anindito AN, Sukardi-59)

Sumber: Suara Merdeka, 12 Agustus 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 20 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB