Djaja Surya Atmaja, Pelopor Ilmu DNA Forensik di Indonesia
Nama dr Djaja Surya Atmaja SpF PhD SH DFM tidak asing lagi di Mabes Polri. Dialah yang selalu dilibatkan ketika polisi harus memastikan identitas seorang teroris melalui tes DNA. Maklum, Djaja adalah ahli DNA forensik pertama di Indonesia. Mengapa dia tertarik mempelajari ilmu langka itu?
Laporan SEKARING RATRI, Jakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KETIKA ditemui di ruang kerjanya di Laboratorium Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) siang pekan lalu, Djaja sedang istirahat. Pagi sebelumnya dia sangat sibuk.
Djaja kepada Jawa Pos mengatakan, saat ini dirinya tak terlalu sibuk mondar-mandir ke Mabes Polri. Sebab, dia telah berhasil mendidik sejumlah ahli DNA forensik dari kalangan Polri. “Bahkan, saat ini Mabes Polri sudah memiliki laboratorium DNA sendiri,” kata pria 50 tahun itu.
“Saya senang melihat mulai banyak generasi penerus ilmu ini (DNA forensik, Red),” ujarnya.
Meski demikian, dokter kelahiran 19 Mei 1960 itu tetap prihatin karena minimnya animo mahasiswa kedokteran dalam mendalami ilmu DNA forensik. Hingga kini, jumlah mahasiswa kedokteran UI yang meneruskan pendidikan spesialis forensik hanya 12 orang dari semua angkatan.
Menurut Djaja, salah satu faktor yang menyebabkan banyak mahasiswa kedokteran enggan memilih bidang spesialisasi tersebut karena ilmu DNA dianggap susah. Soal itu, Djaja tidak memungkiri. “Di samping sulit, sekalipun sudah profesor harus tetap sekolah. Sebab, perkembangan ilmu ini begitu pesat. Kelihatannya memang banyak pengorbanannya kalau belajar ilmu ini,” tuturnya.
Namun, lanjut dia pengorbanan tersebut akan terbayar ketika dapat membantu mengungkap sebuah kasus atau membantu orang lain mengenali identitas seseorang. Itulah yang dirasakan Djaja. Selain itu, ahli DNA forensik bakal mudah dikenal publik. “Nah sekarang kalau ada kasus teroris, mau tentukan identitasnya, yang dicari ahli DNA forensik. Ada artis yang hamil, tapi bapak si janin tidak jelas, dia juga nyari kami. Jadi sering masuk TV kan,” katanya, lantas tertawa.
Berbagai kelebihan itu ternyata belum ampuh menarik minat mahasiswa kedokteran mempelajari ilmu DNA forensik. Djaja pun lantas berusaha mencari cara lain untuk lebih memopulerkan ilmu DNA forensik. Yakni, membuat database DNA penduduk Indonesia pada 2009. Bersama seorang muridnya, dr Evi Untoro, Djaja menjadi orang Indonesia pertama yang menciptakan database tersebut.
Database DNA penduduk Indonesia diperlukan untuk keakuratan hasil tes DNA. “Dan, kebenaran hasil tes DNA mencapai 99,999 persen,” tegasnya.
Dia menuturkan, jika yang dites adalah orang Indonesia, harus dihitung dengan menggunakan DNA data populasi orang Indonesia. Djaja meneliti database tersebut di Scientific and Technical Research Center, Ministry Justice Investigation Bureau, Taiwan, pada awal 2009. Bersama muridnya, Evi, dia hanya membutuhkan waktu empat bulan untuk mengumpulkan sampel penelitian sebanyak 402 orang Indonesia, yang terdiri atas 201 pria dan 201 wanita. “Saya melakukan penelitian dua bulan. Dua bulan berikutnya dilanjutkan Evi,” kenang Djaja.
Sebagai standar penelitian, dia mengacu pada CODIS (combined DNA index system) 13 yang dikeluarkan FBI (Federal Buerau of Investigation) pada 1994. Standar tersebut sudah mendunia. Sebanyak 300 laboratorium forensik seluruh dunia menggunakan itu.
Penelitian Djaja tersebut dilakukan di Taiwan karena pemerintah negara itulah yang membiayai. “Biayanya miliaran rupiah,” katanya. Taiwan membiayai penelitian tersebut karena terkait banyaknya TKI (tenaga kerja Indonesia) di negara itu. Meski ditanggung Taiwan, untuk biaya bolak-balik Jakarta-Taipei, Djaja dan Evi kala itu harus merogoh kantong pribadi. Tapi, semua itu dilakoni Djaja dengan penuh tanggung jawab.
Selain melakukan penelitian di Taiwan, Djaja saat ini gencar mengampanyekan perlunya penggunaan DNA ID atau identitas DNA untuk semua orang. Djaja menguraikan, banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan memiliki DNA ID. Salah satu di antaranya, urusan warisan. “Bencana bisa datang kepada siapa saja. Nggak melihat itu orang penting atau bukan. Nah, dengan DNA ID, identitas orang tersebut jika meninggal bisa dikenali. Sebab, DNA ID yang terdiri atas 52 digit itu berbeda orang yang satu dengan yang lain, sekalipun kembar identik,” paparnya.
Dia menuturkan, sejak tiga bulan lalu Amerika Serikat sudah memopulerkan penggunaan DNA ID. Karena itu, alumnus Kobe University School of Medicine itu juga berupaya melakukan hal yang sama di Indonesia. Hingga kini, hampir seratus pasiennya sudah memiliki DNA ID. Mayoritas orang berada karena biaya tes DNA tidak murah. Sekali tes bisa menghabiskan dana Rp 5 juta per orang. Hasil tes DNA bisa diketahui dalam tiga minggu.
“DNA ID itu bisa disebut barcode-nya manusia. Jadi barcode setiap orang tidak sama,” katanya. Di masa depan barcode manusia tersebut tidak sekadar menjadi identitas, namun bisa menjadi alat pembayaran semacam kartu kredit.
Belasan tahun menekuni ilmu DNA forensik Djaja sudah menangani ribuan kasus. “Sekitar 6.000 kasus,” katanya. Di antara sejumlah kasus tersebut, tidak sedikit yang unik. Salah satu di antaranya adalah kasus tes DNA anak seorang mantan PSK (pekerja seks komersial) yang menikah dengan bule.
Wanita tersebut – sebut saja namanya Ina – sangat mencintai suaminya – sebut saja namanya Nick. Suatu hari, Nick yang asal Inggris itu, mendapat tugas dinas selama setahun di Thailand. Karena hanya setahun, dia memutuskan tidak memboyong Ina yang kala itu hamil.
Begitu Nick kembali, istrinya sudah melahirkan. Tidak berapa lama Nick kembali ditugaskan. Kali ini ke Inggris untuk jangka panjang. Karena itu, dia memutuskan membawa Ina dan anaknya. Persyaratan imigrasi Inggris untuk memboyong istri cukup mudah, hanya menunjukkan surat nikah.
Namun, untuk si anak, pasangan tersebut harus menunjukkan hasil tes DNA yang membuktikan bahwa anak tersebut adalah putra kandung mereka. “Mereka lantas datang ke saya untuk melakukan tes DNA anak mereka,” cerita Djaja.
Hasilnya mengejutkan. Ternyata si anak itu bukan anak kandung Nick maupun Ina. Djaja heran bukan main. Dia langsung menyampaikan informasi tersebut kepada Ina. Respons Ina saat itu, “Loh, kok dokter tahu itu bukan anak kami?” kata Djaja menirukan perkataan Ina.
Saat itulah, Ina menceritakan peristiwa yang dia alami. Ternyata, saat hamil dan ketika ditinggal suami bertugas, Ina keguguran. Karena sangat takut akan ditinggalkan sang suami, Ina pun berbohong. Dia mencari rekannya yang tengah mengandung benih seorang pria bule. Bayi itulah yang kemudian dia akui sebagai anaknya.
Awalnya Ina bertekad menyimpan kebohongan itu kepada suaminya sampai kapan pun. Tapi, Djaja memberikan saran kepada Ina agar berterus terang kepada suami. “Saya bilang sama dia, orang bule itu lebih menghargai kejujuran jika dibandingkan dengan kebohongan. Dan, buktinya, sang suami menerima kok,” imbuhnya.
Kisah itu tak bisa dilupakan Djaja sampai sekarang. Itu salah satu di antara beberapa kisah yang membuat dia semakin bersemangat mengembangkan ilmu DNA forensik. (c4/kum)
Sumber: jpnn, Rabu, 24 Maret 2010 , 02:06:00