Wawancara Nazir Foead; Restorasi Lahan Gambut Tak Melihat Milik, tetapi Fungsi

- Editor

Jumat, 15 Januari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Nazir Foead, Rabu — (13/1), dipilih Presiden Joko Widodo dari sederet nama kandidat Kepala Badan Restorasi Gambut. Latar belakang aktivis lingkungan diharapkan mengembuskan angin perubahan dan terobosan mempercepat pemulihan ekosistem gambut di Nusantara yang telanjur rusak dan terbakar.

Di tengah kegaduhan teror bom Ibu Kota, Nazir melayani wawancara dengan Kompas:

Bagaimana Anda mendapatkan tugas ini?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kalau cerita dari tahun lalu bulan November. Sebelum COP- 21 Paris, saya menolak jadi kandidat karena banyak orang lain yang mampu memimpin BRG. Akhir Desember, rekan sangat senior di kementerian meminta saya mengambil tantangan besar ini, bukan terus di comfort zone. Saya refleksi diri dan memikirkan ucapan itu sehingga setuju nama saya dimasukkan salah satu kandidat. Lalu, Rabu pagi saya dipanggil di-briefing di Istana, karena sore hari disuruh datang, mau ditanya-tanya Pak Presiden. Sore selesai ngobrol (dengan Presiden) ternyata dipercaya memimpin BRG.

Apa pesan utama Presiden?

Pak Jokowi itu sangat ingin kegiatan restorasi gambut dijalankan dengan hasil kelihatan dan melibatkan masyarakat. Manfaat restorasi dirasakan masyarakat dalam reforestasi dan penyekatan kanal, sekaligus menurunkan titik api.

Di mana kekuatan badan yang Anda pimpin ini?

Kita tahu kebakaran bertambah parah karena gambut makin kering. Tugas restorasi itu ada di beberapa kementerian dengan tugas masing-masing. Kita tidak bisa dengan cara biasa kalau mau membuat gebrakan meminimalkan kebakaran dengan membasahi dan mengembalikan fungsi lindung. Harus unit khusus. BRG ini khusus merestorasi gambut sekaligus menjawab pertanyaan internasional dan 47 juta korban, bahwa krisis ini mau diselesaikan.

359502_jokowi--siti-nurbaya--dan-nazir-foead-_663_382Bagaimana kondisi gambut di Indonesia?

Kita punya gambut luas sekali, tergantung peta siapa, dari 8-40 juta hektar. Yang rusak banyak sekali. Rusak karena dikeringkan dan ditanami tanaman pokok komersial. Ada juga yang kering tak terurus. Gambut kering selalu mudah terbakar saat kemarau sehingga melahirkan kesusahan bagi kehidupan rakyat. Padahal, gambut yang baik berfungsi menyimpan air saat kemarau, perikanan air tawar, dan di pesisir Sumatera sebagai penahan intrusi air laut.

Bagaimana memastikan perlindungan dari pembuatan kanal pada gambut tersisa?

Sejak ada moratorium dari Presiden, otomatis pembuatan kanal berhenti. Gambut yang bagus tak boleh diusahakan lagi. Tapi, tidak cukup. Kebakaran akan masih terjadi karena yang terburu kering berjuta-juta hektar. Selain moratorium, harus agresif membasahi lagi gambut yang terbakar tiap tahun.

Di mana peran BRG di tengah desakan meninjau ulang izin di lahan gambut?

BRG akan mengembangkan monitoring akurat. BRG memiliki fungsi menentukan daerah ini harus direstorasi karena punya fungsi lindung atau fungsi budidaya yang bisa dibudidayakan dengan syarat ketat. Waktu BRG mengkaji lanskap gambut, kami tak melihat lahan itu milik siapa, tapi melihat fungsi. Lalu dilihat, ada siapa saja di situ. Kalau perusahaan ada di gambut berfungsi lindung, menurut instruksi Presiden, tak boleh atau areal harus dikurangi. Atau bisa tak dicabut (izin), tapi silakan perusahaan merestorasi. Kami tak menyasar perusahaan, tapi restorasi gambut. Dimulai dari areal yang sering terbakar.

Apa yang menjadi tantangan?

Pada koordinasi dan harmonisasi kebijakan karena badan ini harus kerja sama dengan banyak kementerian, badan, dan tujuh gubernur. Ada provinsi yang memperbolehkan api, ada yang tidak boleh. Ada yang boleh hanya untuk masyarakat adat. Ada surat kementerian tertentu yang masih boleh keringkan gambut. Harus dikaji ulang. Koordinasi aktivitas penyelarasan kebijakan.

Kami juga harus dapat dukungan penuh masyarakat, termasuk perusahaan, yang akan terdampak. Mungkin manfaat ekonomi akan berkurang.

Tantangan selanjutnya, kegiatan harus terukur. Titik api berkurang karena tak terbakar dan berapa luas yang direstorasi harus dipantau transparan dan ilmiah. Ini agar menimbulkan kepercayaan publik dan investor yang mendukung dana. Entah dana REDD atau hibah donor.

Bagaimana soal akses data dan keterbukaan informasi BRG?

Saya percaya itu harus menjadi semacam alat. Kalau mau sukses, harus mau dinilai dengan cara sportif dan cara efektif adalah transparan. Yang menilai juga tahu metode seperti apa, bukan kongkalikong. Itu melecut tim BRG bekerja seprofesional mungkin.

Dengan BRG, apa inpres moratorium harus dilanjutkan?

Revisi semestinya karena instruksi (perintah) Presiden yang baru setelah kebakaran di Oktober sudah beda dengan konten Inpres yang dikeluarkan Mei (Inpres No 8/2015). Pas Oktober kebakaran gila-gilaan, Presiden dalam rapat kabinet memberi instruksi baru yang lebih keras akan standar dan aturan main. Idealnya itu bukan hanya di rapat kabinet, melainkan disesuaikan dengan inpres dan sejiwa dengan perpres tentang BRG.

Kapan kelengkapan BRG terbentuk?

Sebelum akhir minggu ini sudah kirim daftar. Keputusan di Presiden. Harapan kami sebelum akhir bulan dibentuk. (ICH)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Restorasi Lahan Gambut Tak Melihat Milik, tetapi Fungsi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Makrofita Akuatik Mengatasi Polusi Air
Menguak Misteri Hutan Sulawesi
Taman Nasional Gunung Leuser Aset yang Masih Tidur
Agus Purwanto: Sains Bukan Milik Barat
Bertualang di Alam Wallacea
Teuku Jacob Sang Maestro Paleoantropologi
Perusahaan Mulai Bergerak ke Bisnis Ramah Lingkungan
Kopi Lestari demi Hutan Konservasi
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 1 Maret 2022 - 22:05 WIB

Makrofita Akuatik Mengatasi Polusi Air

Senin, 25 Oktober 2021 - 23:58 WIB

Menguak Misteri Hutan Sulawesi

Senin, 27 September 2021 - 20:28 WIB

Taman Nasional Gunung Leuser Aset yang Masih Tidur

Selasa, 20 Juli 2021 - 16:06 WIB

Agus Purwanto: Sains Bukan Milik Barat

Jumat, 23 April 2021 - 15:40 WIB

Bertualang di Alam Wallacea

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB