Sedikit Urun Rembuk buat Tim Mobil Matahari ITS
Perjalanan panjang road test mobil “matahari” WW II karya para mahasiswa ITS berakhir sudah. Rasa bangga, haru, dan berbagai perasaan bercampur aduk di hati para pembuatnya karena mereka akhirnya mampu menaklukkan jarak Jakarta-Surabaya seperti direncanakan semula. Meskipun kemudian banyak “pelajaran” yang mereka peroleh selama perjalanan uji coba itu.
Lepas dari semua kendala yang muncul selama road test, keberanian para mahasiswa ini patut memperoleh acungan Jempol kita semua.
Nilai kepeloporan mereka itulah yang patut mandapat penghargaan setinggi-tinggnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dan jika ada beberapa kekurangan, tentu kemudian kewajiban para pakar, bahkan siapa saja yang merasa ikut memiliki karya itu, untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan di masa mendatang. Dan mudah-mudahan beberapa masukan yang ditulis di bawah ini menjadi salah satu masukan kecil yang bermanfaat.
Dibandingkan dengan Widya Wahana I, mobil “matahari” generasi kedua ini sebenarnya diharapkan mampu memberikan penyempurnaan terhadap beberapa kekurangan generasi pertama.
Beberapa hal yang dianggap sebagai “kekurangan”mobil WW I antara lain bentuknya yang belum
seperti mobil sungguhan. Jumlah penumpang yang hanya seorang, kecepatan yang dirancang sekitar 40 km per jam (meskipun kemudian terbukti mampu berlari 55 km perjam ), dan rendahnya daya jelajah sebelum kemudian perlu men-charge aki lagi.
Dan tak kalah pentingnya, mobil “matahari” itu kemudian tidak lagi disebut sebagai mobil bertenaga matahari, melainkan mobil bertenaga listrik. Ini disebabkan sumbangan tenaga listik dari solar sel memang tidak terlalu besar, tidak sampai sepertigabelas saja. Selebihnya berasal dari aki yang selalu dicharge setiap mereka mempuh jarak tertentu. Bahkan di negara-negara yang lebih maju, solar sel kebanyakan hanya dijadikan sumber pemasok listrik untuk keperluan instrumentasi, seperti lampu, klakson, wiper, AC dan sebagainya.
Sedangkan pemasok listrik utama tetap menggunakan aki atau baterai kering yang dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki kapasitas cukup besar. Dengan kata lain, cadangan listrik yang tersimpan di baterai cukup besar untuk menggerakkan mobil cukup jauh dan efisien.
Mobil WW II –yang dibuat oleh tim yang berbeda dengan tim WW I– dimaksudkan untuk memperbaiki beberapa “kekurangan” yang terdapat pada generasi pendahulunya. Karena itu, kita lihat bentuk mobil WW II, misalnya, lebih menyerupai mobil sungguhan dengan penumpang dua orang.
Panjang bodi 3,250 meter, lebar 1,550 meter, tinggi 1,200 meter, track belakang 1,300 meter, track depan 1,350 meter, jarak antar poros roda 2,000 meter, dan jarak bodi dengan tanah sekitar 0,200 meter. Posisinya seperti mendekam di atas tanah, tipe mobil dengan angka tahanan angin Cd yang cukup baik.
Bodi dibuat dari bahan fiberglas, sebagaimana generasi pertama. Bahan ini memang dimaksudkan
agar bobot mobil bisa dibuat seringan-ringannya. Dengan bahan ini, WW II memiliki bobot 750 kg. Jika ditambah bobot 2 orang penumpang (maksimal 150 kg), maka bobot totalnya menjadi 900 kg, atau sekitar satu setengah kali bobot WW I.
Lebih dari itu, WW II sebenarnya juga dirancang untuk bisa lari lebih kencang dibanding WW I. Jika WW I dirancang bisa melaju 40 km per jam, dan kemudian terbukti bisa mencapai 55 km per jam, WW II dirancang untuk bisa berlari dengan kecepatan 60 km per jam. Namun kemudian terbukti bahwa WW II memiliki kecepatan rata-rata 40 km per jam.
Bahkan ketika menjelang masuk “kandang”, WW II yang sempat dipacu mencapai kecepatan sekitar 70 km per jam, mengalami kerusakan fatal pada bantalan cross join-nya.
Selain itu, beberapa kali WW II mengalami kendala pada sistem supply listriknya, tekor terus meskipun kemudian bisa diatasi. Semua itu memang bisa dimaklumi, karena perjalanan itu memang merupakan proyek uji coba. Dari proyek semacam inilah diketahui letak kekurangan dan kelebihan prototipe yang dibuat.
Agaknya ada beberapa persoalan mendasar yang perlu dikaji ulang oleh anggota berkaitan dengan konsep mobil listrik itu, mulai dari sistem kelistrikannya sampai pada sistem mekanis dan dan ekuipmennya.
Ada beberapa catatan yang barangkali bermanfaat untuk bahan kajian ulang tim WW II atau tim mobil listrik generasi berikutnya. Atau setidak-tidaknya menjadi obrolan pinggir ketika tim membicarakan sekitar evaluasi road test baru lalu. Catatan itu saya kelompokkan menjadi dua garis besar, sebagai berikut:
1. Sistem Kelistrikan
Sumber tenaga listrik WW II berasal dari 9 buah aki 12 volt, 80 Amper jam, untuk memasok kebutuhan motor listrik yang berdaya 4.500 watt.
Dengan kata lain, jika mobil itu dijalankan terus-menerus dengan kecepatan puncaknya, 60 km per jam, maka aki akan habis dalam waktu sekitar 1,5 jam. Ini tentu kurang efisien, apalagi jika orientasinya kepada mobil komersial seperti yang diinginkan oleh tim WW II.
Dalam hal ini yang menjadi persoalan utama adalah kapasitas listrik yang dimiliki baterai. Mestinya dipilih jenis baterai kering yang memiliki kapasitas lebih besar sehingga daya jelajah mobil menjadi lebih baik. Jenis baterai yang kini sedang papuler digunakan di negara maju adalah baterai nikel-cadmium. Selain kapasitasnya besar, bobotnya juga menjadi lebih ringan.
Dalam rancangan WW II memang kekurangan itu bisa dibantu oleh tambahan tenaga yang dihasilkan solar sel, tetapi tambahan itu tidak cukup banyak, maksimal hanya 270 watt. Padahal kelengkapan mobil seperti lampu, klakson, dan sebagainya membutuhkan sekitar 200 watt. Jadi sebenarnya sudah pas-pasan.
Dengan kata lain gerakan mobil hanya bergantung pada kekuatan aki. Karena itu, jalan keluarnya ada dua, yaitu melakukan penelitian untuk menemukan aki atau baterai yang berkapasitas besar dan menemukan motor yang berdaya besar, tetapi membutuhkan pasok listrik minim. Atau dengan kata lain, motor yang memiliki efisiensi sangat baik. Jika kedua persoaIan kunci itu belum ditemukan, mobil-mobil listrik generasi berikutnya akan terbentur pada persoalan yang sama.
2. Sistem Mekanis dan Ekuipmen
Dari tes yang dilakukan kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ketelitian pembuatan peralatan mekanis dan ekuipmen perlu ditingkatkan. Ini, misalnya, terlihat dari pecahnya bantalan cross join saat mobil dipacu pada kecepatan 70 km per jam. Mestinya, rancangan diberi toleransi cukup besar sehingga tidak sampai terjadi hal yang membahayakan itu.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan ialah, sistem pengereman sebaiknya memiliki kemampuan untuk mengonversi tenaga translasi menjadi tenaga listrik kembali atau tenaga potensial lainnya yang bisa dimanfaatkan pada kesempatan berikutnya.
Lebih baik jika bobot kendaraan bisa ditekan, angka hambatan angin diperkecil, dan angka gesekan pada roda maupun transmisi ditekan lebih rendah lagi. Memang itu ideal, memang itu sulit. Tetapi itulah langkah kunci untuk menggapai mobil listrik. Apalagi untuk menggapai sang “matahari”.(agus mustofa)
Sumber: Jawa Pos tanpa tanggal