Tutupan Hutan Kian Berkurang

- Editor

Jumat, 9 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Analisa Greenpeace menunjukkan periode moratorium pemberian izin baru di hutan alam primer dan gambut pada 2011 – 2018 terjadi penurunan tutupan hutan yang lebih tinggi dibandingkan periode 2005-2011. Kebakaran hutan dan lahan di areal moratorium pun masih ditemui hingga kini.

Dengan temuan ini, Greenpeace berharap agar kebijakan penghentian izin baru di hutan alam primer dan gambut yang diinfokan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kompas, 8 Agustus 2019) berbentuk Peraturan Presiden, bukan Instruksi Presiden. Pemerintah pun didesak agar memperluas cakupan moratorium dengan melindungi 33,3 juta hektar hutan primer (ha) dan 6,5 juta ha gambut di luar area moratorium.

Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik, Kamis (8/8/2019) di Jakarta, menunjukkan Inpres Moratorium yang diklaim melindungi 65,9 juta ha hutan alam primer dan gambut, seluas 51,3 juta ha (78 persen) merupakan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. “Artinya, ada atau tidak ada moratorium, kawasan hutan konservasi dan hutan lindung ini telah terlindungi undang-undang. Hanya 14,6 juta hektar hutan dan gambut (22 persen) yang efektif dilindungi moratorium,” katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seperti diberitakan, kebijakan penghentian sementara atau moratorium pemberian izin baru di hutan alam primer dan gambut yang berlangsung sejak 2011 dan diperpanjang setiap dua tahun, telah berakhir 17 Juli 2019, dalam Inpres No 6 tahun 2017. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memastikan Presiden Joko Widodo pada 5 Agustus 2019, telah menandatangani kebijakan penghentian pemberian izin secara permanen.

Penghentian pemberian izin itu diputuskan setelah mengevaluasi pelaksanaan moratorium selama delapan tahun terakhir. Areal penundaan pemberian izin itu digambarkan secara spasial dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Ijin Baru (PIPPIB) yang diperbaharui Kementerian Kehutanan (kini KLHK) tiap enam bulan sekali telah stabil. Areal PIPPIB sudah mempunyai luasan relatif stabil atau tetap di angka 65,9 juta ha.

Kiki Taufik menyebutkan analisis Greenpeace Indonesia menunjukkan perlindungan pada 65,9 juta ha itu belum maksimal. Masih ada 33,3 juta ha hutan alam primer dan 6,5 juta ha gambut belum terlindungi.

“Apa yang dilakukan pemerintah seperti propaganda melakukan perbuatan baik yaitu ada peraturan. Tapi the devil is in the details. Deforestasi tinggi di area moratorium malah lebih tinggi setelah moratorium daripada sebelum moratorium,” ungkapnya.

Komitmen global
Ia mengingatkan, Indonesia memiliki komitmen global dalam perlindungan hutan dan gambut terkait perubahan iklim. Penurunan emisi 29-41 persen tak bisa tercapai jika kebijakan penghentian sementara yang ditandatangani presiden, masih seperti inpres terdahulu.

“Sia-sia saja. Di saat sama pun Presiden (dalam orasi kemenangan dan sejumlah kebijakan lain) memaksakan agar investor masuk seluas-luasnya,” katanya. Berdasarkan kajiannya, Greenpeace Indonesia menyebut tutupan hutan yang hilang dari 2012-2018 di areal moratorium mencapai 1,2 juta hektar (ha), dengan rerata tahunan 137.000 ha. Angka itu justru lebih tinggi jika dibandingkan kehilangan tutupan hutan sebelum moratorium diberlakukan dari 2005-2011 yakni 800.000 ha, dengan rerata 97.000 ha bagi area moratorium sama.

Dari sisi kebakaran hutan dan lahan, dari total 3,4 juta ha areal terbakar di Indonesia pada periode 2015-2018 seluas 1 juta hektar areal terbakar tersebut terjadi di areal moratorium terutama di Kalteng, Papua, Sumsel dan Riau. Di tahun 2015, luasan areal terbakar di area moratorium seluas 700.000 ha serta dari Januari-Agustus 2019 ada 25 persen titik panas teredeteksi di area moratorium.

Temuan ini pun menunjukkan kebijakan moratorium bila diberlakukan aturan main seperti periode lalu, tak akan membantu Indonesia dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Bahkan ada indikasi, areal berhutan yang masuk kategori hutan alam primer sengaja dibakar agar kualitasnya turun menjadi hutan alam sekunder sehingga bisa dibebani izin.

Di sisi lain, Greenpeace Indonesia pun mengkhawatirkan kebijakan moratorium bagi masyarakat adat di Papua. Selama periode 2011-2019, terdapat seluas 1,3 juta ha hutan alam primer dan gambut yang dikeluarkan dari area moratorium dan terdapat seluas 3 juta ha dimasukkan dalam areal moratorium.

“Bukannya kami tidak suka areal yang dimoratorium itu bertambah, tapi kalau di Papua ini areal yang dimasukkan dalam moratorium jangan sampai hutan adat yang menjadi tempat hidup masyarakat adat setempat,” kata dia.

Peter Masakoda, Ketua Himpunan Pemuda Moskona Papua Barat, mengatakan ancaman industri ekstraktif penebangan kayu dan perkebunan sawit terus mengancam daerahnya, di Teluk Bintuni. Ia berharap kebijakan moratorium disertai kebijakan lain berupa pengakuan akan masyarakat hukum adat beserta ruang dan hutan yang menjadi wilayah kelolanya.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Peter Masakoda, Ketua Himpunan Pemuda Moskona Papua Barat (kiri) dan aktivis Greenpeace Indonesia Arie Rompas, Kamis (8/8/2019) di Jakarta, meminta agar perlindungan terhadap hutan dan gambut di Indonesia, terutama di Papua, dipermanenkan.

Ia pun mengatakan kebijakan daerah seperti Peraturan Daerah Khusus Papua Barat tentang Pembangunan Berkelanjutan hingga kini belum implementatif. Ia berharap kebijakan-kebijakan pemerintah memiliki keberpihakan pada masyarakat adat.

Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum memberi klarifikasi atas hasil analisis Greenpeace Indonesia. Dalam keterangannya beberapa waktu lalu, KLHK malah menyatakan moratorium membantu Indonesia menurunkan angka deforestasi. Data terbaru Sipongi KLHK menunjukkan luas kebakaran hutan pada tahun ini 135.749 ha. Dari luasan ini, seluas 104.746 ha berada di tanah mineral dan 31.002 ha berada di gambut.

Dalam analisanya, Greenpeace menggunakan data dari University of Maryland. Organisasi lingkungan tersebut tak menggunakan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena hingga kini tak bersedia membuka data peta dalam bentuk shape file (SHP) atau hanya dalam format gambar yaitu JPG/JPEG yang tak bisa diolah.–ICHWAN SUSANTO

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 9 Agustus 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB