Truman Simanjuntak, Suara dari Silam

- Editor

Kamis, 31 Desember 1998

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tahukah Anda lebih 99,99 persen dari rentang waktu manusia menghuni kawasan Nusantara ini berada pada masa prasejarah? Ini bukan olok-olok, sebab faktanya memang demikian, meski pertanyaan di atas sesungguhnya lebih dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa peradaban yang pernah melintas di negeri ini (paling tidak dalam hitungan waktu-Red) ternyata sangat didominasi oleh kehidupan prasejarah.

Oleh karenanya, dalam perspektif arkeologi, kehidupan prasejarah boleh disebut sebagai bidang kajian dengan besaran waktu dan wilayah geografis yang relatif tak terhingga. Faktor inilah yang membuat Dr Harry Truman Simanjuntak (47) merasa sangat tertantang untuk menggeluti dunia prasejarah, bidang yang tak banyak diminati orang.

”Dari sudut pandang arkeologi prasejarah, semua itu merupakan rimba belantara kajian yang sangat luas, tetapi sekaligus menantang. Di sana, di balik suatu tinggalan berupa artefak dan benda-benda arkeologis lainnya, memunculkan rasa ingin tahu yang luar biasa,” kata doktor prehistory dari Institut de Paleontologie Humaine, Paris, Perancis (1991) ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KETIKA memutuskan memilih arkeologi prasejarah sebagai bidang kajian, lelaki kelahiran 27 Agustus 1951 di Pematangsiantar, Sumatera Utara (saat itu, di AS Harry S Truman menjadi presiden; 1945-1953—Red) ini sadar betul betapa luas wilayah penelitian yang harus digarap. Keluasan itu tidak hanya menyangkut aspek geografis. Batasan kronologisnya pun hampir-hampir mencakup sepanjang zaman.

Bayangkan jika awal kehidupan manusia di Nusantara bertolak dari hitungan era Pithecantrophus, berarti jejak makhluk bernama manusia di wilayah ini sudah ada sejak 1,8 juta tahun lampau. Rentang waktu itu akan menjadi lebih lebar jika pijakan dimulai dari pertanggalan Homo Mojokertensis dan manusia Sangiran, yakni dari masa sekitar 1,9 juta tahun lampau. Katakanlah masa itu terjadi sejak dua juta tahun lalu, yakni pada kala plestosen awal, Nusantara khususnya Jawa –sudah dihuni oleh makhluk bernama manusia.

Padahal kita tahu, perhitungan tahun Masehi saja baru menjelang tahun ke-2000. Sedangkan hitungan sejarah Nusantara baru dimulai pada abad ke-4, ditandai penemuan prasasti yang disebut batu yupa beraksara Pallawa dan berbahasa Sansekertd di Kutai, Kalimantan Timur. Jika awal sejarah Nusantara ditarik dari garis ini maka ruang dan waktu yang ditempatinya hanya 0,1 persen dari keseluruhan sejarah kehidupan manusia di kawasan yang sama.

”Apakah ini tidak luar biasa menariknya untuk diteliti? Apa yang terjadi sejak Homo Erectus dan Pithecantmphus masuk ke Jawa sekitar dua juta tahun lampau lalu kehidupan macam apa yang mereka ’kembangkan’ hingga masa peralihan dari prasejarah ke sejarah?”

Tidak ada bukti tertulis yang bisa dijadikan pegangan untuk sebuah interpretasi lebih lanjut. Perpindahan dari masa prasejarah ke sejarah, antara Iain, ditandai oleh bukti peninggalan tertulis. Tetapi apakah selalu demikian? Dari sudut pandang arkeologi, apa yang bisa dikategorikan sebagai masa prasejarah di Nusantara tidak dengan sendirinya berakhir begitu era sejarah dimulai.

Pola hidup berburu atau mengumpulkan makanan tingkat lanjut misalnya, pada suku-suku tertentu masih berlangsung. Sedangkan mata pencaharian yang sekarang dikenal sebagai sistem peladang berpindah, juga merupakan peninggalan budaya prasejarah. Kuat dugaan, budaya kekerasan yang akhir-akhir ini merebak luas di seantero Nusantara tak Iain juga merupakan kelanjutan dari peradaban prasejarah yang terus hidup, tetapi berkembang dalam besaran dan warna yang berbeda. Dengan kata lain, di tengah arus modernisasi yang begitu deras masuk ke negeri ini, unsur-unsur prasejarah masih menjadi semacam enclave dalam keriuhan global.

Gambaran selintas itu, bagi Truman Simanjuntak, menyisakan banyak pertanyaan. Lewat benda semacam kapak berimbas, misalnya, dapat digali mulai dari aspek teknologi dan fungsinya hingga latar belakang bahan serta fungsi sosial benda bersangkutan. Di sinilah seorang arkeolog prasejarah dituntut kemampuannya –sesuai disiplin ilmu yang ia tekuni– untuk bisa “membaca” peristiwa masa lampau.

”Ketika berhadapan dengan benda prasejarah, kita sesungguhnya berdialog dengan kebisuan. Tetapi jangan salah, dialog bisu tersebut tidak bersifat satu arah, karena pada dasarnya benda itu memberikan semua jawaban dari yang kita tanyakan. Persoalannya tinggal pada kemampuan kita untuk mengolahnya Dan itu menuntut kejelian,” papar Simanjuntak.

20160925_172255wBenda-benda tinggalan prasejarah boleh djkatakan ”berserakan” di seantero Nusantara: mulai dari ujung atas Sumatera hingga ke perbatasan Papua Nugini di pedalaman Irian Jaya. Namun karena berbagai keterbatasan, termasuk rendahnya tingkat kepedulian bangsa ini pada sejarah masa lampau, baru sebagian kecil wilayah dan temuan yang bisa diteliti secara agak lebih intensif.

SEBAGAI ilmuan yang bergerak dalam wilayah kajian seluruh peradaban budaya material masa lampau (baca: prasejarah), di luar bidangnya nama Harry Truman Simanjuntak memang tidak dikenal. Tidak seperti ahli-ahli ilmu sosial lain, terutama disiplin ilmu politik dan ekonomi, wilayah garapan ayah dari dua anak ini sepi dari hingar-bingar reformasi yang kini arahnya semakin bias.

Lebih dari itu, bidang penelitian yang ia geluti bersama rekan-rekan seprofesinya di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga jauh dari gemerlap pujian dan imbalan jasa. Hampir tak ada undangan berseminar di hotel-hotel berbintang seperti halnya pengamat ekonomi-politik, sehingga terkadang lupa mengembangkan disiplin ilmu masing-masing.

Tidak demikian dengan para arkeolog seperti Truman Simanjuntak. Meski nama mereka tak dikenal di forum-forum seminar komersial, toh setiap tahun selalu ada pertemuan ilmiah di antara mereka. Dalam forum semacam itu, para arkeolog dari berbagai bidang dimintai semacam pertanggungjawaban atas hasil-hasil penelitian yang mereka lakukan sepanjang tahun.

Dari pertemuan-pertemuan itu selalu muncul terbitan berkala ilmiah, salah satu bukti bahwa mereka memang setia pada profesi keilmuannya. Sesekali, Harry Truman juga diminta mengisi jurnal ilmiah di luar negeri. Publikasi seperti Indo-Pacific Prehistory Association Bulletin; L’Antropologie (Paris); Les Dossiers d’Archeolgie; dan Journal of Human Evolution adalah jurnal bergengsi tempat tulisan-tulisannya pernah dimuat.

Profesi yang ia pilih, seperti juga arkeolog lain, adalah dunia marjinal di tengah gegap gempita pembangunan. Ketika banyak orang seperti bersaing untuk tampil bersuara paling keras, Harry Truman Simanjuntak dan rekan-rekannya justru lebih asyik ”berdialog dengan kebisuan”, mengkaji peradaban budaya masa lampau yang diam.

”Dunia arkeologi memang tidak memberi jawaban langsung terhadap kebutuhan pembangunan. Meski demikian, kalau kita mau belajar dari kearifan yang dikandungnya, arkeologi bisa membantu bangsa ini untuk mengembangkan peradaban yang lebih baik. Masalah integrasi bangsa misalnya, seharusnya tak perlu berkembang menjadi isu negatif kalau kita sadar, bahwa heterogenitas dan homogenitas budaya itu terjadi lewat suatu proses panjang, yakni sejak prasejarah,” ujarnya.

Adagium klasik, bahwa tanpa masa lampau tidak akan pernah ada masa kini –apalagi masa depan– bagi Harry Truman Simanjuntak adalah pemicu mengapa ia memutuskan masuk Jurusan Arkeologi di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Setelah lulus (1979) Harry Truman tercatat sebagai tenaga peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta, sebelum akhirnya mendapat tawaran melanjutkan pendidikan tingkat master (1987) dan doktor (1991) bidang prasejarah di Institut de Paleontologie Humaine, Paris.

Kini,selain sebagai Kepala Bidang Prasejarah di Pusat Penelitian ArkeoIogi Nasional, Harry Truman masih aktif terjun ke lapangan,meneliti keberadaan tinggalan prasejarah untuk mengungkap peristiwa masa lampau yang penuh misteri. Melalui benda-benda saksi sejarah itu ia pun ”berdialog dengan kebisuan”. Sepanjang masa!

(Kenedi Nurhan)

Sumber: Kompas, Kamis 31 Desember 1998

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 69 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB