Transaksi Daring dalam Pendidikan

- Editor

Rabu, 27 April 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Salah satu dampak dahsyat dari internet adalah disintermediasi. Ini berarti bahwa pihak yang berfungsi sebagai mediator atau perantara jadi kurang relevan dan akhirnya tersingkir. Internet telah mengambil alih peran tersebut.

Kecenderungan ini kian masif mewarnai berbagai bidang kehidupan kita. Paling kentara, internet telah menyingkirkan tukang pos dan sedang menggusur teller bank. Kehebohan dalam pertaksian dan perojekan merupakan wujud mutakhir dari proses disintermediasi ini.

Sebenarnya, yang sedang terancam eksistensinya oleh internet bukan hanya perusahaan taksi, tetapi semua pihak yang mengambil peran sebagai perantara, seperti toko, agen, distributor, dan tentu saja para guru dan dosen. Internet memungkinkan transaksi terjadi secara langsung antara produsen dan konsumen, antara penumpang dan sopir taksi, serta antara siswa dan pengetahuan. Interaksi atau transaksi langsung ini menciptakan sistem yang lebih efisien dan murah, tetapi mereka yang tergusur merasa diperlakukan tidak adil.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kemandirian
Namun, tidak setiap proses disintermediasi memunculkan ancaman eksistensi, khususnya bila prosesnya berlangsung secara bertahap dan terjadi perumusan ulang peran mereka yang selama ini hanya berfungsi sebagai perantara. Bahkan beberapa pihak mendorong terjadinya percepatan disintermediasi ini, seperti bank yang mendorong pemakaian e-banking, lembaga pendidikan yang mempromosikan e-learning, dan lembaga pemerintah yang terus mengembangkan e-government.

Meskipun transaksi dan relasi yang dimediasi internet sering kurang nyaman dibandingkan memakai mediator manusia, tetapi semakin cerdasnya gadget akan mempercepat proses disintermediasi ini. Kalau saat ini koran kertas masih laku, itu karena sebagian besar pembacanya masih merasa lebih nikmat membaca kertas ketimbang membaca layar gadget. Namun, kalau kita perhatikan lebih jauh, sangat sedikit generasi muda usia di bawah 20 tahun yang membaca koran kertas. Generasi ini tidak pernah merasakan nikmatnya membaca koran kertas. Bagi mereka, gadget lebih memberikan fleksibilitas dan kenikmatan membaca. Eksistensi koran kertas, buku, dan majalah tinggal menunggu waktu. Institusi penerbitan menjadi salah satu yang terancam eksistensinya.

Akan tetapi, sebagian besar institusi pendidikan yang sejatinya mengambil peran sebagai mediator dalam pembelajaran belum merasa terancam eksistensinya. Padahal, salah satu unit pendukungnya, yakni perpustakaan, sudah lama merasakan efek disintermediasi ini. Buku-buku di perpustakaan saat ini hanya jadi semacam pajangan karena pengunjung lebih senang mengakses informasi dan pengetahuan secara daring. Koleksi digital memberikan fleksibilitas, efisiensi, dan kecepatan akses informasi. Dalam konteks ini, rencana DPR membangun gedung perpustakaan terbesar di Asia menyiratkan ketidaktahuan fenomena disintermediasi ini.

Apakah e-learning akan segera menggusur guru dan dosen? Kenyataannya, e-learning yang sudah beredar 15 tahun terakhir tidak atau belum menggusur guru dan dosen. E-learning sebagai sistem belajar yang memungkinkan siswa/mahasiswa berinteraksi langsung dengan informasi dan pengetahuan belum signifikan mengubah praktik pembelajaran formal di Indonesia.

Interaksi tatap muka antara guru-murid masih mendominasi pembelajaran kita, meski sudah semakin intensif didukung sarana komunikasi digital. Realitas ini harus kita sikapi dengan kritis karena sebenarnya potensi internet meningkatkan kualitas kegiatan belajar sangat besar. Bila teknologi digital beserta internet hanya digunakan untuk meningkatkan kualitas interaksi guru- murid lewat presentasi multimedia dan komunikasi daring, potensi besar tersebut belum termanfaatkan secara optimal. Lagi pula, model pembelajaran seperti ini pada saatnya akan menggusur guru/dosen.

Pemanfaatan internet hanya akan optimal bila kita mengambil sikap bahwa tantangan utama pembelajaran saat ini adalah kemandirian belajar dan bukan penjejalan informasi. Kemandirian itu bukan hanya menyangkut kemampuan siswa untuk mencari, menyaring, dan mengintegrasikan materi belajar yang tersedia melimpah, tetapi lebih dilandasi berlangsungnya pertumbuhan pengetahuan secara eksponensial.

Pertumbuhan pengetahuan seperti itu menuntut siswa untuk semakin mandiri dalam belajar dan tidak melulu bergantung pada guru dan kurikulum. Bila kemandirian belajar ini dapat berkembang optimal, pada gilirannya anak-anak akan memiliki kemandirian hidup, khususnya di zaman ketika pengetahuan dan kreativitas menjadi panglima kehidupan.

Orientasi pendidikan pada kemandirian belajar juga akan menyederhanakan kurikulum yang selama ini dirasakan terlalu berat. Hal ini mungkin karena kurikulum hanya perlu memuat hal-hal mendasar untuk kepentingan analisis serta pengambilan kesimpulan, dan tidak perlu memuat banyak hal yang bersifat informatif karena internet telah menyediakannya.

Guru beralih peran
Gagasan pendidikan modern seperti itu hanya dapat terwujud lewat implementasi model pembelajaran yang berpusat pada siswa atau student centered learning. Pembelajaran model ini paling efektif diwujudkan dengan kegiatan belajar berupa studi kasus, pemecahan masalah, atau pembuatan proyek.

Untuk itu, guru/dosen tidak lagi pertama-tama mengajar atau menerangkan, tetapi menjadi pendamping atau mentor. Selain itu, guru harus menyiapkan materi ajar digital yang dapat diakses dari blog guru dan dikuasai siswa secara mandiri.

Dengan skenario seperti ini, guru/dosen perlahan beralih peran dari mediator jadi fasilitator. Meskipun transaksi dan komunikasi digital akan terus mengancam eksistensi para pihak yang menjadi mediator, guru dan dosen mempunyai kesempatan untuk merumuskan ulang peran barunya. Perumusan ini perlu dilakukan tidak semata-mata atas alasan kepentingan eksistensi dan pertimbangan ekonomi, tetapi hendaknya dilandasi kesadaran untuk memberikan layanan pendidikan yang semakin berkualitas dan kontekstual dengan tantangan zaman.

Sementara itu, siswa akan terbiasa dengan proses-proses kreatif pemecahan masalah yang sangat penting dalam menyiapkan dirinya membangun kemandirian hidup demi menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian tetapi juga penuh dengan peluang baru.

Johanes Eka Priyatma, Dosen Teknik Informatika Unversitas Sanata Dharma Yogyakarta
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2016, di halaman 7 dengan judul “Transaksi Daring dalam Pendidikan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB