Perkembangan teknologi komputasi dalam beberapa dekade terakhir bergerak cepat. Penggunaan teknologi berbasis kecerdasan artifisial atau Artificial Intellegence (AI) telah banyak digunakan oleh masyarakat. Sebut saja penggunaan Chat GPT, face biometrics, aplikasi-aplikasi seperti Canva, sosial media TikTok, Facebook, Instagram, Youtube, bahkan e-commerce sangat erat kaitannya dengan penggunaan kecerdasan artifisial dalam sistemnya.
Beberapa aplikasi berteknologi kecerdasan artifisial tersebut tentu saja menjadi contoh dari cara meningkatkan produktivitas sebuah pekerjaan. Tetapi, kemajuan teknologi ini rupanya juga mengundang beberapa kecenderungan negatif yang tidak saja merugikan diri sendiri tapi juga merugikan orang lain. Sebut saja aplikasi deepfake yang dibuat dengan tujuan mendiskreditkan seseorang, untuk menipu, ataupun untuk menyebarkan disinformasi.
“Selain itu, penyalahgunaan lainnya yaitu penggunaan generative AI (seperti chatGPT, gemini, dll) untuk menghasilkan konten dalam penyelesaian tugas, dengan mengakui bahwa konten tersebut buatan sendiri, bukan dihasilkan oleh teknologi kecerdasan artifisial,” kata Assoc Prof. Dr. Eng. Ayu Purwarianti, S.T., M.T. kepada Majalah Gontor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan mewawancarai Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (STEI-ITB) dan Pusat AI ITB seputar perkembangan kecerdasan artifisial dan pengaruhnya di masyarakat. Simak ulasannya:
Apa itu kecerdasan buatan?
Istilah artificial intelligence pertama muncul di tahun 1956 oleh John Mc-Carthy dengan definisi: “Getting a computer to do things which, when done by people, are said to involve intelligence”. Selain itu, Kurzweil di tahun 1990, memberikan definisi yang sama yaitu “The art of creating machines that perform functions that require intelligence when performed by people”.
Dari dua definisi di atas, dapat diartikan bahwa artificial intelligence adalah bidang ilmu yang mempelajari agar komputer bisa melakukan fungsi yang membutuhkan kecerdasan jika dilakukan manusia.
Di Indonesia, istilah artificial intelligence diterjemahkan menjadi kecerdasan artifisial, kecerdasan tiruan, kecerdasan buatan. Istilah kecerdasan artifisial istilah baru, namun diresmi-kan penggunaannya pada Dokumen Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia. Selanjutnya, jawaban saya akan menggunakan istilah kecerdasan artifisial.
Apa tujuan penciptaan dari teknologi kecerdasan buatan?
Pada dasarnya, setiap teknologi itu dibuat untuk memberi kemudahan bagi manusia dalam melakukan pekerjaan tertentu. Hal ini juga berlaku untuk teknologi kecerdasan artifisial. Output yang dihasilkan teknologi kecerdasan artifisial diusahakan semirip mungkin dengan respons/output yang dihasilkan manusia. Selain untuk memudahkan manusia dalam melakukan pekerjaan tertentu, teknologi kecerdasan buatan juga bisa menghindarkan manusia dari pekerjaan clerical yang membutuhkan panca indra serta berbasis inteligensi, seperti misalnya untuk mengenali wajah seseorang dalam sebuah aplikasi face biometrics, atau untuk mengklasifikasi apakah sebuah kalimat itu bernada positif atau negatif dalam sebuah aplikasi social media monitoring dan lain-lain.
Yang perlu dicatat bahwa teknologi kecerdasan artifisial tidak boleh membahayakan manusia, baik sebagai pengguna ataupun manusia sebagai yang terkena dampak dari teknologi. Teknologi ini harus digunakan untuk meningkatkan kehidupan manusia.
Apa saja manfaat dari teknologi kecerdasan buatan?
Secara garis besar, manfaat teknologi kecerdasan artifisial sebagai berikut: 1) Meningkatkan produktivitas sehingga bisa mengurangi biaya pekerjaan, termasuk mengurangi waktu pengerjaan. Misalnya teknologi kecerdasan artifisial membantu menuliskan notulensi dari rekaman suara rapat, sehingga notulensi untuk rapat 2 jam yang biasanya dikerjakan dalam waktu 2-3 hari, jadi bisa terselesaikan dalam waktu 3-4 jam; 2) Menaikkan keuntungan bisnis, contohnya fungsi rekomendasi pada e-commerce yang dapat meningkatkan jumlah transaksi pembelian yang dilakukan pelanggan; 3) Meningkatkan customer engagement, contohnya chatbot perusahaan yang dapat melayani pertanyaan pelang-gan 24 jam x 7 hari, tanpa libur dan; 4) Menghasilkan inovasi yang dapat memunculkan bisnis/ produk/ layanan baru, contohnya algoritma pengelompokan jenis pelanggan yang dapat memunculkan layanan baru pengiriman barang.
Apa saja risiko yang Anda temukan dari teknologi kecerdasan buatan?
Risiko teknologi kecerdasan artifisial dapat dibagi menjadi tiga jenis: sebagai sebuah produk teknologi, sebagai bagian dari teknologi informasi (dan otomatisasi), serta sebagai teknologi kecerdasan artifisial yang menggunakan pendekatan pembelajaran pola dari data.
Sebagai sebuah produk, risiko teknologi kecerdasan artifisial meliputi: a) Penggunaan teknologi untuk hal yang tidak baik, sebagai contoh: mis-informasi, penipuan, mencontek; b) Penguasaan teknologi oleh satu atau beberapa kelompok.
Sebagai bagian dari teknologi informasi dan otomatisasi, risiko teknologi kecerdasan artifisial meliputi: a) Keterlindungan data pribadi; b) Kehilangan peluang kerja bagi manusia, karena tergantikan teknologi; c) Manusia kehilangan otonomi; d) Cybersecurity; e) Ketergantungan berlebihan.
Sebagai sebuah teknologi yang mempelajari pola secara otomatis dari data, risiko teknologi kecerdasan artifisial meliputi: a) Bias atau diskriminasi; b) Halusinasi ataupun output yang tidak akurat; c) Hyper personalization; d) Kurangnya transparansi di berbagai poin seperti data, model, komputasi, risiko, limitasi dan lain-lain; e) Tidak memiliki explainability yang baik karena dasar pengambilan keputusan tidak dapat dijelaskan; f) Pelanggaran hak cipta; g) Kemungkinan outputnya mengandung plagiat.
Apa saja manfaat kecerdasan buatan untuk bidang pendidikan?
Di bidang pendidikan, kecerdasan artifisial dapat digunakan oleh berbagai pihak seperti guru, siswa maupun tenaga administrasi. Guru dapat menggunakan teknologi kecerdasan artifisial dalam berbagai tahapan pembelajaran, seperti penyiapan kegiatan pembelajaran, pelaksanaan kegiatan pembelajaran (tatap muka) serta evaluasi hasil pembelajaran.
Bagi siswa, penggunaan teknologi kecerdasan artifisial dalam pembelajaran harus dilakukan di bawah panduan dari guru atau tutor, karena teknologi kecerdasan artifisial saat ini mengandung beberapa risiko seperti ketergantungan yang berlebihan ataupun ketidakakuratan output. Salah satu contohnya, sebaiknya menggunakan tools dengan teknologi RAG (retrieval augmented generation) yang menggabungkan search engine dan LLM (large language model) seperti copilot bing atau perplexity untuk melakukan pencarian informasi dibandingkan dengan tools dengan teknologi LLM saja (seperti chatGPT atau gemini) karena pengguna bisa melakukan verifikasi informasi dengan lebih mudah, dengan cara menelusuri link sumber informasi yang sebagai bagian dari informasi yang dihasilkan tools tersebut. Atau jika pengguna masih ingin menggunakan tools dengan teknologi LLM saja untuk mencari informasi, maka pengguna perlu melakukan pengecekan informasi untuk memastikan bahwa informasi yang dihasilkan tools tersebut valid, seperti panduan yang dikeluarkan oleh UNESCO.
Satu hal yang diyakini oleh para penggiat kecerdasan artifisial bahwa orang yang menggunakan teknologi kecerdasan artifisial akan mengalahkan persaingan melawan orang yang tidak menggunakan teknologi ini. Hal ini juga terjadi pada bidang pendidikan. Yang paling penting setiap orang yang menggunakan teknologi kecerdasan artifisial, termasuk di bidang pendidikan, harus dapat menggunakan teknologi ini secara bertanggung jawab, sesuai dengan etika kecerdasan artifisial dengan tujuan untuk menangani risikonya.
Apa saja penyalahgunaan yang muncul dari perkembangan teknologi kecerdasan buatan?
Penyalahgunaan yang sering muncul yaitu deepfake yang bertujuan tidak baik, seperti untuk mendiskreditkan seseorang, untuk menipu, ataupun untuk menyebarkan disinformasi. Selain itu, penyalahgunaan lainnya yaitu penggunaan generative AI (seperti chatGPT, gemini, dll) untuk menghasilkan konten dalam penyelesaian tugas, dengan mengakui bahwa konten tersebut buatan sendiri, bukan dihasilkan oleh teknologi kecerdasan artifisial. Penyalahgunaan lainnya yaitu untuk kepentingan perang, baik berupa AI weapon ataupun AI enabled weapon.
Apakah teknologi kecerdasan buatan bisa melampaui kecerdasan manusia?
Hingga saat ini, teknologi kecerdasan artifisial masih memiliki banyak keterbatasan, termasuk ketidakakuratan output, ketidakmampuan untuk memahami persoalan kompleks yang membutuhkan informasi konteks sosial dll, serta kreativitas yang dihasilkan sangat tergantung dari data yang dimasukkan. Saat ini, teknologi kecerdasan artifisial memiliki performansi yang lebih baik dibandingkan manusia untuk satu domain khusus, misalnya hanya untuk mengenali objek pada gambar, permainan strategi seperti catur, dll. Belum ada satu teknologi kecerdasan artifisial yang memiliki kinerja baik di semua domain dan lebih baik dari manusia. Yang terpenting ke depannya, setiap pengembang, pengguna dan pengatur harus mengikuti etika kecerdasan artifisial yaitu teknologi harus berada dalam kendali manusia, bukan sebaliknya.
Apakah pemerintah Indonesia sudah menyiapkan regulasi yang secara spesifik membahas kecerdasan buatan?
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang Kementerian Komunikasi dan Digital, Red) telah mengeluarkan Surat Edaran No. 9 Tahun 2023 tentang etika kecerdasan artifisial, yang di dalamnya berisi acuan nilai dan prinsip etika bagi berbagai stakeholder yang memiliki aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial. Surat edaran ini tidak bersifat mengikat, sebagai himbauan bagi berbagai stakeholder tersebut.
Selain itu, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) telah mengeluarkan panduan kode etik kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang bertanggung jawab dan terpercaya di industri teknologi finansial.
Selanjutnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi juga mengeluarkan panduan pada Oktober 2024 yaitu Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi.
Apa pesan Anda untuk anak-anak, pelajar, mahasiswa dan para praktisi pendidikan terkait penggunaan teknologi kecerdasan buatan?
Di era revolusi industri 4.0, semua pihak perlu meningkatkan literasi di bidang kecerdasan artifisial termasuk cara menggunakan teknologi kecerdasan artifisial secara efisien dan bertanggung jawab, karena teknologi ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan dapat bermanfaat di berbagai bidang kehidupan. Memiliki literasi kecerdasan artifisial yang baik berarti bahwa penggunaan teknologi kecerdasan artifisial ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang tidak benar, dan penggunaannya harus mampu meningkatkan kemampuan manusia, bukan menurunkan. Hal ini sangat penting untuk menjadi catatan bagi berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan. Semua pihak memastikan bahwa tujuan penggunaan teknologi kecerdasan artifisial yaitu agar tujuan pembelajaran berhasil, termasuk untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis, kemampuan problem solving dan beragam soft skill serta HOTS (High-Orders Thinking Skill) lainnya.
Untuk dapat menguasai literasi kecerdasan artifisial, maka semua kalangan (terutama anak-anak, pelajar, mahasiswa) perlu menguasai literasi dasar terlebih dahulu. Literasi membaca harus dikuasai, termasuk di antaranya memahami sebuah tulisan (yang bisa dihasilkan oleh teknologi kecerdasan artifisial) dan menulis instruksi (atau pertanyaan) yang tepat untuk teknologi Generative-AI. Literasi digital juga harus dikuasai. Pengguna harus kritis terhadap out-put yang dihasilkan teknologi, serta mampu memanfaatkan teknologi untuk hal-hal yang produktif, bukannya menjadi korban teknologi (contoh fenomena brain rot).
Disalin dari: Majalah Gontor, Sya’ban 1446H/ Februari 2025