Bangsa Indonesia terbentuk dari bauran genetika manusia purba. Studi genetika yang dilakukan pada sejumlah warga membuktikan tiap individu terdiri dari beragam gen dalam dirinya. Hal itu menguatkan bahwa klaim pribumi atau manusia murni Indonesia tidak lagi memiliki dasar ilmiah.
Setidaknya keragaman unsur genetika itu terbukti pada 16 orang yang terlibat dalam proyek DNA. Proyek tersebut dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Eijkman bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Historia.id.
Mereka yang menjalani tes DNA (deoxyribo nucleic acid) meliputi, antara lain, presenter Najwa Shihab, politikus Hasto Kristiyanto, penyanyi Nazril Irham atau lebih populer dipanggil Ariel ”Noah”, penulis Ayu Utami, dan produser film Mira Lesmana. Hasilnya, tidak ada satu pun orang dalam penelitian ini yang memiliki gen tunggal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil tes DNA pada Najwa Shihab, misalnya, menunjukkan ada 10 fragmentasi DNA yang berasal dari 10 nenek moyang berbeda. Latar belakang genetika yang dimiliki paling dominan justru dari Asia Selatan (48,54 persen), kemudian Afrika Utara (26,81 persen), Afrika (6,06 persen), Asia Timur (4,19 persen), dan Timur Tengah (3,48 persen).
”Saya sudah menduga hasil (tes DNA)-nya akan cukup kompleks walau memang tidak menyangka akan sebanyak itu percampurannya. Hal yang mengejutkan untuk saya adalah ternyata persentase gen Timur Tengah saya hanya 3,4 persen, bahkan gen Asia Timur (Tionghoa) malah lebih besar,” tutur Najwa Shihab atau yang biasa disapa Nana ini saat dihubungi di Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Keberagaman unsur genetika juga terlihat dari hasil tes DNA Ariel ”Noah” . Ia memiliki lima fragmentasi DNA, yakni 79,78 persen gen Asia Selatan, 15,14 persen Asia Timur, 5,02 persen Asian Dispersed, dan 0,05 persen Timur Tengah. Gen Asia Selatan yang dimiliki Ariel itu merujuk pada negara-negara seperti Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka.
Deputi Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Aru Sundoyo menyampaikan, bauran genetika pada populasi Indonesia amat berkaitan dengan aktivitas migrasi yang dilakukan di masa lalu. Studi genetika yang dilakukan membuktikan Nusantara jadi pusat pembauran manusia purba.
Sebelumnya, studi genetika dengan memakai penanda DNA juga dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dengan melibatkan 70 populasi etnik di 12 pulau. Tes DNA yang dilakukan sama dengan proyek DNA, yakni berdasarkan sampel penanda DNA mitokondria yang diturunkan melalui jalur maternal atau ibu, kromosom Y yang hanya diturunkan dari sisi paternal atau ayah, serta DNA autosom yang diturunkan dari kedua orang tua.
”Pembauran yang ada pada manusia Indonesia kompleks. Secara genetis, empat gelombang migrasi manusia modern ke Nusantara berkontribusi membentuk pembauran genetika manusia Indonesia,” ungkap Herawati.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Deputi Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Aru Sundoyo
Gelombang migrasi
Gelombang itu dimulai dengan kedatangan manusia modern (Homo sapiens) dari Afrika melalui jalur selatan Asia menuju Paparan Sunda sekitar 50.000 tahun lalu. Pada gelombang kedua, migrasi terjadi dari Asia Daratan pada 4.300 sampai 4.100 tahun lalu saat dataran Sumatera, Jawa, dan Kalimantan masih menyatu.
Kemudian, gelombang ketiga pada periode Holosen, sekitar 4.000 tahun lalu, saat migrasi terjadi dari daerah China selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai Sulawesi dan Kalimantan. Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah, termasuk periode masuknya India, Arab, dan Eropa di Kepulauan Nusantara.
Sementara perbedaan fisik yang ditemui pada manusia hingga saat ini masih diteliti. Menurut Herawati, pengembaraan yang dilakukan manusia purba sampai ke Nusantara melalui berbagai perubahan kondisi lingkungan. Kondisi ini bisa menciptakan variasi DNA.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Peneliti Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memeriksa genetika masyarakat Dayak Kenyah di Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Selasa (29/5/2018). Berbeda dengan Punan yang pemburu dan peramu, populasi Kenyah secara tradisional memiliki budaya bercocok tanam sehingga diduga mereka berasal dari gelombang kedatangan yang berbeda.
Toleransi
Gelombang migrasi manusia ke Nusantara yang berpengaruh pada pencampuran gen orang Indonesia menunjukkan adanya toleransi tinggi saat itu. Herawati mengatakan, ”Mereka tidak berkompetisi dengan berperang dan mengambil alih wilayah, melainkan terjadi pembauran. Menariknya, gelombang migrasi yang baru datang beradaptasi dengan yang lama. Begitu pula yang lama juga menerima yang baru. Itu sebabnya, pembauran menjadi makin kompleks.”
Hasil studi genetika itu, menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, bisa memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa di tengah keberagaman yang ada. Kekayaan bangsa Indonesia dengan lebih dari 700 bahasa dan 500 populasi etnik dari budaya yang beragam tidak perlu lagi dipersoalkan.
Bhineka Tunggal Ika sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara semakin relevan untuk dipraktikkan dalam rangka menjaga keutuhan bangsa. Identitas merupakan kontruksi sosial yang kadang justru digunakan untuk merusak keutuhan tersebut.
”Perbedaan seharusnya kita pahami sebagai keragaman, bukan penghalang. Tidak perlu melihat keragaman di suatu keluarga, satu orang saja sudah terdiri dari berbagai macam unsur. Dengan begitu, makin kecil ruang orang untuk intoleran. Jika seseorang itu mau menegaskan suatu identitas, sulit dibuktikan karena dirinya sendiri saja sudah terdiri dari berbagai macam unsur,” ucapnya.
Najwa pun berpendapat, hasil DNA ini menguatkan keyakinan dirinya bahwa Indonesia bukan terkait dengan asal-usul ataupun garis keturunan. Indonesia adalah niat dan upaya bersama untuk membuat negeri ini sebagai rumah bagi semua.
”Sebetulnya yang menarik untuk dites DNA adalah mereka yang kerap memecah belah masyarakat dengan politik identitas, tanpa menyadari bahwa yang sedang diadu domba kemungkinan besar juga memiliki kesamaan asal-usul,” ujarnya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 23 Oktober 2019