Siapa pun yang hendak mendaki Gunung Gandang Dewata wajib ”lapor” kepada Thimotius Sambominanga. Kakek berusia 91 tahun ini adalah juru kunci gunung yang dikenal mistis di wilayah Sulawesi Barat tersebut. Jangan takabur, jangan punya niat buruk, dan jangan merusak alam, begitu pesannya kepada siapa saja yang hendak menuju Gandang Dewata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Timotius Sambominanga (Papa Daud), juru kunci Gunung Gandang Dewata.
Di Mamasa, Sulawesi Barat, nyaris tak ada yang mengenal sosok Thimotius. Namun, di sana ia lebih dikenal dengan panggilan ”Papa Daud”, yang artinya bapaknya si Daud. Daud adalah anak lelaki pertama Thimotius. Selain mengenal sosoknya, tak sulit meminta petunjuk orang-orang di Mamasa di mana letak rumah Thimotius.
Siapa pun boleh mendaki Gandang Dewata. Tetapi, sebaiknya izin dulu dan jangan membawa niat buruk ke sana. Kalau sampai ada niat buruk, saya khawatir akan mendapat celaka
Tak sampai 30 menit dengan sepeda motor maupun mobil menuju rumah Thimotius dari pusat kota Mamasa. Dari kota menuju ke arah jalur pendakian Gunung Gandang Dewata, rumah Thimotius terletak di Desa Buntu Buda, Kecamatan Mamasa, sebuah desa terakhir sebelum mendaki pegunungan yang kini berstatus taman nasional tersebut. Rumahnya dikelilingi persawahan yang terdapat kolam ikan, persis di bagian belakang. Seperti halnya khas Mamasa, rumah Thimotius berbentuk panggung dan berbahan kayu dan berjarak sekitar 50 meter dari jalan desa.
”Siapa pun boleh mendaki Gandang Dewata. Tetapi, sebaiknya izin dulu dan jangan membawa niat buruk ke sana. Kalau sampai ada niat buruk, saya khawatir akan mendapat celaka (musibah),” ucap Thimotius saat dijumpai Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas di rumahnya, Sabtu (17/8/2019).
Thimotius menceritakan asal-muasal nama Gandang Dewata. Tanpa menyebut kapan terjadinya, nama itu diambil dari peristiwa yang kerap dialami para pemburu di gunung dengan ketinggian 3.074 meter di atas permukaan laut itu. Ketika berburu di dalam hutan, para pemburu kerap mendengar suara gendang bertalu-talu. Padahal, tak ada permukiman di dalam hutan. Kampung terdekat pun berjarak dua tiga hari perjalanan dari hutan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Taman Nasional Gunung Gandang Dewata, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Kamis (15/8/2019). Hutan di pegunungan itu masih rapat dan terjaga.
Dalam adat Mamasa, gendang dipukul saat upacara kematian seseorang. Dan benar saja, kata Thimotius, ketika para pemburu itu kembali ke kampung mereka, di sana mereka mendapati salah satu sanak saudara meninggal dunia. Tak hanya sekali, lanjutnya, peristiwa (terdengar suara gendang dipukul saat berburu di hutan) itu terulang beberapa kali.
Gandang Dewata adalah ladang ilmu pengetahuan yang wajib dilindungi.
”Orang-orang percaya bahwa gendang itu dibunyikan oleh para dewa sebagai pertanda,” ujar Thimotius. Di masa lampau, masyarakat di Mamasa masih menganut aliran kepercayaan atau animisme. Hingga kini masih ada sebagian kecil masyarakat yang mempertahankan animisme tersebut.
Perjuangkan status
Thimotius punya peran yang tak bisa dianggap enteng dalam perjalanan penetapan Gandang Dewata sebagai taman nasional. Semua bermula saat dia menjadi pemandu bagi peneliti asal Amerika Serikat pada tahun 70-an. Saat itu, ia masih berusia 40-an tahun dan kerap naik turun gunung sehingga sangat hafal setiap jengkal jalan setapak di Gandang Dewata.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Hutan lumut di Taman Nasional Gunung Gandang Dewata, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Kamis (15/8/2019).
”Peneliti itu berkata kepada saya bahwa alam Gandang Dewata sungguh luar biasa. Baginya, Gandang Dewata adalah ladang ilmu pengetahuan yang wajib dilindungi,” tutur Thimotius saat mengenang perjalanannya dengan peneliti asal Amerika Serikat yang ia lupa namanya tersebut.
Pesan agar ekosistem Gandang Dewata harus mendapat perlindungan kian kuat pada serangkaian penelitian yang dilakukan tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beserta peneliti asal Amerika Serikat dan Australia pada 2011. Dalam penelitian itu, Thimotius kembali diminta sebagai pemandu di lapangan.
”Semua sepakat agar Gandang Dewata ditetapkan sebagai taman nasional. Akhirnya, dalam sebuah kesempatan pada 2016, saya menghadap langsung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar menetapkan Gandang Dewata sebagai taman nasional,” kata Thimotius.
Usaha Thimotius agar Gandang Dewata ditetapkan sebagai taman nasional tak mudah. Ia sempat mendapat penolakan dari organisasi adat dengan alasan hutan di Gandang Dewata adalah hutan adat. Ia tak mengindahkannya. Dalam pikirannya saat itu, Gandang Dewata harus punya dasar hukum perlindungan yang lebih kuat agar kelestariannya terjaga.
”Mereka yang menolak itu bukan orang sini (Mamasa). Mereka tidak lebih tahu dari orang-orang Mamasa soal Gandang Dewata,” ucap Thimotius.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas saat beristirahat di hutan Taman Nasional Gandang Dewata, Sulawesi Barat, Kamis (15/8/2019).
Kegigihan Thimotius yang didukung para pihak di Mamasa membuahkan hasil. Pada 3 Oktober 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan keputusan menteri bernomor SK.773/MENLHK/Setjen/PLA.2/10/2016 yang menetapkan Gandang Dewata sebagai taman nasional ke-53 di Indonesia. Tak hanya itu, atas peran sertanya, Thimotius mendapat penghargaan sebagai Tokoh Adat Konservasi Taman Nasional Gandang Dewata 2019 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tempat bergantung
Secara turun-temurun, Gandang Dewata telah menjadi gantungan hidup banyak orang di Sulawesi Barat, khususnya di Mamasa. Selain menjadi sumber mata air, masyarakat banyak bergantung dari hutan Gandang Dewata, seperti mengambil getah damar. Perkebunan di lereng hutan juga tumbuh subur, seperti tanaman kopi yang banyak dibudidayakan di sana. Tak hanya itu, persawahan di kaki gunung juga tak kalah subur.
”Biarpun tidak hujan berbulan-bulan di Mamasa, mata air di sini tak pernah kering. Begitu pula tanaman di Gandang Dewata, secara tradisional dijadikan sebagai obat-obatan,” kata Thimotius.
Taman Nasional Gandang Dewata memiliki luas 189.208 hektar. Dari sejumlah penelitian yang dilakukan LIPI maupun akademisi dari Universitas Hasanuddin Makassar dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, diketahui bahwa ekosistem Gandang Dewata memiliki keragaman hayati cukup tinggi. Sejumlah flora dan fauna di sana berpotensi sebagai jenis baru yang belum pernah diidentifikasi.
Kendati akhir-akhir ini belum pernah dijumpai di alam secara langsung, peneliti masih menemukan jejak kaki dan kotoran anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) di beberapa tempat di Gandang Dewata. Binatang yang mirip sapi dan bertanduk runcing lurus ke atas tersebut adalah satwa endemik Sulawesi di zona Wallacea. Selain itu, Gandang Dewata banyak memiliki jenis anggrek dan jahe-jahean yang beberapa di antaranya belum diidentifikasi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Pondok-pondok kecil di persawahan di Desa Tondok Bakaru, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Sabtu (17/8/2019). Padi hasil panen petani di kawasan ini menjadi salah satu pemasok utama beras di Kabupaten Mamasa. Sejak diperkenalkannya bibit unggul pada 2014, petani di tempat ini bisa memanen hingga tiga kali dalam setahun atau lebih tinggi dibanding sebelumnya yang hanya dua kali. Air di area pertanian ini dicukupi dari sungai yang mengalir sepanjang tahun. Air sungai bersumber dari Gunung Gandang Dewata yang sejak 2017 lalu telah ditetapkan menjadi kawasan taman nasional.
Pada ketinggian tertentu, Gandang Dewata memiliki hutan lumut bak hutan purba yang sangat menawan. Lokasi itu kerap dijadikan tempat pengambilan foto. Tak hanya itu, beberapa anak sungai yang mengalir sangat jernih sehingga bebatuan di dasarnya tampak jelas. Hanya saja, air sungai di Gandang Dewata sedingin air es.
Thimotius masih menyimpan mimpi agar Taman Nasional Gandang Dewata kian dikenal khalayak luas. Salah satunya adalah dengan mengembangkan berbagai obyek wisata di Gandang Dewata. Pengembangan obyek wisata yang ramah lingkungan juga dapat memberdayakan masyarakat lokal yang selama ini hanya bergantung pada hasil tani, kebun, dan beternak.
”Gandang Dewata sudah banyak memberi kepada kami. Selayaknya pula kami harus menjaganya,” tutur Thimotius.
Thimotius Sambominanga
Lahir: Mamasa, 16 Juli 1928
Anak: 7
Cucu: 12
Alamat: Kampung Baru, Desa Buntu Buda, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat
Penghargaan: Tokoh Adat Konservasi Taman Nasional Gandang Dewata 2019 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
ARIS PRASETYO
Sumber: Kompas, 28 Oktober 2019