Menjelang dini hari, teriakan keras woowww, hooo, waaa atau waaooo terdengar dari dalam lebatnya hutan tropis di kawasan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Suara keras dan nyaring itu datang dari siamang, populer dikenal sebagai owa jawa atau Javan Gibbon (Hylobates moloch). Suara itu sudah puluhan tahun seperti sirene yang membangunkan warga dari tidur lelap.
Tentu saja, siamang itu tidak tampak di tengah kegelapan malam. Namun, hewan primata yang terancam punah itu setia mengirim suaranya untuk menyapa warga kawasan Petungkriyono di dataran rendah di jantung Provinsi Jawa Tengah.
”Di kampung ini, warga dibangunkan bukan oleh suara kokok ayam jantan, melainkan suara siamang dari dalam hutan,” kata Tasuri (48), warga Dusun Sonokembang, Desa Kayupuring.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tasuri adalah petani kopi yang terlibat penelitian mengenai primata, khususnya siamang. Dalam lebatnya hutan tropis di kawasan Gunung Rogo Jembangan, owa jawa keperakan telah lama menjadikan kawasan Petungkriyono sebagai habitatnya. Owa jawa itu hidup berdampingan bersama primata lain, seperti elang jawa, kukang, monyet daun, dan lutung (surili).
Berdasarkan pendataan Kelompok Studi dan Pemerhati Primata Yogyakarta (KSPPY) serta Wildlife Reserves Singapura, hingga akhir Desember 2015, diperkirakan keberadaan owa jawa lebih kurang 30 kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua-tiga ekor.
Owa jawa mirip kera besar, berekor panjang, dan memiliki kemahiran berjalan-jalan di antara dahan pohon (bipadally) dengan tangan terentang. Owa memiliki wajah bulat, kedua mata tajam serta warna bulu hitam, coklat, atau abu-abu gelap. Owa memiliki lengan panjang khas dan pergelangan tangan panjang yang membantunya gerak berayun.
Menurut Tasuri, owa jawa selalu menampakkan diri di tempat yang sama dan tidak sembarang. Selama mengamati owa jawa lebih dari sembilan tahun, Tasuri berhasil memetakan lokasi owa menampakkan diri. Lokasi itu kini jadi pos pengamatan. Salah satu spot pengamatan itu berada di tepi jalan penghubung Dusun Sokokembang ke Kecamatan Petungkriyono.
Kesadaran
Pergulatan Tasuri dengan owa jawa boleh dikata terjadi kebetulan pada 2006. Kala itu, alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arif Setiawan, kerap datang untuk meneliti owa jawa di Petungkriyono, Pekalongan.
Tasuri mengaku, dia banyak belajar mengenai primata dari Arif dan peneliti asing yang datang silih berganti ke Sokokembang. Mereka berasal dari Singapura, India, Thailand, Australia, Amerika Serikat, Perancis, Ceko, dan Korea Selatan.
Saat bertemu Arif, Tasuri ketika itu masih kerap berburu burung di hutan. Tasuri boleh disebut perambah hutan, kebiasaan yang juga dilakukan sebagian warga dari desa-desa di kawasan hutan tropis Petungkriyono. Pada 2003-2005, banyak terjadi penebangan pohon untuk diambil kayunya, seperti kayu kamper dan kayu babi. Kayu itu dijual murah kepada penadah.
”Ketika itu, saya masih belum punya pekerjaan tetap, jadi ikut berburu burung bersama pemburu dari luar Pekalongan. Pekerjaan berburu binatang di hutan sambil jalan kaki, layaknya dolanan alas, membuat saya hafal peta jalan hutan daerah sini,” kata Tasuri di rumahnya yang sederhana.
Dari Arif, Tasuri baru tahu jika owa jawa itu hewan langka. Bahkan, owa jawa bisa menjadi daya tarik pemerhati primata dari seluruh penjuru benua untuk datang ke desanya. Owa telah jadi kebanggaan bagi masyarakat Petungkriyono.
Tasuri juga kaget ketika diberi tahu peneliti dari Singapura kalau habitat owa jawa di Petungkriyono ini merupakan habitat lingkungan hutan tropis terbaik untuk pelestarian primata langka. Hutan lindung di kawasan Petungkriyono ini dikelola Perhutani. Di hutan ini terdapat pohon besar dan tinggi serta tajuk-tajuk pohon bersentuhan membentuk kanopi. Hutan ini punya lereng curam yang menyediakan pakan bagi primata sepanjang tahun. Hutan lindung Petungkriyono ini dinilai terbaik dari 25 lokasi hutan tempat penelitian di Indonesia.
Itu sebabnya, Tasuri bertekad melestarikan primata. Sejak 2009, Tasuri mulai berkampanye mengajak warga lain untuk tak lagi merambah hutan. Namun, warga di Petungkriyono, juga di Kayupuring yang tinggal di hutan, kehidupannya amat bergantung pada hasil hutan. Melarang tanpa solusi, tentu kurang direspons masyarakat.
Untuk itu, Tasuri dibantu Wildlife Reserves Singapura mengembangkan pemberdayaan masyarakat melalui budidaya kopi. Tujuannya agar warga punya penghasilan sehingga tidak lagi menebang pohon hutan. Apalagi, potensi kopi, utamanya kopi jenis robusta, sekitar 3.500 hektar. Tanaman kopi liar sudah tumbuh subur di bawah tegakan pohon besar semacam kruing jawa, meranti jawa, dan pohon jati.
Setelah melalui pendekatan ke tokoh-tokoh petani di Kayupuring, Tasuri membentuk Kelompok Tani Wiji Mertiwi Mulyo. Setiap petani mengelola tanaman kopi dan panen raya dilakukan pada Juni-Agustus.
Tasuri punya lima petak lahan kopi di hutan itu seluas 2 hektar. Dari lahan itulah Tasuri kini jadi petani kopi. Hasil panen pada kisaran 2-4 kuintal. Kopi premium bisa laku Rp 35.000 per kilogram, sementara kopi medium dijual ke pasar setempat Rp 20.500 per kilogram.
Barista
Tasuri dan istrinya, Kunapah, bersama kaum perempuan desa mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nyi Parijotho. Kelompok usaha inilah yang membuat bubuk kopi Petungkriyono atau bahasa kerennya Kopi Owa Jawa.
Kopi hasil panen diolah dan digiling di teras rumah Tasuri yang sejak 2013 juga berfungsi sebagai Omah Kopi dan rumah inap bagi tamu-tamu asing.
Kopi bubuk hasil olahan KUB Nyi Parijotho telah menjadi alat kampanye ampuh bagi upaya pelestarian habitat siamang. Bubuk kopi robusta yang dikemas lebih kurang 40-50 gram itu diberi keterangan asal-usul kopi dan tentang keanekaragaman satwa primata. Kopi buatan KUB ini juga sudah mendunia setelah 2014 ikut dipamerkan di negara asal peneliti owa jawa. Daya tarik kopi owa ini tentu saja membangkitkan ekonomi petani kopi.
Keunggulan kopi owa sempat menggoda Tasuri setelah pemodal dari Jakarta menawarkan pemesanan setengah kuintal kopi robusta per bulan. Ini menjanjikan pendapatan besar dan rutin, tetapi dengan kesepakatan petani, hal itu ditolaknya. Apabila permintaan tersebut dituruti, dikhawatirkan akan mendorong petani lain membabat pohon di kawasan hutan untuk menanam kopi.
Sebagai tambahan penghasilan, ia rajin mengumpulkan kopi luwak dari hutan. Hasilnya lumayan, bisa 3-4 kilogram setiap minggu yang kalau dijual dalam bentuk biji kopi, dari hasil kotoran luwak ini kelas medium saja Rp 100.000 per kilogram.
Tasuri–KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO
TASURI
LAHIR:
Kabupaten Pekalongan, 21 Juli 1968
ISTRI:
Kunapah
ANAK:
Indah Suciati
Ismiati
Isnaeni
PENDIDIKAN:
Kelas IV SD Kayupuring, Petungkriyono, Pekalongan
PENGHARGAAN:
2014 Liputan 6 Award SCTV, Pelestari Kopi Owa
WINARTO HERUSANSONO
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Januari 2016, di halaman 16 dengan judul “Petani Kopi, Pelestari Owa Jawa”.