Gawai dan paket data menjadi satu kesatuan utama di masa pembelajaran jarak jauh kali ini. Interaksi guru-murid terjalin dari layar-layar ponsel. Di sisi lain, akses internet ini berpotensi menjadi candu.
Pengeluaran paket data yang membengkak dikeluhkan sebagian orangtua selama masa pembelajaran jarak jauh. Paket data tidak hanya dipakai saat kegiatan belajar daring, tetapi juga digunakan anak untuk mengakses permainan atau berselancar mencari konten-konten lainnya. Banyaknya waktu anak mengakses internet juga berpotensi membuat anak terjerat candu gawai.
Rini (38), warga Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, terlihat memegangi gawai dan pulpen sambil menjepit buku tulis di ketiaknya, Kamis (6/8/2020) siang. Sementara putrinya, Adinda (10), duduk termangu di sebelahnya. Siang itu, keduanya sedang menyaksikan video pembelajaran dari guru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekitar 10 menit berselang, Rini kemudian masuk ke dalam rumah sambil mengemasi buku-buku yang berserakan di kursi. Sementara Adinda mengambil alih gawai yang sebelumnya dipegang ibunya.
Di saat yang bersamaan, sekitar 10 meter dari tempat duduknya, terlihat beberapa anak lain seusianya yang sedang membuat mainan senapan dari bahan bekas. Akan tetapi, siswi kelas V SD tersebut tak menunjukkan gelagat akan bergabung.
Menurut Rini, pandemi Covid-19 membuat putrinya lebih banyak mengakses gawai ketimbang hari normal. ”Setiap pukul 08.00-11.00, sudah pasti buat ngerjain tugas atau nonton video,” ujarnya saat ditemui di rumahnya.
Video yang dimaksud Rini adalah video pembelajaran yang diberikan guru kepada para siswa untuk dipelajari di rumah.
Sayangnya, seusai belajar, Adinda tak langsung menyimpan gawai pemberian ibunya tersebut. Ia kerap menggunakannya untuk menonton Youtube atau bermain Tik-tok. Minimal Adinda bisa menghabiskan waktu tiga jam untuk mengakses konten-konten hiburan.
Saat ditanya tayangan di Youtube yang kerap diakses Adinda, Rini mengaku tidak terlalu mengamati. Sebab, putrinya tersebut lebih sering bermain dengan kakaknya yang duduk di bangku SMP.
”Padahal, biasanya hanya sekitar satu jam (pegang gawai). Kalau udah Tik-tok-an, enggak berhenti-berhenti deh tu anak,” ungkap Rini.
Selama pandemi, Rini memang membatasi mobilitas Adinda. Sang anak hanya diperbolehkan bermain di sekitar rumahnya. Hal ini kerap memicu kejenuhan. Ujung-ujungnya, Adinda lagi-lagi kembali ke gawainya.
Meski Adinda sudah memiliki gawai sendiri, Rini mengaku jarang membelikannya paket data. Akan tetapi, karena pandemi Covid-19, mau tak mau ia harus membelikan Adinda paket data untuk pembelajaran jarak jauh.
Jika sebelum pandemi Covid-19 Rini membelikan paket data sebulan sekali, kini ia harus membelikannya setiap minggu. Sekali membeli paket data, besarnya Rp 40.000. ”Di-beliin paket data malah boros pakainya. Minggu kemarin beli sekitar Rp 40.000. Biasanya paling sebulan sekali (beli paket data Rp 40.000 sebulan) atau numpang Wi-Fi ke uaknya,” ujarnya.
Diajak ke warung
Pengalaman lain mendampingi anak belajar jarak jauh dituturkan Ade (38), warga Mangunjaya, Tambun Selatan, Bekasi. Sudah tiga pekan ini, Ade mengajak putrinya, Mifta (6), berjualan makanan di kawasan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tujuannya agar Ade bisa mengawasi Mifta belajar.
”Kalau di rumah, dia selalu telat ngumpulin tugas karena HP (ponsel)-nya gantian dulu sama kakaknya,” katanya.
Di sisi lain, Ade juga bermaksud membatasi Mifta dari akses internet dan gim daring yang berlebihan. Sebab, jika berada di rumah, Mifta sering tak terkontrol dalam mengakses gim dan Tik-tok di gawai atau laptop milik kakaknya.
Dengan mengajak Mifta ke warung, Ade memiliki kuasa penuh untuk membatasi akses Mifta terhadap internet. ”Kalau sama aku, harus disiplin. Kalau waktunya berhenti, ya, berhenti. Kalau aku bilang satu jam, ya, harus satu jam,” ungkapnya.
Meski begitu, Ade masih kecolongan. Ia masih mengeluhkan tentang kuota internet di gawainya yang terkuras karena dipakai oleh Mifta. Tidak hanya dipakai untuk belajar, ia masih bisa mengakses konten-konten yang lain dengan dalih sudah mematikan pemakaian paket data.
Biasanya, Ade membeli paket data seharga Rp 200.000 untuk sebulan. Paket data tersebut kini habis dalam waktu dua minggu. ”Kalau sama HP, nomor satu dia. Kuota habis sama dia. Mainnya gim ular-ularan, gim ikan-ikanan, sama Tik-tok-an. Dia bilang paket datanya mati, gak tahunya nyala,” katanya.
Berdasarkan pantauan, siswa kelas II SD tersebut terlihat fokus menonton salah satu video tutorial di Youtube saat Ade tengah melayani penjual. Saat beberapa kali ditanya sedang menonton tayangan apa, Mifta hanya bergeming.
Sebelumnya, Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Kristiana Siste menjelaskan, prevalensi ketergantungan internet pada remaja di Indonesia semakin meningkat selama pandemi Covid-19. Dari 2.933 remaja yang diteliti di 33 provinsi di Indonesia, 19,3 persen di antaranya mengalami ketergantungan pada internet.
”Durasi online dalam sehari meningkat sampai 59 persen atau jika di rata-rata sekitar 11,6 jam per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian karena bisa menyebabkan kecanduan internet yang berujung pada gangguan jiwa pada remaja. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena remaja yang mengalami depresi ada sekitar 20 persen,” katanya di Jakarta, Rabu (5/8/2020).
Menurut dia, adiksi internet pada anak dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Hal itu antara lain gangguan pada fungsi kognitif, seperti daya ingat dan konsentrasi; gangguan pada kondisi fisik, seperti obesitas dan menurunkan sistem imun; serta gangguan psikologis, seperti depresi dan insomnia. (Kompas, 6/8/2020)
Berjuang
Di saat banyak anak yang ketagihan mengakses internet selama pandemi Covid-19, masih banyak orangtua yang harus berjuang untuk mendapatkan akses internet.
Anggraini (27), penjual minuman di Jalan KH Mas Mansyur, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya. Sembari menunggu pembeli, ia terlihat mengajari putrinya, Novianti (9), belajar di lapak jualannya, Kamis siang. Di saat yang bersamaan, ia juga harus menjaga putri bungsunya yang masih berumur empat tahun.
Meski mengaku kerepotan karena harus mendampingi putrinya belajar, Anggraini tetap berjualan seperti biasa, yakni pukul 07.00-19.00. Sebab, ia tak ingin penghasilan hariannya berkurang. ”Kalau repot memang repot, tapi harus tetap jualan karena anak-anak cuma punya saya,” ujarnya.
Selama pandemi Covid-19, Anggraini biasa mengantongi penghasilan kotor Rp 60.000-Rp 80.000 per hari. Untuk makan dan jajan anaknya, biasanya uangnya tersisa sekitar Rp 20.000. Kini, sisa uang tersebut harus ia tabung untuk membeli paket data setiap minggunya.
”Setiap hari minggu biasanya beli paket data. Kalau enggak salah harganya Rp 15.000 untuk 1 gigabyte. Itu harus di-cukup-cukupin untuk seminggu,” ujarnya.
Anggraini tak ingin pengalaman pada Senin (3/8/2020) terulang. Saat itu, ia tak bisa membeli paket data karena pekan sebelumnya tak sanggup menabung. Alhasil, Novianti tak bisa mengikuti pelajaran.
”Selasa (4/8/2020), baru saya bisa beli paketan. Untung gurunya mengerti,” katanya.
Anggraini mengaku paket data yang ia beli selama ini hanya digunakan untuk keperluan belajar putrinya. Sebab, ia mengaku tidak piawai menggunakan gawai. Bahkan, gawai yang ia gunakan siang itu baru dibeli sekitar empat bulan yang lalu. Dengan keterbatasan ekonomi, Anggraini hanya mampu menjangkau ponsel bekas. ”Baru beli (ponsel bekas ini), ya, pas pandemi kemarin, Rp 300.000. Baterainya sudah bocor, jadi harganya bisa murah. Setelah itu langsung bikin Whatsapp dan dimasukkan grup sama gurunya,” katanya.
Di masa pandemi Covid-19, gawai dan paket data memang menjadi modal utama untuk interaksi antara anak dan guru atau temannya. Di sisi lain, tantangan terbesar juga datang dari kebutuhan untuk mencegah anak dari kecandungan gawai.
Oleh FAJAR RAMADHAN
Editor: AGNES RITA
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2020