CATATAN IPTEK
Duplikat Silicon Valley sudah berulang kali mengemuka di Indonesia. Tanpa memperbaiki ekosistem pendidikan dan industri untuk pusat inovasi, mimpi itu akan sulit terwujud.
Indonesia bermaksud membangun pusat pengembangan industri dan teknologi di wilayah Sukabumi, Jawa Barat. Dinamakan Bukit Algoritma, proyek ini akan dibangun di atas tanah seluas 888 hektar dan menghabiskan dana Rp18 triliun. Diimpikan kawasan itu bakal menjadi seperti ”Silicon Valley”.
Duplikat Silicon Valley sudah berulang kali mengemuka di Indonesia, sekalipun realisasinya jauh panggang dari api. Beberapa lokasi yang sempat digadang-gadang menjadi Silicon Valley Indonesia, antara lain, Malang, Yogyakarta, hingga Serpong dan Meikarta. Sebagian duplikasi penamaan ini hanya menjadi strategi perusahaan properti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mimpi memiliki Silicon Valley yang menjadi markas utama berbagai perusahaan teknologi raksasa dunia, seperti Apple, Google, Facebook, Hewlett Packard, Oracle, eBay, dan Twitter, memang boleh-boleh saja. Tak hanya menjadi rumah perusahaan yang mapan, Silicon Valley terutama juga dikenal karena melahirkan berbagai perusahaan rintisan.
Selama 60 tahun terakhir, dunia telah menyaksikan Silicon Valley, Amerika Serikat, tumbuh dari jaringan kecil produsen teknologi menjadi kantor pusat perusahaan teknologi multi-miliar dollar. Lembah ini menjadi rumah bagi Apple, Google, Facebook, Netflix, eBay, Hewlett Packard, dan banyak perusahaan raksasa dunia.
Wilayah seluas 12.140 hektar yang dihuni sekitar 3 juta orang, 38 persen di antaranya lahir di luar negeri, ini menjadi salah satu tempat dengan penghasilan penduduk paling tinggi di dunia. Pendapatan penuduknya rata-rata 125.580 dollar AS per tahun pada tahun 2015, peringkatnya hanya di belakang Zurich dan Oslo dalam hal produk domestik bruto (PDB) per kapita.
Dengan kondisi ini, tak mengherankan kota-kota terbesar di dunia berlomba untuk memberi label wilayah mereka Silicon Valley berikutnya. Dari London hingga Beijing, Tel Aviv hingga Tallinn, ada perlombaan untuk menciptakan pusat teknologi yang diharapkan akan memikat para pemikir terbaik dan investor dengan kantong paling dalam.
China termasuk yang paling bersemangat meniru kesuksesan Silicon Valley dengan membangun 17 pusat teknologi di seluruh negeri. Mereka bermimpi mengubah ekonomi yang bergantung pada manufaktur menjadi yang dipimpin oleh teknologi dan inovasi. Sekalipun mereka mengalami kemajuan pesat dalam teknologi, belum ada satu pun yang setara dengan Silicon Valley.
Bahkan, setelah beberapa dekade bingung dan frustrasi, dunia masih berjuang untuk menebak rahasia kesuksesan Silicon Valley. Memang, kota-kota di ujung selatan Teluk San Francisco memiliki banyak talenta teknologi tinggi, tapi itu bukanlah penjelasan: insinyur dan inovator muda yang bersemangat itu dapat menemukan pekerjaan di mana saja yang mereka pilih. Lalu kenapa ke Silicon Valley?
Daerah ini memang istimewa karena memiliki banyak universitas, pusat penelitian pemerintah, dan laboratorium komersial. Selain berlimpah para pekerja yang terdidik dan terampil, akses ke modal ventura telah menjadi kunci penting.
Sifat khusus
Dalam bukunya The Culture of Innovation: What Makes San Francisco Bay Area Companies Different?, Barry Jaruzelsky mengemukakan sifat khusus yang membedakan perusahaan Silicon Valley dengan di tempat lain: kemampuan untuk mengintegrasikan strategi inovasi mereka dengan strategi bisnis mereka.
Integrasi budaya inovasi dan strategi bisnis ini tumbuh sejak Frederick Terman, dekan fakultas teknik Stanford University, merintis perusahaan dan kemudian membangun Stanford Industrial Park sejak 1950-an. Terman, bersama ahli fisika yang juga penemu William Shockley, dikenal sebagai pendiri Silicon Valley.
Dalam buku yang ditulis dari hasil riset ini, Jaruzelsky menyebutkan, perusahaan-perusahaan di Silicon Valley rata-rata empat kali lebih mungkin untuk menyelaraskan strategi bisnis mereka dengan budaya inovasi, dibandingkan rata-rata perusahaan AS lain.
Paduan inovasi dan bisnis ini tercipta karena Silicon Valley dibangun dengan pola pikir budaya yang benar dan ketersediaan sumber daya, yang mendorong dan memperkuat inovasi dan pendirian usaha baru. Di atas segalanya, ini adalah lingkungan yang merangsang cara berpikir pro-inovasi dan kewirausahaan yang membantu penciptaan bisnis baru melalui jaringan yang diminyaki dengan baik.
Dalam kata-kata John-Seeley-Brown, mantan kepala ilmuwan Xerox, Silicon Valley adalah ekosistem di mana bagian-bagian yang berbeda memperkuat satu sama lain untuk menciptakan ”mesin inovasi”. Ekosistem itu mendukung persaingan, pemikiran baru, dan keunggulan dan yang mendukung tim rintisan untuk mewujudkan impian dan memasarkan ide bisnis baru mereka.
Masalahnya, apakah kemampuan gesit mereka untuk berinovasi dan tumbuh itu benar-benar sesuatu yang dapat ditiru di tempat lain, terutama di negara yang memiliki peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) dan tradisi riset sangat lemah seperti Indonesia ini?
Jelas bahwa Silicon Valley tidak dibangun dalam sehari. Butuh waktu puluhan tahun untuk sampai ke posisinya sekarang. Membangun Silicon Valley atau apa pun namanya itu, tanpa memperbaiki ekosistem pendidikan dan industri untuk pusat inovasi kita, ibarat bermimpi di siang bolong.
Oleh Ahmad Arif, Wartawan Kompas
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 14 April 2021