Siapakah Manusia Indonesia?

- Editor

Minggu, 11 Oktober 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kapan dan dari mana datangnya leluhur kita di kepulauan ini? Kenapa ada sedemikian banyak etnis dengan bahasa dan adat istiadat berbeda? Apa yang membedakan dan menyatukan kita? Jawabannya tersimpan dalam setiap sel di tubuh kita.

Dengan 730 etnik, Nusantara adalah kawasan dengan keragaman tinggi. Tak heran Denys Lombard (1990) menyebutnya sebagai “Silang Budaya”, pertemuan Barat dan Timur. Bahkan, keragaman juga terjadi di pulau kecil, seperti Pulau Yamdena di Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Di pulau seluas 3.333 kilometer persegi ini saja terdapat dua populasi yang berbeda bahasa. “Bahasa orang Makatian jelas beda dengan kami,” kata Paternus Lakeban Fifilyaman Koisine (79), tetua adat Desa Sangliat Dol. Berada di pesisir timur pulau, mereka berbicara dalam bahasa Yamdena.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara orang Makatian di pesisir barat pulau berbicara dalam bahasa Seluwasan. Padahal, kedua desa ini hanya terpisah jarak sekitar 70 kilometer dengan hambatan geografis minim.

Baik bahasa Yamdena maupun Seluwasan termasuk Austronesia, rumpun bahasa yang menyebar di Nusantara, Filipina, hingga Madagaskar. Tak mengherankan jika beberapa kata dasar bahasa Yamdena dan Seluwasan memiliki kemiripan, bahkan dengan bahasa di pulau lain. Kata “anjing”, misalnya, di Jawa disebut sebagai “asu”, bahasa Makatian diucapkan “aswe” dan Seluwasan “asw”.

Namun, bukan karena persamaan beberapa kata ini yang membuat Paternus meyakini nenek moyangnya berasal dari Jawa. “Itu sudah jadi kepercayaan turun-temurun. Di sini, banyak yang nama adatnya ‘ken’. Di Jawa Ken Arok, di sini ada Ken Ares,” kata Paternus. “Kedatangan leluhur kami mungkin ada hubungannya dengan perahu batu,” lanjutnya.

Di tengah desa, batuan gamping dan koral disusun membentuk perahu dengan panjang 18 meter, lebar 9,8 meter, dan tinggi 1,64 meter. Di atas perahu batu ini terdapat meja batu yang sebelumnya digunakan sebagai altar persembahan.

3f8c4ae312ef4eac93b59ce5294888f9KOMPAS/AHMAD ARIF–Warga di Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku, tengah diambil sampel darahnya oleh petugas puskesmas setempat, beberapa waktu lalu. Pengambilan sampel ini dalam rangka penelitian genetika manusia Indonesia oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Marlon Rimimasse, arkeolog Balai Arkeologi Ambon, mengatakan, perahu batu merupakan pusat orientasi permukiman kuno di Tanimbar. Ciri permukiman kuno ini berada di atas tebing, akses terbatas, dan dikelilingi tembok.

“Tipe permukiman ini muncul sejak awal Masehi dan mencapai puncak pada abad ke-14. Permukiman seperti ini juga ada di Moa, Lakor, dan Timor Timur,” katanya.

Namun, apakah benar masyarakat Tanimbar memiliki hubungan dengan Jawa? Marlon mengaku tidak tahu. “Kami pernah mencoba menggali di sekitar perahu itu, tetapi tidak mendapat izin karena masih dianggap sakral,” ujarnya.

a0a6cbabc9e74583a43e443caec211ecWarga Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, tengah diambil sampel darahnya, Jumat (4/8). Pengambilan sampel ini dalam rangka penelitian genetika manusia Indonesia oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi.
KOMPAS/AHMAD ARIF

Arkeologi sangat bergantung pada artefak masa lalu. Tanpa akses pada artefak, arkeolog menemui jalan buntu. Pada titik inilah studi genetika memberi jalan keluar.

Jejak di tubuh
Untuk menjawab asal-usul inilah, pada akhir September 2015, tim peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengambil sampel darah masyarakat di Pulau Yamdena dan Kepulauan Kei. “Penelitian ini bagian dari proyek panjang pemetaan genetika manusia Indonesia yang dimulai sejak 1996,” kata Herawati Sudoyo, ahli genetika Eijkman, yang memimpin penelitian.

d85fc71385c64843a083a5bec8f7c34cDua peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Gludhug Ariyo Purnomo dan Chelzie Crenna Darussalam tengah mengamati sampal darah warga Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluk Tenggara Barat, Maluku. Pengumpulan sampel darah ini dalam rangka penelitian tentang genetika manusia Indonesia. –KOMPAS/AHMAD ARIF

Revolusi genetika dimulai ketika Compton Crick menemukan struktur DNA (asam deoksiribonukleat) pada tahun 1953. Menurut teori ini, tubuh manusia terdiri atas miliaran sel, yang di dalamnya terdapat nukleus (inti sel). Di dalam nukleus ada kromosom, kumpulan gen serupa benang. Lebih renik lagi, gen disusun oleh molekul DNA, yang merupakan kombinasi basa timin (T), adenin (A), guanin (G), dan sitosin (S). Merekalah penentu warna kulit, rambut, kecenderungan untuk menderita diabetes, bakat gemuk atau kurus, bahkan juga perilaku. Dengan mengetahui kombinasi basa ini, dan perubahannya, pengembaraan DNA manusia bisa dilacak jauh ke belakang.

“Studi kami di Indonesia awalnya untuk mencari hubungan DNA dengan mutasi penyakit, seperti talasemia dan hemoglobinopathy (jenis penyakit sel darah merah),” jelas Herawati. “Selain itu, kami juga ingin tahu kerentanan maupun daya tahan setiap etnis terhadap penyakit non-infeksi, seperti diabetes melitus (kencing manis).”

Untuk itu, dibutuhkan data struktur genetika orang Indonesia. “Masalahnya, gen orang Indonesia belum dipetakan. Kebanyakan studi fokus pada daratan Asia maupun Pasifik. Itu mengherankan kami karena Indonesia merupakan jalur penting migrasi awal out of Africa hingga Australia,” katanya. “Maka, kami berinisiatif mengumpulkan sampel DNA manusia Indonesia.”

Genap sebulan sejak pengumpulan sampel DNA orang Tanimbar. Kamis (8/10), di laboratorium Eijkman di Jakarta, tim peneliti mendiskusikan temuan awal. “Dari 106 sampel, baru sembilan yang selesai,” ujar Chelzie C Darussalam, peneliti muda Eijkman.

Namun, hasil analisis awal terhadap sembilan sampel itu cukup mengejutkan. “Kami sudah dapatkan haplogroup (kelompok DNA mitokondria) ‘E1a1a’, ‘F1a3a’, ‘Q1’, dan ‘M7c1a4a’. Ini bisa menunjukkan keragaman asal mereka,” kata Herawati.

Kelompok E merupakan tipe yang hanya dimiliki para penutur Austronesia yang turun dari Taiwan (out of Taiwan) sekitar 5.000 tahun lalu. Tanda ‘1a1a’ di belakang huruf ‘E’ menunjukkan mutasi gen yang menandai persinggahan mereka di masa lalu. Semakin panjang huruf dan angka di belakang E, artinya semakin banyak persinggahannya selama migrasi dari Taiwan sebelum tiba di Tanimbar.

Adapun haplogroup Q hanya dimiliki orang Papua dan Aborigin, kelompok migran pertama yang meninggalkan Afrika sekitar 70.000 tahun lalu dengan menyusuri garis pantai sepanjang khatulistiwa. Sekitar 50.000 tahun lalu, jejak mereka ditemukan di Asia Tenggara dan sekitar 46.000 tahun lalu, mereka tiba di Australia.

Haplogroup M merupakan tipe yang juga dimiliki migran pertama dari Afrika, tetapi jalurnya berbeda. Jejak ‘M2’ ditemukan di India 44.000 tahun lalu dan ‘M7c1’ ditemukan di Tiongkok 27.000-19.000 tahun lalu.

f51dbfde8bc14f77a7529df0e8fc7df6KOMPAS/AHMAD ARIF–Warga Desa Waur, Kecamatan Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara menggelar ritual penyambutan pendatang, Jumat (4/9). Sebelum diizinkan mengambil sampel darah warga, para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman diwajibkan mengikuti ritual itu.

“Kelompok ini sering disebut sebagai Austroasiatik yang masuk ke Nusantara dari daratan Asia lewat Semenanjung Malaya yang saat itu masih satu dengan Sumatera,” ujar Herawati.

Tiba-tiba, Gludhug Purnomo, peneliti muda Eijkman, berseru, “Wah, tipe ‘F1’ bukannya pernah kita temukan di Jepara (Jawa Tengah) juga? Betul juga kepercayaan masyarakat Sangliat Dol bahwa nenek moyang mereka dari Jawa? Setidaknya mereka pernah singgah di Jawa.”

Sebagaimana haplogroup M, kelompok F juga bermigrasi dari daratan Asia ke Nusantara melalui Semenanjung Malaya.

Sejumlah gelombang
Temuan awal ini semakin menguatkan teori bahwa migrasi manusia ke Nusantara terjadi dalam beberapa gelombang. Temuan ini juga berpotensi merevisi pandangan klasik tentang pembagian dua ras yang mendiami Nusantara, seperti dijelaskan Alfred Russel Wallace (1823-1913) dalam The Malay Archipelago (1869): “Ras Melayu mendiami hampir seluruh bagian barat kepulauan itu, sedangkan ras Papua mendiami New Guinea (Papua) dan beberapa pulau di dekatnya”.

Penyebutan Melayu dan Papua sebagai ras yang berbeda ini memang sudah lama disanggah. Pakar genetika asal Italia, Cavalli-Sforza (2000), membuktikan bahwa secara biologis, hanya ada satu ras manusia modern, yaitu Homo sapiens yang awalnya tinggal di Afrika. Pembagian biasanya dilakukan berdasarkan bahasa, jadi yang lebih tepat adalah penutur Austronesia dan Papua.

Namun, analisis DNA 6.000 individu dari 70 populasi utama di Indonesia menunjukkan percampuran gen dibanding pemisahan. “Pencampuran ini bersifat gradasi, dengan presentasi haplogroup Austronesia yang tinggi di Indonesia barat dan menurun ke timur. Hal ini diikuti rendahnya persentase genetik Papua di kawasan barat, tetapi meninggi di timur,” ujar Herawati.

Secara sederhana bisa ditafsirkan bahwa penutur Papua telah lebih dulu menghuni Nusantara sebelum kedatangan populasi Austroasiatik dan Austronesia. Mereka kawin-mawin sehingga masyarakat Indonesia saat ini sebenarnya disatukan oleh pencampuran motif genetik Austronesia, Austroasiatik, dan Papua dengan komposisi bervariasi. Belakangan, sebagian populasi mendapat tambahan gen India, Tiongkok, Arab, dan Eropa. Inilah yang membentuk genetika manusia Indonesia.–AHMAD ARIF
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2015, di halaman 1 dengan judul “Siapakah Manusia Indonesia”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB