Selayang Pandang Filsafat Matematika

- Editor

Jumat, 8 Oktober 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

ADA dua kegiatan di kalangan para cendekiawan yang menarik perhatian orang. Kegiatan pertama adalah penemuan. Pada penemuan, sesuatu yang ditemukan itu memang sudah ada di dalam alam dan baru ditemukan oleh sang penemu. Kegiatan kedua adalah penciptaan. Pada penciptaan, sesuatu yang diciptakan itu tidak ada di dalam alam dan baru ada setelah diciptakan oleh sang pencipta.

Sejarah panjang kecendekiaan, dari zaman sebelum Archimedes sampai ke zaman sesudah Einstein, penuh dengan jejak penemuan dan penciptaan yang mengagumkan. Ada penemuan di bidang ilmu, seperti halnya hukum Coulomb dan aurora di planet Neptunus. Ada pula penciptaan di bidang teknologi, seperti halnya pesawat terbang dan superkomputer. Dan berkat penemuan dan penciptaan itu, pustaka kita melimpah ruah dengan khazanah kecendekiaan.

Salah satu kegiatan kecendekiaan manusia sejak zaman purbakala adalah matematika. Matematika telah ada pada zaman Mesopotamia, pada zaman Mesir Kuno, pada zaman India Kuno, serta pada zaman Cina Kuno. Matematika juga telah ada di benua Amerika Lama, di kalangan Maya, Aztek, dan Inka. Matematika terus berkembang melintasi semua zaman, dari zaman Yunani Kuno sampai ke zaman Eropa Lama, untuk sampai ke zaman kita sekarang ini. Matematika pun telah memenuhi pustaka kita dengan khazanah kecendekiaan yang mengagumkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kemajuan matematika itu mengundang pula pertanyaan klasik berupa jenis pertanyaan yang sering ditujukan kepada ilmu dan teknologi. Secara ringkas, pertanyaan itu adalah, matematika itu ditemukan ataukah diciptakan? Dengan kata lain, keberadaan matematika itu adalah keberadaan murni (pure existence) ataukah ke beradaan buatan (constructive existence)?

Sejak zaman Plato, kata Allan Calder, banyak orang percaya bahwa matematika itu ditemukan. Dengan kata lain, matematika itu selalu ada dan, secara terpisah, terletak di luar pengetahuan manusia. Matematika itu ciptaan Tuhan. Dan melalui kecendekiaan, satu demi satu, manusia menguak rahasia alam dengan menemukan matematika yang memang sudah ada itu.

Namun, tidak semua cendekiawan berpendapat demikian. Ahli matematika Leopold Kronecker, misalnya, berkata bahwa “Tuhan menciptakan integer, semua lainnya adalah ciptaan manusia.” Ini berarti selain bilangan bulat yang memang sudah ada di dalam alam, bagian matematika lainnya adalah ciptaan manusia. Dalam hal ini, satu demi satu melalui kecendekiaan, para cendekiawan menciptakan matematika.

Sampai sekarang, belum ada kesepakatan bulat di kalangan matematikawan tentang ciri asasi matematika. Belum ada kesepakatan di antara mereka apakah matematika itu ditemukan atau diciptakan. Bahkan pertanyaan seperti itu menjurus ke bidang filsafat, khususnya, filsafat matematika. Bersama itu, sejumlah pemikir menekuni dan mengembangkan filsafat matematika. Sekalipun demikian, tidak banyak orang berkesempatan dan berusaha untuk mengenal bidang filsafat matematika itu.

Itulah sebabnya, di sini, secara selayang pandang, kita berbicara tentang filsafat matematika yang menjadi dasar dari matematika itu. Sebagai uraian selayang pandang, pembicaraan ini tidak menarik kesimpulan apa-apa. Namun, barangkali saja pembicaraan ini akan menggugah lebih banyak minat terhadap filsafat matematika di kalangan siswa kita.

Ketakhinggaan
SEPANJANG sejarah matematika, para cendekiawan tidak selalu merasa mantap terhadap matematika yang mereka tekuni. Ada kalanya mereka terumbang-ambing di antara keraguan dan ketidaktahuan. Salah satu penyebab keraguan dan ketidaktahuan itu adalah unsur takhingga di dalam matematika. Di samping bilangan yang sudah kita kenal, kita masih berhadapan dengan bilangan yang takhingga kecilnya dan takhingga besarnya atau takhingga banyaknya. Coba saja bayangkan, berapakah jumlah takhingga banyaknya bilangan yang masing-masing berukuran tak-hingga kecilnya?

Contoh klasik dari keraguan seperti ini muncul lebih dari dua ribu tahun lalu di Yunani Kuno. Pada waktu itu, Zeno dari Elea mengemukakan sejumlah paradoks. Salah satu di antaranya dapat kita ungkapkan kembali dengan contoh kita. Kalau kita hendak pulang ke rumah, maka setiap kali, kita harus melewati titik tengah dari sisa jalan. Namun, dalam perjalanan ke rumah itu, kita akan menemukan takhingga banyaknya titik tengah dari sisa jalan. Karena itu, kata paradoks itu, kita tidak akan sampai ke rumah.

Selama dua ribu tahun lamanya, orang tidak puas dengan paradoks itu. Selama itu, orang mengetahui melalui pengalaman mereka bahwa mereka akan sampai ke rumah. Namun, mereka tidak dapat menyanggah logika yang dikemukakan oleh Zeno. Itulah sebabnya, para cendekiawan kuno segera membagi tak hingga ke dalam dua pengertian. Ada takhingga yang hanya bersifat kemampuan yakni kemam puan untuk menuju ke takhingga. Di samping itu, ada pula takhing ga yang bersifat tak hingga sesungguhnya. Dan dalam hal ini, mereka hanya berani berbicara tentang kemampuan takhingga. Tidak ada orang yang berani berbicara tentang takhingga sesungguhnya. Bersama itu, tak hingga sesungguhnya menjadi sesuatu yang dianggap tabu.

Pada abad ke-17, ahli matematika Descartes dan Fermat mempunyai gagasan yang bagus. Melalui sistem koordinat, mereka mengga bungkan dua aliran matematika yakni matematika geometri dan matematika aljabar ke dalam sistem tunggal. Ini berarti bahwa bentuk geometri dapat dinyatakan dalam bentuk aljabar serta sebaliknya, bentuk aljabar dapat dinyatakan pula dalam bentuk geometri. Kenyataan penting yang muncul dari penggabungan ini adalah geometri dan aljabar kedua-duanya dapat diungkapkan melalui bilangan. Dengan demikian, peranan bilangan didalam matematika menjadi bertambah penting. Dan para ahli matematika pun kembali berusaha untuk memperhatikan bilangan.

Melalui kekuatan bilangan pada aljabar dan geometri, Leibniz dan Newton berhasil mengemukakan matematika diferensial dan integral. Dengan pengertian limit yang memanfaatkan kemampuan tak hingga, matematika Leibniz dan Newton itu mampu menyelesaikan paradoks dari Zeno, setelah paradoks itu mengganggu pikiran manusia selama dua ribu tahun. Sekalipun demikian, matematika dari Leibniz dan Newton ini hanya berani menjamah sampai ke kawasan kemampuan takhingga. Mereka tidak berbicara tentang takhingga sesungguhnya yang misterius itu.

Sudah sejak zaman purbakala, di dalam matematika, kita menemukan berbagai pembuktian. Karena itu, matematika diferensial dan integral pun harus mampu menampilkan pembuktian. Pada masa itu, ilmu dan teknologi memerlukan matematika demikian, sehingga sering terjadi bahwa pembuktian yang teliti di bidang matematika diabaikan oleh para matematikawan. Untuk melawan kecerobohan itu, Karl Weierstrass dari perguruan Berlin memelopori suatu gerakan yang dikenal sebagai gerakan pengetatan matematika. Pengetatan matematika yang menandaskan pentingnya pembuktian yang ketat, menyebabkan para cendekiawan memperhatikan kembali bilangan yang mereka gunakan di dalam pembuktian mereka, termasuk bilangan takhingganya.

Mengapa bilangan takhingga sesungguhnya dianggap tabu oleh banyak orang? Bilangan takhingga sesungguhnya ditakuti oleh para cendekiawan karena ciri takhingga yang cukup aneh. Para ahli matematika melihat bahwa bilangan takhingga itu tidak tunduk kepada kaidah bilangan yang telah dikenal selama itu. Coba saja kita bayangkan. Kalau 4 ditambah 3 menjadi 7 yang lebih besar dari 4, maka takhingga ditambah 3, katanya, masih saja tetap takhingga. Dan berapa pula takhingga dikurangi setengah takhingga?

Hal ini membuat para ahli matematika merasa serba salah. Kalau bilangan takhingga diikutsertakan, maka kaidah bilangan yang sudah ada akan menjadi buyar. Tetapi, kalau bilangan tak hingga tidak diikutsertakan, maka kaidah bilangan itu tidak berlaku untuk semua bilangan. Dan lebih parah lagi, ada bagian bilangan yang tidak diikutsertakan sehingga pembicaraan tentang bilangan itu menjadi tidak lengkap.

Menjelang akhir abad ke-19, Georg Cantor mencoba untuk menangani bilangan takhingga sesungguhnya. Dalam hal ini, Cantor mengemukakan bahwa bilangan takhingga sesungguhnya itu hanya dapat kita ikut sertakan ke dalam kaidah bilangan kalau kita mau mengubah pengertian bilangan yang dianut para cendekiawan selama itu. Ini berarti bahwa pengertian bilangan harus kita bongkar dari dasar-dasarnya. Kita harus mencampakkan pengertian bilangan yang ada serta menggantikannya dengan pengertian baru. Itulah yang dilakukan oleh Cantor.

Melalui teori himpunan atau gu-gus, Cantor menyusun definisi baru tentang bilangan. Ketika pengertian baru tentang bilangan ini menjamah-sampai ke takhingga, maka bilangan demikian dinamakan bilangan trans-finit. Dengan pengertian baru tentang bilangan ini, Cantor berhasil mengikut sertakan bilangan takhingga sesungguhnya ke dalam kaidah matematika. Bahkan gagasan Cantor ini disokong oleh Gottlob Frege melalui sejumlah uraian yang bersifat filsafat.

Segera pula, gagasan Cantor ini ditentang oleh sejumlah ahli serta disokong oleh sejumlah ahli lainnya. Celakanya, baik penentang maupun penyokongnya, kedua-duanya mengeritik Cantor. Keritik dari penentang merupakan peristiwa yang lumrah. Mereka menolak hasil pikir yang diungkapkan Cantor dan juga Frege. Namun, kritik dari penyokong adalah luar biasa. Betrand Russel, penyokong Cantor dan Frege sempat mengeritik pengertian himpunan atau gugus yang dikemukakan Cantor itu.

Salah satu kritikan itu berbentuk paradoks. Coba kita ung kapkan kembali paradoks itu melalui suatu pernyataan: Pameriga, orang Omega, berkata bahwa semua orang Omega adalah pembohong. Nah, kalau begitu, orang Omega itu termasuk himpunan orang pembo hong ataukah himpunan orang bukan pembohong? Karena Pameriga adalah orang Omega, sedangkan orang Omega pembohong, maka tentu nya perkataan Pameriga itu adalah bohong. Itu berarti bahwa orang Omega bukan pembohong. Kalau orang Omega bukan Pembohong, maka perkataan Pameriga yang orang Omega itu seharusnya benar. Itu berarti pula bahwa orang Omega adalah pembohong…

Himpunan seperti ini dikenal sebagai himpunan bukan normal atau nonnormal. Kemudian, ketia mengembangkan filsafat matematika melalui jalur pemikiran Cantor dan Frege, Russel mengeluarkan himpunan nonnormal ini dari matematika. Himpunan dalam matemati ka, menurut Russel, harus tidak mencakup himpunan nonnormal.

Lepas dari paradoks itu, para penyokong Cantor seperfi Frege dan Russel mengembangkan teori Cantor. Kalau untuk itu, Cantor sudah memberikan definisi baru kepada bilangan, mengapa kita tidak bertindak lebih jauh lagi. Mengapa, pikir Russel, kita tidak merumuskan matcmatika dari dasar yang paling bawah dan membentuknya melalui logika. Namun, menggali sesuatu sampai ke dasar-dasarnya adalah kegiatan di kawasan filsafat. Bersama-sama dengan Alfred North Whitehead, Russel menggali matematika sampai ke dasar-dasarnya sehingga, bersama itu, mereka menyusun filsafat matematika. Filsafat matematika yang mereka susun itu dikenal sebagai aliran atau paham logikalisme.

Sementara itu, pembicaraan tentang apakah matematika itu ditemukan atau diciptakan masih saja terus berkelanjutan. Pembicaraan itu juga sampai menjamah gagasan Cantor tentang bilangan transfinit. Pemikiran ke arah itu melahirkan juga filsafat matematika yang dikenal sebagai aliran atau paham intuisionisme. Dalam paham intuisionisme, mereka berbicara tentang matematika konstruksi. Kalau paham logikalisme menggunakan dasar logika, maka paham instuisionisme menggunakan dasar konstruksi untuk mengakui sesuatu sebagai obyek matematika.

Ketika menengahi penolakan penganut paham intuisionisme terhadap salah satu pembuktian Cantor, Hilbert mengemukakan suatu dasar pemikiran. Pemikiran Hilbert itu kemudian berkembang menjadi filsafat matematika. Filsafat matematika yang tumbuh dari pemikiran Hilbert ini dikenal sebagai aliran atau paham formalisme. Sesuai dengan namanya, paham ini menggunakan dasar form atau format untuk menerima sesuatu sebagai obyek matematika.

Demikianlah, berkat pemikiran para pemikir itu, kita mengenal tiga aliran atau paham di dalam filsafat matematika. Ketiga aliran atau paham itu adalah aliran atau paham logikalisme, aliran atau paham intuisionisme, dan aliran atau paham formalisme.

Logikalisme
PAHAM logikalisme melihat bahwa matematika itu adalah logika. Karena itu, matematika seharusnya dapat diturunkan melalui langkah-langkah logika. Pada tahun 1913, Bertrand Russel dan Alfred North
Whitehead menyusun buku terkenal berjudul Principia Mathematica. Melalui kekuatan logika, buku itu menurunkan seluruh kerangka matematika dari aksioma paling dasar. Tetapi, mengapa matematika harus diturunkan dari aksioma?

Di dalam matematika, kita menerangkan sesuatu melalui logika berdasarkan sesuatu yang telah kita ketahui. Pada gilirannya, sesuatu yang kita ketahui itu perlu diterangkah melalui logika berdasarkan sesuatu yang lain. Selanjutnya, sesuatu yang lain itu perlu diterangkan melalui logika berdasarkan sesuatu yang lain lagi. Dan sesuatu yang lain lagi itu perlu diterangkan melalui logika berdasarkan… Demikian seterusnya sehingga kita sampai kepada sesuatu yang tidak lagi dapat kita terangkan berdasarkan sesuatu yang lebih mendasar. Sesuatu ini adalah aksioma.

Pada paham logikalisme, aksioma adalah dasar dari matematika. Demikian mendasarnya dan jelasnya
aksioma itu, sehingga aksi oma tidak lagi dapat kita terangkan berdasarkan sesuatu yang lebih mendasar. Dengan kata lain, aksioma itu sudah demikian mendasar sehingga segera dapat saja kita terima melalui akal sehat kita. Ada tiga aksioma yang digunakan sebagai dasar oleh paham logikalisme. Dan ketiga aksioma ini disandingi pula oleh empat peristiwa logika. Mereka adalah sebagai berikut.

Aksioma 1: Obyek apa saja identik dengan dirinya sendiri
Aksioma 2: Obyek apa saja ada atau tiada
Aksioma 3: Tiada obyek yang pada waktu yang sama sekaligus dapat ada dan tiada
Peristiwa logika 1: A ada dan B ada
Peristiwa logika 2: A ada tetapi B tiada
Peristiwa logika 3: B ada tetapi A tiada
Peristiwa logika 4: A dan B kedua-duanya tiada

Atas dasar tiga aksioma dan empat peristiwa logika ini, penganut paham logikalisme menurunkan seluruh matematika karena mereka percaya bahwa matematika dapat diturunkan dari logika murni. Demikian ketatnya langkah-langkah matematika pada paham ini sehingga kalau kita menengok ke buku Prin-cipia Mathematica, maka akan kita temukan bahwa ungkapan 1 + 1 = 2 itu adalah suatu dalil yang harus dibuktikan. Sekedar untuk diketahui, 1 + 1 = 2 itu tercantum di dalam dalil *110.643 dan di situ terdapat pem buktian dari dalil itu.

Sekalipun paham logikalisme ini telah disusun secara ketat, namun pada tahun 1931, paham ini meng-hadapi keritik yang cukup tajam. Keritik itu demikian tajamnya sehingga kita menemukan bahwa paham logikalisme ini tidak lagi merupakan paham yang sempurna. Bahkan usaha untuk membangun paham neologikalisme pun tidak mampu menolong paham itu dari ketidaksempurnaan.

Intuisionisme
PAHAM intuisionisme ini berpangkal pada pertanyaan apakah matematika itu ditemukan atau dicip-takan atau apakah keberadaan matematika itu murni atau buatan. Paham ini beranggapan bahwa suatu obyek matematika hanya ada kalau kita dapat menunjukkan bagaimana obyek itu dapat dibuat. Hanya obyek yang dapat ditunjukkan bagaimana cara pembuatannya yang dapat dianggap sebagai obyek matematika.

Anggapan ini berasal dari ahli filsafat Immanuel Kant yang mengatakan bahwa kebenaran matematika terletak pada kenyataan bahwa konsepnya dapat dibuat oleh pikiran manusia. Demikianlah, kalau obyek matematika itu tidak dapat dibutat di dalam pikiran manusia, maka menurut paham ini, obyek matematika itu tidak ada.

Sekalipun demikian, dalam hal pembuatan itu, paham ini cukup toleran. Obyek matematika itu tidak perlu harus dibuat secara sesungguhnya. Kita cukup menunjukkan, paling sedikit secara prinsip, prosedur tentang pembuatan itu. Prosedur itu harus rampung dalam sejumlah langkah tertentu atau jangka waktu tertentu, tidak menjadi soal berapa banyak langkah itu atau berapa panjang jangka waktu itu.

Sekedar sebagai contoh, ada ahli matematika yang melapor bahwa ia berhasil membuat poligon beraturan dengan 65.537 sisi. Pembuatan itu berlangsung dalam waktu sepuluh tahun. Dengan demikian, paham ini menerima obyek matematika berbentuk poligon itu karena poligon itu telah dibuat. Sebenarnya, tanpa dibuat pun, poligon itu akan terima, asalkan ahli matematika itu dapat menunjukkan bagaimana prosedur pembuatan poligon itu sehingga pembuatan itu berlangsung dalam jumlah langkah atau jangka waktu hingga.

Sebaliknya, pada contoh lain, kita melihat Cantor menggunakan metoda “reductio ad absurdum” untuk membuktikan ada takhingga banyaknya bilangan transenden. Pembuktian Cantor ini tidak dapat menunjukkan prosedur pembuatan takhingga banyaknya bilangan tran senden dalam batas waktu yang hingga. Karena itu, paham intuisionisme tidak dapat menerima pernyataan Cantor itu sebagai obyek matematika.

Pembuktian Cantor terhadap tak-hingga semacam ini dikenal sebagai pembuktian keberadaan murni. Sekiranya, pembuktian Cantor dilakukan terhadap obyek yang hingga, barangkali saja prosedur pembuatannya dapat dilakukan dalam waktu hingga. Dan kalau demi kian halnya, maka pembuktian Cantor dapat diterima oleh para penganut paham intuisionisme. Namun, karena obyek itu takhingga, maka pembuktian seperti yang dituntut itu tidak dapat dilakukan oleh Cantor. Pembuktian itu bukan lagi pembuktian keberadaan buatan. Pembuktian itu menjadi pembuktian keberadaan murni.

Kemudian pada tahun 1907, dipelopori oleh L.E.J. Brouwer, keberadaan murni dan keberadaan buatan menjadi topik utama dalam paham matematika intuisionisme. Setelah mengemukakan berbagai alasan, pada akhirnya, Brouwer menyatakan bahwa semua obyek dan argumentasi ideal di dalam matematika harus dibuang jauh-jauh. Matematika perlu dibangun kembali berdasarkan jalur buatan. Pikiran ini terlalu radikal sehingga tidak banyak orang yang menyo kong paham ini. Namun, belakangan ini, paham intuisionisme di bangkitkan kembali oleh Errett Bishop.

Formalisme
KALAU paham intuisionisme tidak mau menerima pembuktian keberadaan murni, maka David Hilbert dapat menerimanya sejauh pembuktiannya itu menurut metoda yang dapat diterima oleh akal sehat kita. Bahkan Hilbert mengembangkan pembukitan keberadaan murni itu. Segera pula Hilbert menemukan sejumlah penganut yang kemudian membentuk aliran atau paham formalisme.

Dalam pikiran para penganut paham formalisme, matematika bukanlah ilmu alam sehingga pernyataan matematika tidak perlu cocok dengan keadaan alamiah. Dengan demikian, apa saja dapat kita jadikan dasar dari suatu obyek matematika. Melaui suatu format atau definisi formal yang jelas, apa saja dapat kita jadi kan dasar untuk suatu obyek matematika. Selanjutnya, yang penting adalah langkah yang taatasas yang tidak bertentangan dengan format itu. Itu sebabnya, berbeda dengan paham intuisionime, kebera daan murni pun dapat diterima oleh paham formalisme.

Menurut dugaan, paham formalisime ini dianut oleh sebagian besar matematikawan pada zaman ini. Dengan definisi formal, ada ahli matematika yang merintis aljabar buatan dan geometri buatan. Dalam perintisan itu, mereka tidak terikat kepada kecocokannya dengan alam fisik. Mereka menemukan kebebasan di dalam matematika asalkan mereka tidak melanggar patokan logika dan ketaatasasan.

Penutup
KETIKA setiap aliran merasa puas dengan apa yang telah dicapai oleh aliran masing-masing, Godel muncul dengan dalil yang menggoyahkan sendi dasar aliran filsafat matematika itu. Pada tahun 1931, Kurt Godel mengemukakan dalil ketaklengkapan. Dengan pembuktian yang meyakinkan, dalil itu menunjukkan bahwa kita tidak mungkin menyusun perangkat aksioma yang lengkap.

Setelah kita menyusun sejumlah aksioma, maka ada saja rumus yang tidak dapat kita demonstrasikan dengan bantuan aksioma itu. Kalau jumlah aksioma itu kita perbanyak, maka ada lagi rumus yang tidak dapat kita demonstrasikan dengan bantuan aksioma yang sudah diperluas itu. Dan demikian seterusnya. Dengan demikian, kita tidak mungkin menyusun perangkat aksioma lengkap, betapa besar pun jumlah aksioma itu.

Dalil Godel ini menggoyahkan sendi filsafat matematika. Usaha untuk membangkitkan neologikalisme atau neointuisionisme belum dapat menolong paham itu dari goncangan dalil ketaklengkapan Godel. Mungkin itu pula sebabnya, maka tidak banyak orang yang menekuni bidang filsafat matematika. Atau barangkali pula, banyak orang tidak berkesempatan untuk mengenal filsafat matematika sehingga filsafat matemtika hanya menyebar di kalangan yang sangat terbatas.

Sekalipun demikian, peristiwa ini tidak cukup menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengenal filsafat matematika. Itu sebabnya, di dalam seminar ini, kita melihat filsafat matematika secara selayang pandang. Paling sedikit, dengan cara ini, kita mengeta hui keberadaan filsafat matematika serta mengenal pula aliran-alirannya. Barangkali saja, melalui pengenalan ini, kelak ada di antara kita ini yang ingin mendalami filsafat matematika.

Oleh. Dali S. Naga

** Disampaikan pada Seminar Dasar Matematika dan Matematika Dasar, diselenggarakan di Jakarta oleh majalah Aku Tahu dan KIR SMAN 13, pada tanggal 10 September 1989.

Sumber: Majalah AKUTAHU/OKTOBER 1989

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 51 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB