Berdasarkan kondisi geologi dan tektoniknya, wilayah Selat Sunda secara umum memiliki beberapa potensi kerawanan terkait bencana kebumian. Secara tektonik, wilayah Selat Sunda merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks.
Di zona ini terdapat beberapa unsur tektonik pembangkit gempa bumi, seperti zona tumbukan lempeng (plate collision), zona gempa di luar subduksi (outer rise), dan sebaran sesar aktif (active fault).
Zona tumbukan lempeng yang populer disebut megathrust merupakan bidang kontak antarlempeng dan menjadi kawasan paling berpeluang terjadi gempa kuat. Adanya zona sepi gempa kuat di Selat Sunda seolah memberi pesan adanya proses akumulasi energi terkait potensi gempa yang mungkin terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keberadaan sesar aktif di Selat Sunda cukup banyak. Ada beberapa sistem sesar di wilayah ini, seperti terusan Sesar Mentawai, terusan Sesar Semangko, Sesar Ujung Kulon, dan sesar aktif lainnya yang belum teridentifikasi dan terpetakan.
Tingginya tingkat aktivitas gempa di Selat Sunda tecermin dari rapatnya sebaran episentrum gempa di Selat Sunda. Jika gempa kuat terjadi di laut tentu dapat berpotensi tsunami.
Keberadaan Gunung Anak Krakatau yang aktif di Selat Sunda memiliki potensi erupsi seperti yang sedang berlangsung saat ini. Jika proses erupsi menjadikan material letusan terakumulasi atau terjadi pembongkaran badan gunung yang kemudian runtuh ke laut, maka dapat memicu tsunami seperti megatsunami Selat Sunda akibat erupsi katastropik pada 27 Agustus 1883 yang menewaskan 36.417 jiwa manusia.
Kondisi geologi dan tektonik Selat Sunda masih termasuk labil, adanya struktur geologi graben yang terbentuk akibat adanya zona peregangan (stretching) di Selat Sunda dapat memicu gempa tektonik dan longsoran bawah laut yang juga dapat memicu tsunami.
Rentan tsunami
Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, di wilayah Selat Sunda memang sering terjadi tsunami. Menurut Yudhicara dan Budiono (2008) tsunami Selat Sunda tahun 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa bumi. Peristiwa tsunami tahun 416, 1883, dan 1928 berkaitan dengan erupsi Krakatau. Adapun tsunami tahun 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.
Mungkin kita tidak akan tahu banyak mengenai catatan kuno tsunami Selat Sunda jika Soloviev dan Go (1974) tidak mengompilasinya dalam tulisan yang berjudul ”A Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean”. Dalam katalog ini disebutkan bahwa tsunami Selat Sunda pernah dibangkitkan oleh erupsi gunung Krakatau kuno pada tahun 416 yang tertulis di dalam kitab Pustaka Raja.
Pasca-erupsi tahun 1883, Krakatau kembali erupsi tahun 1884 yang menyebabkan tsunami. Katalog Soloviev juga mengungkap gempa bumi Selat Sunda tahun 1722, 1757, dan 1852. Catatan mengenai adanya dugaan tsunami lokal juga dilaporkan terjadi pada 1851, 1883, dan 1889.
Katalog ini juga mencatat tsunami Selat Sunda setelah tahun 1900-an, seperti tsunami Selat Sunda pada 26 Maret 1928 akibat erupsi Krakatau. Tsunami juga terjadi pada 22 April 1958 yang dibangkitkan peristiwa gempa bumi kuat yang mengguncang Selat Sunda dan sekitarnya.
Berdasarkan catatan di atas tampak bahwa Selat Sunda sudah mengalami peristiwa tsunami lebih dari sembilan kali. Catatan sejarah ini kiranya cukup menjadi bukti bahwa Selat Sunda memang kawasan rawan tsunami.
Hari Sabtu malam, 22 Desember 2018, sekira pukul 21.30 WIB, kita dikejutkan oleh adanya peristiwa ”tsunami senyap” yang menerjang pantai-pantai di Banten dan Lampung pasca-erupsi Gunung Anak Krakatau pada pukul 21.03 WIB.
Dampak tsunami ini dilaporkan menimbulkan korban jiwa cukup banyak dan merusak banyak bangunan rumah. Bencana tsunami Selat Sunda ini menambah daftar panjang peristiwa tsunami Selat Sunda.
Hasil monitoring muka air laut menunjukkan bahwa tsunami terpantau dengan baik oleh beberapa alat pendeteksi tsunami (tide gauge) di sejumlah tempat. Tide gauge Pantai Jambu mencatat tsunami pukul 21.27 WIB (0,9 meter). Tide gauge Pelabuhan Ciwandan mencatat tsunami pukul 21.33 WIB (0,35 meter). Sementara tide gauge Kota Agung mencatat tsunami pukul 21.35 WIB (0,36 meter). Adapun tide gauge Pelabuhan Panjang Kota Bandar Lampung mencatat tsunami pukul 21.53 WIB (0,28 meter).
Disebut sebagai ”tsunami senyap” karena BMKG tidak mencatat adanya gempa kuat sebelum terjadinya tsunami. Masyarakat Banten dan Lampung pun saat itu juga tidak merasakan adanya guncangan gempa sehingga tsunami ini dipastikan tidak disebabkan oleh gempa bumi tektonik.
Meski demikian, pada sensor gempa BMKG di Cigeulis (CGJI) tampak ada catatan seismik sekitar pukul 20.56 WIB. Tampak jelas kalau dalam analisisnya menggunakan low pass filter, maka aktivitas seismik ini tipikal longsoran. Setelah dihitung magnitudonya setara dengan M 3,4 dengan episentrum di Gunung Anak Krakatau. Berdasarkan analisis ini, dugaan kuat bahwa pemicu tsunami adalah longsoran yang bersumber dari Gunung Anak Krakatau.
Pelajaran penting
Dalam perkembangannya, pakar InSAR BPPT Dr Agustan menemukan bukti-bukti lain yang mendukung adanya longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau, di mana ada bagian Gunung Anak Krakatau yang mengalami perubahan permukaan yang mencolok.
Analisis citra satelit pada Gunung Anak Krakatau sebelum dan sesudah tsunami juga menunjukkan adanya sebagian daratan yang hilang dan diduga longsor ke laut.
Ada fakta lain di mana Dr Adit Gusman memodelkan inversi waktu tiba tsunami (back propagation) yang tercatat pada empat tide gauge di sekitar Selat Sunda. Terbukti bahwa sumber tsunami berasal dari suatu tempat di sebelah selatan Anak Krakatau.
Selain itu, hasil penelitian Giachetti dkk (2012) membuktikan adanya potensi yang besar akan terjadinya runtuhan lereng (flank collapse) dari Gunung Anak Krakatau. Paper ilmiah ini sebenarnya peringatan penting akan bahaya longsoran Gunung Anak Krakatau.
Berdasarkan beberapa fakta di atas tampak bahwa tsunami yang terjadi bukan disebabkan aktivitas gempa tektonik, melainkan akibat longsoran lereng (flank collapse) Gunung Anak Krakatau. Adapun faktor penyebab lepasnya material di lereng Anak Krakatau diduga akibat tremor vulkanik yang menerus dan curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah itu.
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa tsunami Selat Sunda ini, yaitu (1) masyarakat pesisir pantai rawan tsunami perlu semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya tsunami mengingat pada beberapa kasus tsunami akibat erupsi gunung api dan longsoran belum dapat diberikan peringatan dini, (2) jika ada gunung api sedang aktif erupsi di tengah laut, penduduk pesisir pantai sepatutnya meningkatkan kewaspadaan dengan tidak melakukan kegiatan di pantai yang dihadiri orang banyak, dan (3) masyarakat pesisir rawan tsunami di mana pun harus mau mengakui bahwa wilayah tempat tinggal mereka adalah kawasan rawan tsunami sehingga memudahkan proses edukasi serta upaya mitigasi.
Daryono Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG
Sumber: Kompas, 4 Januari 2019