TEPAT 42 tahun setelah pendaratan manusia pertama di Bulan, sejarah lain pun tercipta: berakhirnya era pesawat ulang-alik. Adalah pendaratan Atlantis di landas pacu Kennedy Space Center pada 21 Juli 2011 pukul 17:58 WIB usai
menjalankan misi antariksa 12 hari yang mengirim modul terakhir ke stasiun antariksa internasional yang mencetak sejarah tersebut.
Tak pelak, pendaratan ini disambut penuh keharuan, baik oleh internal NASA, mantan korps astronout, mantan petugas-petugas pengendali dan pelayan misi serta publik.
Sistem transportasi antariksa ulang-alik adalah salah satu ikon kultur pop akhir abad ke-20 yang turut membentuk generasi muda dekade 1980-an dan 1990-an. Meski sistem ini membuat penerbangan antariksa menjadi rutinitas semata tanpa kehebohan besar layaknya dekade-dekade sebelumnya, namun pesawat ulang-alik selalu menyita perhatian besar tatkala meluncur, bekerja di orbit dan kembali ke Bumi. Penulis mengawali belajar membaca fomat surat kabar saat kelas 2 SD lewat berita menghentak kala itu di bawah judul ”Challenger Meledak, Tujuh Astronot Tewas” (SM, 30/01/1986).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pesawat antariksa ulang-alik telah lama diimpikan Wernher von Braun, kampiun roket Jerman yang pindah ke AS pasca-Perang Dunia 2. Bersama Walt Disney, von Braun memopulerkan gagasannya lewat televisi hingga akhirnya menarik perhatian pemerintah. Kebutuhan pesawat ini dirasa mendesak, khususnya setelah disadari penerbangan antariksa adalah proyek boros biaya. Sebagai gambaran, ketika AS meluncurkan manusia ke Bulan dengan roket raksasa Saturnus 5 yang berbobot 3.000 ton, ongkosnya sangat mahal karena roket hanya bisa digunakan sekali saja. Hampir semua bagiannya terbuang, entah di atmosfer ataupun di Bulan dan hanya ujung roket saja (yakni kapsul komando) yang kembali ke Bumi, itu pun tak bisa digunakan lagi.
Presiden Nixon memerintahkan dimulainya studi kelayakan dan pembangunan sistem transportasi ulang-alik, tak lama setelah Neil Amstrong mengawali pendaratan di Bulan.
Lebih Murah
Pesawat ulang-alik semula dirancang agar peluncurannya jauh lebih murah tanpa menghilangkan kemampuan membawa beban berat ke orbit. Pesawat dirancang bisa dipakai berulang kali tanpa bagian yang terbuang percuma. Pesawat pun dirancang murah dan mudah dirawat sehingga bisa diluncurkan kembali dalam 2 minggu pascapendaratannya. Pesawat juga dipersiapkan mengangkasa dan mendarat seperti pesawat biasa di bandara reguler. Karena itu, desain awal pesawat ulang-alik adalah terdiri dari pengorbit dan pesawat induk.
Pengorbit berukuran separo Boeing-747 dan berat 78 ton yang bermesin roket dengan bahan bakar cair. Pengorbit digendong di punggung pesawat induk raksasa berpilot yang juga bertenaga roket berbahan bakar cair pula, yang bertugas membawanya lepas landas dan terbang sub-orbital hingga ketinggian 250-300 km. Setelah melepaskan pesawat ulang-alik yang melanjutkan penerbangannya hingga menempati orbit, pesawat induk akan kembali ke Bumi dan mendarat seperti pesawat biasa. Demikian pula, seusai menjalankan tugasnya, pesawat ulang-alik akan kembali ke Bumi dan melayang di atmosfer seperti pesawat terbang layang sebelum mendarat layaknya pesawat biasa.
Namun gagasan hebat ini berantakan saat krisis energi 1973 melanda. NASA menderita pemotongan anggaran besar-besaran yang berdampak pada semua lini. Akibat keterbatasan biaya, maka kompromi demi kompromi pun harus dilakukan sehingga desainnya berubah drastis. Kini pengorbit hanya bisa dikirim ke orbitnya lewat peluncuran vertikal layaknya roket, sementara pesawat induk digantikan tabung bahan bakar raksasa dengan berat kosong 26,5 ton yang mampu mewadahi 2 juta liter hidrogen dan oksigen cair. Bahan bakar ini akan menyuplai 3 mesin utama, masing-masing berdaya dorong 185 ton, yang menyedot 4.200 liter hidrogen dan oksigen cair per detik. Namun, 83 % daya angkat pesawat ulang-alik dihasilkan oleh roket pendorong kembar berbahan bakar padat yang masing-masing memiliki berat kosong 68 ton dengan panjang 45 meter dan daya dorong 1.274 ton. Baik mesin utama maupun roket pendorongnya bisa digunakan hingga 55 kali, sebelum diganti yang baru.
Ongkos Melonjak
Sebagai konsekuensinya, maka semua keunggulan yang diangankan semula pun lenyap. Sebab dengan bobot peluncuran 2.000 ton, ongkos peluncuran pesawat ulang-alik pun melonjak hebat. Agar lebih hemat, pesawat ulang-alik memanfaatkan infrastruktur warisan proyek Apollo, mulai gedung Vehicle Assembly Building, traktor raksasa pengangkut ke landasan dan landasan 39 di Kennedy Space Center (Florida) yang dipermak ulang untuk peluncuran. Guna misi berorbit kutub, NASA mencadangkan landasan peluncuran di pangkalan AU Vandenberg (California), yang dibatalkan pascatragedi Challenger 1986.
Ada lima pesawat dalam armada ulang-alik, yakni OV-99 Challenger, OV-103 Columbia, OV-103 Discovery, OV-104 Atlantis dan OV-105 Endeavour. Kabinnya mampu memuat tujuh astronout, sementara ruang muatannya sanggup membawa kargo 24,4 ton ke orbit rendah (400-600 km) atau 3,8 ton ke orbit geostasioner, membuatnya dijuluki truk antariksa.
Penerbangan pertama dilakukan Columbia pada 12 April 1981. Kargo penting di antaranya modul laboratorium ulang-alik Spacelab dan Spacehab. Kedua modul tersebut kelak dikonversi menjadi bagian stasiun ruang angkasa internasional yang dibangun sejak 1998. Juga teleskop ruang angkasa Hubble yang diorbitkan 1990 dan diperbaiki di antariksa dalam rangkaian misi 1993, 1997, 2002 dan 2009.
Demikian pula Magellan (satelit penyelidik Venus) dan Galileo (satelit penyelidik Jupiter) yang masing-masing diluncurkan 1989.
Jangan lupa, satelit komunikasi Indonesia, seperti Palapa B1 dan B2 (kemudian menjadi B2-R) pun digendong pesawat ulang-alik ke orbit rendah sebelum ditransfer ke orbit geostasioner lewat IUS (Inertial Upper Stage). Namun pesawat ulang-alik tak pernah terbang melebihi 1.000 km.
Tetapi rencana penerbangan astronout pertama Indonesia, yakni Dr Pratiwi Sudharmono atau Ir Taufik Akbar, buyar seiring tragedi Challenger 1986. Tragedi ini memaksa Presiden Reagan memutuskan seluruh armada yang tersisa hanya boleh digunakan untuk meluncurkan kepentingan AS saja sekaligus menyiapkan Endeavour sebagai pengganti Challenger.
Pesawat Pengganti
Setelah terjadinya tragedi Columbia 2003, sisa armada hanya boleh digunakan untuk kepentingan pembangunan dan pelayanan stasiun ruang angkasa internasional, dengan pengecualian misi perbaikan teleskop Hubble di 2009, tanpa membangun pesawat baru.
Pesawat ulang-alik sebenarnya tidak hanya dipikirkan AS. Negara-negara Eropa yang tergabung dalam konsorsium ESA pun menginginkan pesawat serupa di dekade 1980-an lewat proyek Hermes dengan roket raksasa Ariane IV sebagai pendorongnya. Sementara Uni Soviet juga membangun pesawat sendiri lewat proyek Bouran, yang persis sama dengan pesawat ulang-alik AS tapi didorong roket Energiya yang sangat energetik sehingga bisa mencapai Bulan dengan mudah. Tapi Hermes mati sebelum lahir. Sementara Bouran terpaksa dikandangkan tanpa pernah meluncur seiring krisis ekonomi dan politik menerpa Uni Soviet sejak 1990. Belakangan Bouran hancur saat hanggarnya runtuh akibat kurangnya biaya perawatan, yang memaksa Rusia (sebagai penerusnya) tetap setia dengan armada Soyuz.
Hingga pensiun, pesawat ulang-alik telah menjalani 135 misi dengan total 31.952 jam terbang dalam 21.158 orbit dengan jarak tempuh 870 juta km. Meski sangat andal, dengan tingkat kegagalan hanya 3 banding 200, namun pesawat ulang-alik cukup mahal dengan ongkos rata-rata 1,5 miliar dolar AS per misi, atau 210 juta dolar AS per astronout. Pesawat ulang-alik juga tidak aman. Tragedi Columbia 2003 hanya disebabkan oleh berlubangnya keping penyekat panas di sayap akibat hantaman busa penyekat tabung bahan bakar saat peluncuran. Ditambah dengan mulai menuanya infrastruktur di Florida serta kelimpungannya AS oleh krisis ekonomi 2008 yang membuatnya bangkrut secara teknis dan hanya bisa hidup lewat topangan dana dari China, membuat pesawat ulang-alik harus pensiun dini meski secara teknis bisa bertahan hingga 2020.
Pascapensiun, alternatif pengganti pesawat ulang-alik belum jelas. Setelah Presiden Obama membatalkan proyek Constellation, NASA kini terpaksa menyewa Soyuz untuk mengirim astronoutnya. Obama malah berharap kelak muncul sistem transportasi ulang-alik swasta. Harapan ini mulai bersemi lewat pesawat ulang-alik SpaceShip produk perusahaan Scaled Composite hasil kolaborasi Burt Rutan, si jenius aeronotika, dan Richard Branson, konglomerat penerbangan. Pesawat prototipe SpaceShipTwo, yang dirancang hanya untuk penerbangan sub-orbital, tampak cukup menjanjikan dengan ongkos hanya 200 ribu dolar AS per astronot. (24)
oleh Muh Ma’rufin Sudibyo
Sumber: Suara Merdeka, 1 Agustus 2011